Penulis
: Gusti Trisno
Penerbit
: AE Publishing
Editor
: Gusti Trisno
Layout :
Gusti Trisno
Kover
: Javan Design
Cetakan : Pertama,
Februari 2017
Tebal
: 86 hlm
ISBN
: 978-602-6325-37-2
Blurb:
Sementara itu, tak ada satu pun pertapa yang
memberinya hal-hal aneh semisal segenggam biji mentimun, jarum dari bambu yang
dipotong kecil-kecil, garam, dan terasi. Sebagai pencinta dongeng, kisahnya tak
sempurna. Seharusnya sosok raksasa yang mengejarnya akan kalah jika bertemu
barang-barang aneh itu.
(Titisan Timun Mas)
Ardi bukan tak peduli dengan para penghujat
atau Pak Udin itu, tugasnya sebagai mahasiswa hanyalah belajar, ikut
organisasi, setelah wisuda langsung mencari kerja, menikah, berumah tangga
sudah, tidak sedikit pun niat berdemo. Soal tindak-tanduk para penghuni kampus,
tak pernah ingin ia ikuti.
(Kampus Para Penghujat)
_*_
"Museum Ibu" adalah kumpulan cerita
pendek pertama Gusti Trisno, sebelumnya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Universitas Jember ini menerbitkan kumpulan puisi berjudul "Ajari Aku,
Bu". Selain itu, karya penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo itu telah
dimuat di beberapa media masa dan antologi bersama.
_*_
Nukilan:
Saya disambut atmosfer beraroma haru di
awal-awal langkah menjajaki buku ini. Dari judul sebenarnya memang sudah
tercium.
Meski bukan diperuntukkan untuk Ibu,
melainkan guru di dunia maya, puisi berikut cukup menyentuh. Ada rasa terima
kasih dan sebongkah mimpi yang patut diperjuangkan.
“Bu, pertemuanmu beberapa tahun lalu
Membuatku terjerumus ke dalam dunia yang
penuh keasyikan; menulis
Kau ajariku mengenakan titik koma
Pun merangkai aksara renta
Bu, kau guru mayaku
Kini kubutuh mantra semangatmu sebagai
penawar rindu melalui tulisanmu di layar inbox-ku”
(Puisi dalam cerpen "Teruntuk Guru Maya
di Layar Laptopku”_hal 10)
Tentang bagaimana seorang anak sudah
sewajarnya meluangkan waktu untuk membantu/membahagiakan orangtua, pun diungkit
di sini. Sebab bagi mereka, bisa bersama saja sudah sangat membahagiakan.
“Tak ada kata yang terucap namun seulas
senyum Ibu yang kuterima mampu meneduhkan jiwa.”
(Kutipan cerpen "Pathek Siang
Itu"_hal 14)
Saya merasa penulis banyak meraup ilham dari
lingkungan sehari-hari, bahkan bisa jadi sebagian benar-benar ungkapan isi
hati. Dan yang saya acungi jempol, selalu ada petikan yang bisa dijadikan
renungan.
“Bukankah Ibu bisa jadi siapa pun, tapi tak
bisa digantikan siapa pun?”
(Kutipan cerpen Museum Ibu_hal 41)
Penulis juga menyuarakan konflik di tengah
masyarakat yang sebenarnya agak lucu bila dipikir lama-lama. Misal perselisihan
hanya karena permasalahan pembagian zakat. Geli, kan? Tapi benar-benar ada,
loh! Dan dampaknya aneh-aneh.
“Musala yang baru dibangun sebagai pusat
pembelajaran berganti dengan pusat kongko-kongko anak muda di kala magrib.
Adakah di antara pembaca yang budiman berkenan menjadi ustaz atau mencari ustaz
untuk musala tersebut?”
(Kutipan cerpen Mencari Ustaz_hal 44)
Bagian-bagian akhir buku ini menyuguhkan
diksi yang sedikit berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya, lebih berwarna dan
agak puitis. Mungkin sengaja disiapkan sebagai hidangan penutup.
“Di tengah kepemimpinannya, ia terus menulis
kidung cinta. Kidung yang belum sempat ia nyanyikan kepada suaminya. Kidung
yang merefleksikan kecintaannya kepada sang teladan Nabi Muhammad dan Raja
Makmur.”
(Kutipan cerpen Kidung Cinta Ratu Aminah_hal
50)
Hal itu semakin dipertegas ketika tiba di
cerpen terakhir. Di sana saya menemukan opening yang aduhai. Tak heran
jika cerpen ini pernah tayang di media cetak.
“Hujan tak menunggu bulan Juni untuk deras,
mistis, dan romantis. Tapi bisa saja hujan datang dengan siklus yang tak
terduga.”
(Kutipan cerpen Tak Ada Dosen Hari Ini_hal
74)
Apa yang telah saya paparkan hanya garis
besarnya. Segera miliki buku ini untuk menikmati isinya secara keseluruhan.
_*_
Review:
Pada kata pangantar penulis menjabarkan bahwa
beberapa cerpen dalam buku ini ditulis ketika ia baru di awal-awal menjajaki
dunia literasi, sengaja dikumpulkan dan tetap mempertahankan orisinalitas.
Menurut saya, penulis sedang mengemas proses dan berusaha menyuarakannya.
Cerpen-cerpen ini lahir dari ide sederhana
yang kemudian dipresentasikan dengan sangat menarik. Kesederhanaan dibuat
berbobot dengan kedalaman pesan yang terkandung di tiap-tiap cerita. Beberapa
cerpen jadi sangat kritis dan menohok.
Saya merasakan gaya bercerita penulis cukup
santai dan sesekali diselingi lelucon segar. Penulis juga cukup berani
menjadikan dongeng sebagai pondasi cerita kemudian didaur ulang. Keren.
Yang disayangkan, masih cukup banyak typo dalam
buku ini. Saya juga merasa beberapa cerita strukturnya mirip dengan cerita
sebelum atau setelahnya. Kesannya satu ide ditulis ulang dengan hanya mengganti
sudut pandang.
Overall, buku ini cocok untuk kamu yang
menginginkan cerita tentang Ibu dalam cakupan makna yang luas. Ada balutan
haru, perjuangan, dan impian di sini.
Catatan Penting:
Review atau ulasan ini merupakan salinan atas
tulisan Ansar Siri yang bersumber dari sini. Sebelumnya Booksgram hits asal
Makassar ini mengupas tuntas Museum Ibu selama 5 hari dari tanggal 2 Januari
2018-7 Januari 2018. Info lengkap bisa cek di Instagram: @ansarsiri
Menjelajah Museum Ibu dalam Kupasan Booksgram Hits Asal Makassar
Reviewed by Dunia Trisno
on
7:43:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment