ANALISIS
PENGGUNAAN KONSEP PETANDA DAN PENANDA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Sutrisno
Gustiraja Alfarizi/130210402039/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/2013
Abstrak: Analisis penggunaan konsep
petanda dan penanda dalam kehidupan masyarakat ini mempermasalahkan bagaimana
pengaruh Linguistik Ferdinand de Sausussure yang juga dikenal sebagai bapak
linguistik modern dalam temuan konsep petanda dan penanda. Tujuan yang ingin
digapai adalah mengetahui seberapa banyak pengaruh teori ini, baik pemikiran maupun
praktik, serta manfaat dalam masyarakat bahasa.
Kata
kunci: Signifiant,
Signifie, Pengaruh, Masyarakat Indonesia.
Pendahuluan
Sejarah
ilmu bahasa (linguistik) yang sangat panjang telah melahirkan berbagai
aliran-aliran linguistik. Di dalam setiap aliran-aliran memiliki pandangan yang
berbeda termasuk linguistik Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure
merupakan penemu linguistik modern (Modern
Linguistics). Sebagai penemu konsep linguistik modern, wajar jika De
Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap teori strukturalisme. Gagasan terbesar De Saussure adalah pada
teori umum sistem tanda (general theory
of sign system) yang disebutnya dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56) masih dapat ditemui hingga
saat ini. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari juga terdapat konsep atau
pengaruh Aliran Ferdinand de Saussure. Pengaruh tersebut memperkaya corak
tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Pembahasan ini bertujuan untuk
menganalisis beberapa fakta tentang pengaruh aliran Ferdinand de Sausurre
terhadap kehidupan masyarakat serta menambah pengetahuan bagi pembaca tentang
teori signifie dan signifiant itu.
Konsep Petanda dan
Penanda
Ferdinand de Saussure,
yang secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakan dasar ilmu bahasa modern.
Dalam Cours de Linguistique Generale
yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure meninggal,
diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda, dan tanda
merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda), signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, padahal signifie adalah aspek kemaknaan atau
konseptual; tetapi signifiant tidak identik
dengan bunyi dan signifie bukanlah denotatum, jadi hal atau benda dalam
kenyataan yang diacu oleh tanda itu, secara kongkrit tanda burung tidak sama dengan bunyi fisik dan tidak pula dengan binatang
dalam kenyataan. Dapat dikatakan bahwa aspek tandanya dilaksanakan lewat bentuk
bunyi fisik, sedangkan sebagai tanda kata burung
dapat dipakai untuk mengacu pada sesuatu dalam kenyataan, tanda memang terdiri
dari aspek formal dan konseptual yang merupakan dwitunggal, tetapi kedua aspek
itu mempunyai status mandiri terhadap bunyi nyata atau benda atau gejala dalam
kenyataan, fungsinya sebagai tanda berdasarkan konvensi sosial.
De Saussure
membicarakan beberapa aspek tanda yang khas: tanda adalah arbitrer,
konvensional dan sistematik. Arbitrer berarti bahwa dalam urutan bunyi b-u-r-u-n-g itu sendiri tidak ada alasan
atau motif untuk menghubungkannya dengan binatang yang dapat terbang. Kombinasi
tertentu antara aspek formal dan konseptual sebenarnya berdasarkan konvensi
yang berlaku antara anggota masyarakat bahasa tertentu; yang disebut burung
oleh orang Indonesia disebut bird
oleh orang berbahasa Inggris, vogel oleh
orang Belanda, atau manuk oleh orang
Sunda.
Hal yang juga penting
sifat sistematiknya tanda bahasa dengan contoh sederhana: pemanfaatan aspek
bunyi dalam setiap bahasa menunjukan sistem yang cukup ketat dan teratur, yang
pertama-tama berdasarkan prinsip oposisi: misalnya dalam aspek bunyi
kemungkinan fonetis yang tersedia bagi manusia tidak terpakai sembarangan, tetapi
menurut kaidah yang jelas, dan dari keseluruhan potensi bunyi hanya sebagian
kecil saja dipakai untuk sebuah bahasa: burung,
dapat dipertentangkan dengan kurung,
urung, dan seterusnya, dengan busung,
bulung, dan seterusnya, dan dengan buruk,
buruh, dan seterusnya; demikianlah sejumlah oposisi antara bunyi yang
biasanya dalam ilmu bahasa disebut fonem dalam bahasa Indonesia dimanfaatkan
untuk membedakan kata-kata, sistem bunyi itu berdasarkan konvesi dan seleksi
yang terbatas dan berbeda menurut bahasa. Tetapi sistematik tidak hanya
terdapat pada aspek formal, aspek konseptual pun menunjukkan sistematik yang
jelas dan instrinsik, makna kata burung
bertentangan dengan kata unggas, ikan,
hewan, binatang, manusia, dan lain-lain.
Semua sistem tanda,
termasuk bahasa yang merupakan sistem tanda yang paling kompleks dan mendasar
untuk komunikasi antar manusia, dari segi tertentu dapat kita bandingkan dan
teliti bersama-sama, ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai
sistem tanda oleh De Saussure disebut semiologi, atau ilmu tanda (dari bahasa
Yunani semeion, yang berarti tanda).
Semiotik atau semiologi sebagai ilmu tanda menjadi makin populer dan makin luas
bidangnya, karena melingkupi tidak hanya ilmu bahasa dan sastra tetapi juga
aspek atau pendekatan tertentu dalam ilmu seni (estetik), antropologi budaya,
filsafat, dan lain lagi.
Penggunaan Konsep
Petanda dan Penanda dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam kehidupan
bermasyarakat Indonesia, sistem tanda dapat dijumpai dalam berbagai bentuk seperti
warna, kebudayaan, benda, sastra dan lain-lain. Misalnya dalam masyarakat
modern Indonesia memakai sistem tanda lalu-lintas, yang prinsipnya sama dengan
bahasa. Tanda lalu-lintas juga bersifat arbiter (merah sebagai larangan, hijau sebagai izin). Tanda lalu-lintas
tersebut juga memiliki arti yang hampir sama pada kehidupan sekolah, yakni pada
kata raport merah dan raport hijau. Raport merah diartikan sebagai raport buruk
seorang siswa yang bisa mengakibatkannya tidak naik kelas/ tidak lulus,
sementara raport hijau diartikan sebagai izin untuk terus mengikuti kegiatan
pembelajaran di sekolah. Namun warna merah tersebut memiliki arti yang berbeda
dengan warna merah pada Sangkakala Merah-Putih. Pada bendera kebangsaan kita
warna merah tersebut melambangkan warna yang dapat menahan hawa jahat, selain
itu juga didefinisikan sebagai simbol keberanian rakyat Indonesia dalam
berjuang serta mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia.
Contoh lain yang umum
terdapat tetapi mungkin berbeda menurut kebudayaan adalah sistem gerak-gerik:
menunjuk, menggeleng kepala, menghimbau, dan seterusnya, seringkali ada sistem
tanda kehormatan misalnya dalam kebudayaan Jawa, sistem tanda militer, sistem tanda
ritual pada upacara tertentu dan seterusnya.
Di pihak lain, sastra memiliki
konvensi antara lain untuk tidak menuturkan sesuatu secara langsung, sehingga
makna yang disarankan pun lebih menunjuk pada tataran sistem makna tingkat
kedua. Misalnya, hal itu terlihat pada penggunaan pelambang-pelambangan dan
atau perbandingan-perbandingan. Dengan demikian, dalam sastra memiliki signifiant dan signifie.
Berhadapan dengan
sebuah karya sastra, kita bisa melihat adanya hubungan konsep penanda dan
petanda yang jumlahnya sangat banyak. Pertama, kita akan melihat aspek formal
karya itu yang berupa deretan hubungan kata, kalimat, alenia, maupun yang lain
dapat dilihat dari kehadirannya dalam teks itu. Tiap aspek formal, kata, dan
kalimat, tersebut pasti berhubungan dengan aspek makna, sebab tidak mungkin
kehadiran aspek formal (bahasa) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep
makna.
Dalam sebuah prosa,
seperti novel (karya sastra yang paling digandrungi masyarakat Indonesia saat
ini) terdapat satuan cerita yang biasa disebut dengan sekuen, terdiri dari
sejumlah motif (satuan makna, biasanya berisi satu peristiwa) dalam karya fiksi
tiap satuan cerita dan motif itu diberi simbol-simbol atau notasi-notasi
tertentu.
Peristiwa dalam prosa
berhubungan secara makna, misal melambangkan suasana kejiwaan tokoh, hubungan
antar tokoh, dan lain-lain. Selain itu kita juga bisa menemukan sistem tanda
dan petanda pada judul prosa sebut saja cerita rakyat “Bawang Merah dan Bawang
Putih”. Dalam cerita rakyat tersebut, Bawang Merah diindetifikasikan sebagai
perempuan berhati jahat, suka menyiksa, bahkan sering membuat Bawang Putih
menangis. Sementara Bawang Putih, diindentifikasikan sebagai perempuan berhati
baik dan lembut. Selain dua tokoh tersebut, ibu tiri Bawang Putih (ibu kandung
Bawang Merah) juga membius masyarakat Indonesia, jika ibu tiri identik dengan
kejahatan atau suka menyiksa anak tirinya. Contoh lain adalah novel Andrea
Hirata berjudul “Laskar Pelangi” yang telah diadaptasi dalam film layar lebar,
dari judul saja sang novelis telah membuat konsep petanda, maksud dari kata
Laskar Pelangi itu adalah julukan bagi 10 anak dari keluarga miskin yang
bersekolah di sebuah SD Muhammadiyah, selain itu dalam novel ini juga kuat
dengan latar panorama pulau Belitung yang bak pelangi.
Dalam
karya sastra jenis puisi, konsep petanda dan penanda juga ada. Hal ini bisa
dicontohkan dengan puisi “Celurit Emas” karya Zawawi Imron, yang sangat identik
dengan latar belakang masyarakat Madura karena di pulau garam tersebut sangat
erat kaitannya dengan celurit, disisi lain celurit melambangkan keberanian
khususnya kaum laki-laki. Dalam masyarakat Madura terdapat banyak rumah yang
menyimpan celurit, namun hanya sebagai hiasan dan budaya asli yang harus
dilestarikan nantinya. Karena celurit memiliki filosofi tersendiri bagi orang
Madura.
Konsep Petanda dan
penanda Ferdinand de Saussure mempunyai
andil yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya masyarakat yang mengggunakan konsep ini. Sehingga dapat
dikatakan jika Ferdinand de Saussure sukses mempengaruhi masyarakat Indonesia.
Penutup
Ferdinand de Saussure,
yang secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakaan dasar ilmu bahasa modern.
Memiliki teori umum sistem tanda (general
theory of sign system) ini membawa corak tersendiri bagi masyarakat
Indonesia, hal tersebut dikarenakan adanya konsep petanda dan penanda itu
membuat sebagian masyarakat Indonesia semakin paham perbedaan arti tanda dalam
arti sesunggunya maupun denotasi (kiasannya). Namun hadirnya konsep ini juga
memiliki aspek tanda yang khas: tanda adalah arbitrer, konvensional dan
sistematik. Arbitrer berarti bahwa memiliki makna mana suka, artinya setiap
kelompok masyarakat bahasa pasti memiliki konsep penanda yang berbeda. Misal
burung dalam bahasa Indonesia, tapi vowel
dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu, dalam menganalisis artikel jenis ini,
harus memperhatikan bahasa apa yang akan kita teliti. Namun konsep petanda dan
penanda ini sukses mempengaruhi masyarakat bahasa negara kita, karena banyaknya
pengaruh dalam segala aspek kehidupan, sebagai contoh kecil petanda pada lampu
lalu-lintas.
Daftar Pustaka
Nurgiantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta:
Gadja Madja University Press.
Teeuw.
1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: PT Grimukti Pasaka.
ANALISIS PENGGUNAAN KONSEP PETANDA DAN PENANDA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Reviewed by Dunia Trisno
on
7:21:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment