Sebenarnya saya ingin memulai bimbingan
skripsi setelah mengikuti Peksiminal di UB. Hanya saja, jadwal bimbingan itu
harus diundur sejenak. Hal ini dikarenakan jadwal UAS yang sudah dipampang
nyata di Grup Info Akademik FKIP. Apalagi, UAS mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia itu kebanyakan berupa tugas, semisal menulis makalah. Bahkan, dari
semua matakuliah yang diujikan di semester enam. Hanya satu matakuliah Bu Anita
saja yang menggunakan tes tulis.
Barulah
setelah semua matakuliah diuji, saya bersiap mengerjakan skripsi. Di tengah
itu, tetapi lagi-lagi harus ditunda kembali. Hal ini lantaran kondisi pasca UAS
merupakan waktu yang tepat untuk memberikan evaluasi atau penilaian pada
mahasiswa, tentu semua dosen memiliki pekerjaan ekstra. Dari kondisi tersebut,
saya pun memilih untuk pulang ke kampung halaman.
Dokpri: Diuji teman-teman setelah diuji sama dosen |
Jadwal
libur semester genap yang berkisar satu bulan setengah itu benar-benar menyiksa
saya. Sehingga saya memilih kembali ke Jember, tiga Minggu sebelum penempatan
KKMT (Kuliah Kerja Mengajar Terbimbing). Hari itu (28/7) bimbingan perdana
langsung terjadi.
“Mengapa
harus berdasarkan pengalaman orang lain?”
Pertanyaan
dari Bu Endang kembali diutarahkan oleh Bu Arju.
Saya
langsung menjawab dengan mantap.
“Tunggu
... tunggu ... jika penelitian seperti ini, apa tidak khawatir mengulang
penelitian yang sudah ada?”
Dan
sederet pertanyaan lainnya terus menjalar. Saya disergap kegamangan sebab tak bisa
menjawab pertanyaan beliau.
Akhirnya,
di kost-an saya kembali merenung. Dari sana pula saya mendapatkan ide untuk
mengubah judul penelitian menjadi Pengembangan Bahan Ajar Menulis Teks Cerita
Pendek Berbasis Kearifan Lokal Situbondo. Artinya dari bahan ajar menulis
cerita pendek yang saya kembangkan nantinya tak hanya berfokus pada
mengembangkan bahan ajar menulis cerpen, tetapi memberikan muatan kearifan
lokal Situbondo.
“Apa
nggak kesulitan dengan judul seperti ini, Mas?”
Saya
menggeleng lemah disertai senyum.
Proses
bimbingan kembali dimulai, saya merekam suara Bu Arju. Setelah itu mendengarkan
kembali suara beliau di kost-an dan merevisi kembali bab 1 itu. Sayangnya,
proses revisi itu tak langsung mendapatkan persetujuan dari beliau. Tepatnya pada
keesokan harinya saya kembali menemui beliau.
“Bu
Ida, Mas Trisno kemarin bimbingan sekarang bimbingan lagi.” Keluh Bu Arju.
“Mau
gimana lagi, Bu.” Tukas Bu Ida.
“Sebenarnya
Mas Trisno ingin bimbingan seminggu berapa kali?” tanya Bu Arju.
Sungguh
dalam hati saya ingin menjawab dengan mantap disetiap hari yang kupunya.
Tetapi, jawaban itu hanya ada dalam hati.
Lalu,
diskusi alot kembali terjadi. Barulah pada revisi kelima (11/8) Bu Arju
langsung menyuruh untuk mengerjakan Bab 2. Bersamaan dengan itu, saya bersyukur
tiada tara. Rasa syukur itu kembali menjalar tatkala mengetahui Bu Arju menjadi
Dosen Pembimbing Lapangan ketika KKMT nanti.
Sayangnya,
proses magang menjadi guru itu rupanya membuat saya tak bisa melanjutkan proses
bimbingan. Barulah 14 September 2016 saya kembali bimbingan. Proses bimbingan
bab 2 tidak seberat bab 1 hanya dua kali. Apalagi pustaka saya lumayan banyak,
mulai dari buku konsep cerpen dan kearifan lokal, serta untuk buku pengembangan
saya mendapat pinjaman dari Mas Syukron. Tak sampai disitu, untuk cerpen yang
nantinya akan dimasukkan dalam bahan ajar saya telah mendapatkan dokumen dari Komunitas
Penulis Muda Situbondo. Lalu, soal gambar Situbondo Photograpy Ponsel (Si
Ponsel) menjadi sumber yang baik.
Di
tengah kesibukan magang mengajar, saya mendapatkan kesempatan sehari libur di
hari Rabu. Kesempatan itu tak disia-siakan, saya memulai bimbingan saat Bu Arju
kosong mengajar tepatnya jam 10:40-12:20. Dan setiap Rabu, saya menunggu
beliau. Begitu terus hingga pada 26 Oktober 2016 saya mendapatkan izin untuk
bimbingan dengan pembimbing dua.
Proses
bimbingan dengan Bu Endang juga sangat alot.
Jika Bu Arju memberikan banyak masukan mengenai teori bahan ajar dan research and development, Bu Endang
memberikan masukan seputar konsep cerpen dan kearifan lokal. Barulah pada
tanggal 28 November Bu Endang memberikan izin untuk seminar proposal.
Sayangnya
menentukan jadwal untuk menemui empat dosen sekaligus tidak mudah, sehingga
membuat saya bisa seminar pada 13 Desember 2016. Proses seminar itu benar-benar
menguras tenaga dan pikiran.
“Trisno
apa perbedaan kearifan lokal, lokalitas, pengetahuan lokal, dan keterampilan
lokal?” tanya Pak Taufiq usai disilakan oleh moderator.
Saya
langsung menjawab perbedaan konsep-konsep tersebut. Sayangnya, jawaban saya
malah menggundang tawa.
“Anda
terlalu pede ya!”
“Oke
lah, saya paham dengan apa yang Trisno sampaikan, tetapi tidak semua orang
setuju dengan pendapat tersebut. oleh karena itu, Trisno harus memperkarya
pustakanya. Sudah baca bukunya Gertz dan I Nyoman Kuta Ratna?”
Saya
menggeleng lemah.
“Saya
rasa cukup untuk kearifan lokal ya. Sekarang coba Trisno cek definisi
operasional tentang cerpen.”
Saya
langsung membaca, “Cerita pendek
merupakan salah satu jenis prosa yang memiliki panjang antara 800 sampai 1.500
kata dengan memanfaatkan kearifan lokal sebagai unsur pembangun cerita.”
Setelah
itu kembali memerhatikan Pak Taufiq, “Dari mana saya menulis 800-1.500 kata.”
Saya
tak bisa menjawab, pemilihan 800 sampai 1.500 kata itu hanya berdasarkan asumsi
sendiri karena estimasi waktu pembelajaran dan untuk menulis sebanyak itu bukan
hal mudah bagi siswa.
“Jangan-jangan
asumsi sendiri.” Vonis Pak Taufiq.
Saya
menahan senyum. Pak Taufiq kembali melanjutkan, “Sekarang kita bahas modul yang
kamu buat sudah berapa persen, Tris?”
“Sembilan
puluh persen, Pak.” Jawab saya mantap.
“Sembilan
puluh persen ya? Lalu, buat apa seminar ini dilaksanakan jika obatnya sudah ada.
Oya, sembilan puluh persen itu berdasarkan asumsi Trisno sendiri atau diskusi
bersama pembimbing.”
“Untuk
itu nanti saya bahas ya, Pak.” Bu Arju segera menanggapi pertanyaan Pak Taufiq.
Acara
seminar yang berisi gelak tawa dilanjutkan kembali oleh Pak Muji. Beliau
mencermati calon modul yang sudah saya buat, seperti peletakkan gambar dan
lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan beliau juga tak kalah menarik dari Pak Taufiq.
Setelah
kedua penguji, Bu Arju langsung disilakan oleh moderator. Beliau bercerita
bahwa tidak ada kesepakatan tentang modul yang saya buat sudah berapa persen.
Sebagai pembimbing, beliau juga terkejut modulnya sudah mau selesai. Walaupun
begitu, saya juga harus siap jika modul itu diotak-atik dengan memerhatikan
saran dosen penguji. Terakhir, Bu Endang menambahkan perlu diberikan pembahasan
majas yang lebih mendalam.
Akhirnya,
acara seminar proposal itu selesai. Saya pun menyalami keempat dosen itu.
Keesokannya saya langsung ngebut merevisi proposal skripsi yang berjumlah 60
halaman itu. Merivisi proposal skripsi bukan hal yang mudah, apalagi ditambah
merivisi modul. Akibat konsep yang bergeser sedikit saja menyebabkan prolog
pembelajaran (pembangunan konteks) berubah kalimatnya. Tak hanya itu,
gambar-gambar yang sudah diatur sedemikian rupa juga turut berubah.
Dokri: Seusai Seminar Proposal |
Barulah
setelah modul selesai diatur, saya kembali berdiskusi seputar validator ahli
pembelajaran.
“Bu
Dian saja, Mas.”
Mendengar
saran Bu Arju saya lalu berkonsultasi dengan Bu Endang, barulah setelah itu
saya menghubungi Bu Dian. 13 Januari saya pun bertemu dengan Bu Dian beliau
memberikan banyak masukan seperti berikut:
1. Halaman
38 mengenai kesalahan yang mungkin
sering dilakukan dalam menulis cerpen ditambahi pengalaman sendiri atau
mengadopsi teori Isa Alamsyah.
2. Halaman
10 di kolom kurang struktur teks cerita pendek terkait abstrak
3. Penggunaan
tata kalimat pada halaman 2 paragraf 1 perlu diperbaiki semua.
4. Penggunaan
kata acuh tak acuh pada soal no 4 halaman 23, sebenarnya keinginannya acuh atau
tak acuh.
5.
Penggunaan istilah asing harus dimiringkan atau
italic.
6. Tata
letak atau gambar sampul perlu diperhatikan, sebab tidak ada simbol
pembelajaran.
Tak hanya Bu Dian,
validator lainnya seperti Mas Sungging Raga (Validator Ahli Cerpen), Mas
Panakajaya (Validator Ahli Kearifan Lokal Situbondo), dan Bu Vidi (Validator
Praktisi Pembelajaran) juga memberikan masukkan yang banyak. Saran-saran dari validator itu pula turut
membuat saya bekerja kembali merevisi bahan ajar. Untungnya, saya tak sendiri
sebab Novita Widiyaningsih dan Mahftyn membantu di banyak hal. Mereka berdua
menjadi sosok dibalik layar yang mengutak-atik layout dan sampul bahan ajar,
sehingga pekerjaan yang rumit menjadi sederhana bersama kedua perempuan yang
satu prodi dengan saya itu.
Dokpri: Mas Sungging Raga membaca modul dan memberikan penilaian. |
Hingga pada tanggal 20 Januari uji coba produk dilaksanakan untuk
pertemuan pertama yang berfokus pada pengetahuan pengertian cerpen, struktur dan
kebahasaan teks cerpen, dan unsur pembangun teks cerpen. Dilanjutkan tanggal 21
Januari yang berfokus pada teknik menulis cerpen, sekaligus memberikan tugas
mencari ide menulis cerpen yang bertema kearifan lokal Situbondo. Saat itu
pula, saya mendapatkan banyak sekali pengetahuan mengenai kearifan lokal yang
tak saya ketahui. Semisal asal-usul desa Secangan, lalu rokat tanah, dan
lain-lain.
Dokpri: Situasi Pembelajaran di Kelas XI MIA 3 |
Dokrpri: Siswa mengisi angket uji coba setelah pembelajaran hari ketiga |
Saat itu pembelajaran
benar-benar menyenangkan. Barulah seminggu kemudian siswa menulis cerpen
(27/01), sekalipun tak semuanya menyelesaikannya. Sehari setelah pelaksanaan
penelitian itu, saya telah menyiapkan bab 4 untuk menjawab rumusan masalah
terkait proses pengembangan bahan ajar, validitas bahan ajar, dan respon pengguna
bahan ajar. Proses bimbingan kembali dimulai dari tanggal 30 Januari 2017
sampai 17 Februari bersama Bu Arju. Lalu, dilanjutkan bersama pada tanggal 17
Februari dan 02 Maret. Sehingga tanggal 13 Maret skripsi saya sudah diuji oleh
para dosen pembimbing dan penguji.
Berbeda
dengan seminar proposal yang cukup alot, ujian skripsi sungguh terkesan begitu
santai. Pak Taufiq tak lagi mengebom dengan pertanyaan-pertanyaan yang menusuk.
Dosen lulusan S3 Unesa itu memberikan dua pertanyaan yang sebenarnya dari dua
pertanyaan itu mengubah banyak modul. Sementara itu, Pak Muji berfokus pada
pemanfaatan bahan ajar setelah dikembangkan.
Saya
menghampiri teman-teman yang telah menunggu. Mereka bertanya ini-itu seputar
situasi di ruang ujian. Setelah cukup ngerumpi dengan teman-teman, Bu Arju
kembali menyilakan saya ke ruang ujian.
“Terkait
dengan modul yang Mas Trisno buat setelah ini akan disempurnakan atau
bagaimana?” Bu Arju langsung memberikan pertanyaan usai saya duduk.
Saya
langsung menjawab jika ada dua agenda yakni menyempurnakan untuk mengirim kepada
penerbit atau menyempurnakan untuk tesis di S2. Mendengar jawaban itu, Bu Arju
langsung tersenyum dan membacakan hasil dari para dosen.
“Dengan
ini kami nyatakan Mas Trisno lulus.” Ucap Bu Arju.
“Dengan
paksaan.” Tambah Pak Taufiq disambut oleh tawa para dosen lainnya.
Sungguh
ada ritmis yang menjalar di hati saya ketika sampai pada tahap itu. Mengerjakan
skripsi yang dianggap momok oleh sebagian mahasiswa terjadi sudah saya lewati.
Betapa beruntungnya saya selama masa skripsi tak ada ketakutan yang berarti,
apalagi bimbingan skripsi serasa curhat kepada ibu sendiri.
Saya
langsung menyalami para ibu-bapak dosen dilanjutkan berfoto bersama. Bu Arju
kemudian pamit kepada saya.
Dokpri Berfoto bersama empat dosen |
Saya
menahan beliau. Lalu, mengajak ke ruangan sebelah ujian. Di sana kami (Abiju
atau Anak Bimbingan Bu Arju) telah menyiapkan kejutan buat Bu Arju yang ulang
tahun sehari sebelum saya ujian. Bu Arju tampak terkejut sekaligus bahagia.
Tetapi, kebahagiaan tidak berhenti sampai di sana. Percayalah akan saya ceritakan pada kesempatan lain!
Dokpri: Bersama Bu Arju |
Dokpri: Para Abiju |
Dokpri: Sebagian Fans |
Dokpri: Sebagian Fans |
Dokpri: Kebahagiaan yang penuh dengan bullying. |
Dokpri: Kebahagiaan yang menunggu di kost-an |
Bimbingan Skripsi Seperti Curhat Kepada Ibu Sendiri (Bagian Kedua)
Reviewed by Dunia Trisno
on
10:01:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment