Penulis : Gusti Trisno
ISBN : 978-602-72923-1-4
Pemerhati Aksara : Moh. Imron
Lay Out dan Tata Letak : Gusti Trisno
Desain Sampul : AhmadSufiatur R.
Harga :25.000
(Sebuah Pengantar Untuk Buku "Ajari Aku, Bu!" Karya Gusti Trisno)
Oleh : Sofyan RH. Zaid
“Saya adalah anak ibu.
Saya bisa mencipta puisi dan seperti sekarang ini, karena ibu.” D. Zawawi Imron
Ketika seorang anak menangis, yang dicari pertama kali adalah ibunya. Tahu kenapa? Anna Freud menjawab: Seorang anak tidak percaya pada siapapun di dunia ini, kecuali ibunya. Jawaban Anna ini berdasar pada konsep Freud –ayahnya- tentang ‘insting seksual’ (eros) seorang anak pada ibunya. Kata ‘seksual’ di sini adalah rasa nyaman dan aman, sebagai bentuk lain dari kecintaan.
Di samping Freud, Anna juga mengacu pada Alfred Adler dengan konsep ‘insting mati’ (thanatos) -yang belakangan juga diakui oleh Freud- bahwa seorang anak punya rasa ketergantungan yang kuat pada ibunya. Tanpa ibunya, seorang anak selalu merasa terancam dan ketakutan, seakan berada di ambang kematian.
Pada dasarnya tugas seorang ibu tidak selesai seusai melahirkan. Seorang ibu menjadi objek yang mengemban ‘eros’ dan ‘thanatos’ dari anaknya, sekaligus juga sebagai subjek yang merawat, membesarkan dan mengajarkan. Itulah kenapa Jean Piaget bercanda: menjadi seorang ibu lebih berat dari menjadi seorang anak.
Prof. DR. Aisyah Abdurahman dalam Ibunda Para Nabi (1988) menceritakan kalau Muhammad SAW punya banyak ibu. Siapapun wanita yang telah memberikan kasih sayang padanya meski sesaat, ia menganggapnya seorang ibu, sebentuk penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada ibu (kandungnya) sendiri. Bahkan ia kerap tidak bisa tidur jika ingat bagaimana perjuangan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan dan merawat anak-anaknya. Sehingga ia bersabda: surga di bawah kaki ibu.
Ketika seorang anak menjadi dewasa, ada banyak cara mengungkapkan rasa cinta kepada ibunya, salah satunya dengan melalui puisi. Sapardi misalnya bilang, mula-mula seorang penyair menulis puisi tentang apa yang paling dekat dengan dirinya, seperti Tuhan dan ibu.
Dalam perpuisian Indonesia, bisa dipastikan hampir semua penyair pernah menulis puisi kepada ibunya atau tentang ibu, misalnya: Chairil (Puisi Ibu) memandang ibunya sebagai sosok yang kuat dan tidak berkeluh kesah dalam merawat dirinya. Wiji (Sajak Ibu) melihat ibu sebagai orang yang “sanggup mengubah sayur murah menjadi sedap”. Rendra (Jangan Takut, Ibu) menyebutnya sebagai tangan yang dicium serta “rahim dan susumu adalah persemaian harapan”. Taufiq (Dari Ibu Seorang Demonstran) memandang ibu sebagai doa, restu dan pemberi semangat dalam melawan tirani dan memperjuangkan keadilan.
Lain lagi dengan Gus Mus (Ibu), baginya ibu adalah “gua teduh” dan segalanya di dunia; kawah, gunung, mata air, telaga, bulan, matahari, laut dan langit. Emha (Bunda Air Mata) lebih melihat ibu dan Tuhan sebagai dua kutub penting yang saling berkaitan. Sementara Zawawi (Ibu) menyebut ibunya sebagai “pahlawan” yakni “bidadari yang berselendang bianglala” dan “jika ada hutang di dunia ini yang tidak akan pernah sanggup dibayar, adalah hutang anak kepada ibunya”.
Ibu sebagai tema, masih akan terus ditulis dalam puisi oleh anak-anak di dunia. Sebab ibu adalah satu kata yang penuh cinta, rindu, kasih sayang, doa, kesetiaan, semangat, kebaikan dan harapan, maka “tidak ada kata yang lebih indah dari ibu”, kata Jibran. Dan salah satunya adalah Sutrisno G. Alfarizi (Sutrisno) dengan buku puisinya Ajari Aku, Bu! Sekumpulan puisi yang ditulis khusus sebagai persembahan buat ibunya tercinta.
Melalui buku ini, Sutrisno melihat ibu sebagai guru -sekaligus kekasih- yang membawanya dekat kepada Tuhan. Bagaimana dia menghormati, merindukan dan mencintainya begitu dalam. Sutrisno seperti sepakat dengan Inayat Khan bahwa cinta kepada ibu adalah salah satu jalan menuju Tuhan. Puisi-puisi yang ditulisnya semacam ritual. Bahkan dalam puisinya bertajuk Ibu dia sadar; “Tanpamu tak banyak puisi yang tertulis.”
Begitu juga pengakuannya dalam pengantar buku ini, Sutrisno menulis: Puisi adalah keindahan kata yang tak dibatasi oleh rima, irama, ataupun diksi yang indah karena sejatinya puisi itu bersifat abstrak, indah menurut orang ini belum tentu orang itu. Sebab yang dia mau hanyalah cinta kepada ibunya. Dan cinta tentu melampaui segalanya (amor vincit omnia). Misalnya kita lihat pada puisinya yang bertajuk Ajari Aku, Bu!:
Ajari aku, Bu
Menulis sebait puisi
meski tak butuh banyak diksi di dalamnya
karena keindahan dalam jiwamu akan mengalahkan segalanya
Ajari aku, Bu
melagukan kidung-kidung cinta
yang setiap katanya selalu menjadi kerinduan dalam diriku
Bagi Sutrisno, puisi hanyalah salah satu alat untuk mengekspresikan perasaan cinta dan rindu kepada ibunya, jadi tidak membutuhkan diksi atau pun majas yang sukar dan berlebihan, sebab kejujuran dan ketulusan selalu bahasa sendiri. Dan lebih indah dari dusta pada akhirnya. Dan “tiap-tiap penyair menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya bagi dirinya,” kata Takdir
Sebagai penutup kata pengantar ini, mari kita nikmati satu puisinya yang jujur, namun tidak kehilangan daya pukau dan puitiknya:
Perindu
Jika RINDU ini semakin menua
Aku takut tak bisa menabungnya
Jika bayang wajahnya hadir di pelupuk mata
Aku takut tak mampu mengusiknya
Jika DIA cemburu karenanya
Aku pun merasakan ketakutan yang luar biasaSelamat membaca. Hanya jika suatu saat atau telah, kita kehilangan satu-satunya orang di dunia ini yang setia menyebut nama kita dalam doanya, memikirkan dan mengkhawatirkan saat kita pergi, menyuruh kita bangun dan makan setiap waktu, menangis dalam setiap luka yang kita derita, memanggil lembut dan kita tidur di pangkuannya dengan manja, berarti kita telah kehilangan ibu. Dan kita akan terbakar rindu sepanjang waktu. Sebab ibu adalah wakil Tuhan di bumi, kata Iqbal.
Bogor, 26 Juni 2015
Oleh : Sofyan RH. Zaid
“Saya adalah anak ibu.
Saya bisa mencipta puisi dan seperti sekarang ini, karena ibu.” D. Zawawi Imron
Ketika seorang anak menangis, yang dicari pertama kali adalah ibunya. Tahu kenapa? Anna Freud menjawab: Seorang anak tidak percaya pada siapapun di dunia ini, kecuali ibunya. Jawaban Anna ini berdasar pada konsep Freud –ayahnya- tentang ‘insting seksual’ (eros) seorang anak pada ibunya. Kata ‘seksual’ di sini adalah rasa nyaman dan aman, sebagai bentuk lain dari kecintaan.
Sumber Gambar: ayosebarkan.com |
Pada dasarnya tugas seorang ibu tidak selesai seusai melahirkan. Seorang ibu menjadi objek yang mengemban ‘eros’ dan ‘thanatos’ dari anaknya, sekaligus juga sebagai subjek yang merawat, membesarkan dan mengajarkan. Itulah kenapa Jean Piaget bercanda: menjadi seorang ibu lebih berat dari menjadi seorang anak.
Prof. DR. Aisyah Abdurahman dalam Ibunda Para Nabi (1988) menceritakan kalau Muhammad SAW punya banyak ibu. Siapapun wanita yang telah memberikan kasih sayang padanya meski sesaat, ia menganggapnya seorang ibu, sebentuk penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada ibu (kandungnya) sendiri. Bahkan ia kerap tidak bisa tidur jika ingat bagaimana perjuangan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan dan merawat anak-anaknya. Sehingga ia bersabda: surga di bawah kaki ibu.
Ketika seorang anak menjadi dewasa, ada banyak cara mengungkapkan rasa cinta kepada ibunya, salah satunya dengan melalui puisi. Sapardi misalnya bilang, mula-mula seorang penyair menulis puisi tentang apa yang paling dekat dengan dirinya, seperti Tuhan dan ibu.
Dalam perpuisian Indonesia, bisa dipastikan hampir semua penyair pernah menulis puisi kepada ibunya atau tentang ibu, misalnya: Chairil (Puisi Ibu) memandang ibunya sebagai sosok yang kuat dan tidak berkeluh kesah dalam merawat dirinya. Wiji (Sajak Ibu) melihat ibu sebagai orang yang “sanggup mengubah sayur murah menjadi sedap”. Rendra (Jangan Takut, Ibu) menyebutnya sebagai tangan yang dicium serta “rahim dan susumu adalah persemaian harapan”. Taufiq (Dari Ibu Seorang Demonstran) memandang ibu sebagai doa, restu dan pemberi semangat dalam melawan tirani dan memperjuangkan keadilan.
Lain lagi dengan Gus Mus (Ibu), baginya ibu adalah “gua teduh” dan segalanya di dunia; kawah, gunung, mata air, telaga, bulan, matahari, laut dan langit. Emha (Bunda Air Mata) lebih melihat ibu dan Tuhan sebagai dua kutub penting yang saling berkaitan. Sementara Zawawi (Ibu) menyebut ibunya sebagai “pahlawan” yakni “bidadari yang berselendang bianglala” dan “jika ada hutang di dunia ini yang tidak akan pernah sanggup dibayar, adalah hutang anak kepada ibunya”.
Ibu sebagai tema, masih akan terus ditulis dalam puisi oleh anak-anak di dunia. Sebab ibu adalah satu kata yang penuh cinta, rindu, kasih sayang, doa, kesetiaan, semangat, kebaikan dan harapan, maka “tidak ada kata yang lebih indah dari ibu”, kata Jibran. Dan salah satunya adalah Sutrisno G. Alfarizi (Sutrisno) dengan buku puisinya Ajari Aku, Bu! Sekumpulan puisi yang ditulis khusus sebagai persembahan buat ibunya tercinta.
Melalui buku ini, Sutrisno melihat ibu sebagai guru -sekaligus kekasih- yang membawanya dekat kepada Tuhan. Bagaimana dia menghormati, merindukan dan mencintainya begitu dalam. Sutrisno seperti sepakat dengan Inayat Khan bahwa cinta kepada ibu adalah salah satu jalan menuju Tuhan. Puisi-puisi yang ditulisnya semacam ritual. Bahkan dalam puisinya bertajuk Ibu dia sadar; “Tanpamu tak banyak puisi yang tertulis.”
Begitu juga pengakuannya dalam pengantar buku ini, Sutrisno menulis: Puisi adalah keindahan kata yang tak dibatasi oleh rima, irama, ataupun diksi yang indah karena sejatinya puisi itu bersifat abstrak, indah menurut orang ini belum tentu orang itu. Sebab yang dia mau hanyalah cinta kepada ibunya. Dan cinta tentu melampaui segalanya (amor vincit omnia). Misalnya kita lihat pada puisinya yang bertajuk Ajari Aku, Bu!:
Ajari aku, Bu
Menulis sebait puisi
meski tak butuh banyak diksi di dalamnya
karena keindahan dalam jiwamu akan mengalahkan segalanya
Ajari aku, Bu
melagukan kidung-kidung cinta
yang setiap katanya selalu menjadi kerinduan dalam diriku
Sumber Gambar: sekti.blog.ugm.ac.id |
Sebagai penutup kata pengantar ini, mari kita nikmati satu puisinya yang jujur, namun tidak kehilangan daya pukau dan puitiknya:
Perindu
Jika RINDU ini semakin menua
Aku takut tak bisa menabungnya
Jika bayang wajahnya hadir di pelupuk mata
Aku takut tak mampu mengusiknya
Jika DIA cemburu karenanya
Aku pun merasakan ketakutan yang luar biasaSelamat membaca. Hanya jika suatu saat atau telah, kita kehilangan satu-satunya orang di dunia ini yang setia menyebut nama kita dalam doanya, memikirkan dan mengkhawatirkan saat kita pergi, menyuruh kita bangun dan makan setiap waktu, menangis dalam setiap luka yang kita derita, memanggil lembut dan kita tidur di pangkuannya dengan manja, berarti kita telah kehilangan ibu. Dan kita akan terbakar rindu sepanjang waktu. Sebab ibu adalah wakil Tuhan di bumi, kata Iqbal.
Bogor, 26 Juni 2015
(*) Kata Pengantar ini disalin dari tulisan Sofyan RH Zaid yang tertera di kabarbangsa.com
Baca Juga:
Behind The Story "Ajari Aku, Bu!"
Info Pemesanan bisa melalui Inbox Facebook Gusti Trisno atau SMS ke 08989480083.
Harga Rp 25.000 untuk ongkos kirim 15.000 (Jawa Timur), 20.000 (Pulau Jawa), 25.000 (Non Pulau Jawa).
Info Pemesanan bisa melalui Inbox Facebook Gusti Trisno atau SMS ke 08989480083.
Harga Rp 25.000 untuk ongkos kirim 15.000 (Jawa Timur), 20.000 (Pulau Jawa), 25.000 (Non Pulau Jawa).
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno dan G+ (+Gusti
Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu. Bisa juga follow
FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J
Mencintai Ibu, Merindukan Tuhan
Reviewed by Dunia Trisno
on
3:10:00 PM
Rating:
2 comments:
Sukses untuk bukunya, ya ...
--Kayla Mubara--
Siip. Tq doanya, Mbak. Doa yang sama untuk Mbak. :)
Post a Comment