Dalam sebuah
nyanyian dangdut, cinta diibaratkan hidup seseorang. Di mana setiap orang pasti
memiliki cinta, jika tidak pasti hidupnya itu tak berarti. Hidup tak berarti
sama saja dengan taman yang tak memiliki bunga.
Entah mengapa, aku begitu bingung jika
harus mengibaratkan cinta yang bersarang dalam diri. Atau karena pujaan hati
tak pantas dimiliki. Untuk menghentikan kebingunganku, aku pun memutuskan
melihat tayangan di salah satu infotaiment yang menceritakan tentang kisah
cinta Judika dan Duma Riris yang sangat berliku. Di mana pasangan selebritis
sebelum memutuskan menikah. Hubungan mereka ditolak oleh keluarga. Bahkan untuk
mengekspresikan hal tersebut, Judika membuat lagu berjudul Mama Papa Larang.
Namun, kini hubungan mereka pun sebentar lagi akan diikat oleh tali suci
pernikahan. Ah. Begitu indahnya.
Dan yang paling penting, Judika pun
membuat lagu untuk Duma Riris berjudul Sampai
Akhir. Sungguh. Romantis parah.
Bagaimana denganku ya?
Ah? Bisakah romantis?
Di tengah kondisi yang kritis?
“Cepat jual putunya, Nak.
Pelangganmu nanti nyari. Kok malah lihat tivi!” Ibu membuyarkan lamunanku.
Sejurus kemudian. Aku langsung
mematikan tayangan televisi. Dan benar. Belum sampai seratus meter berkeliling
menjajakan kue putu. Tampak banyak sekali pelanggan yang menanti kedatanganku.
“Sam ...,” sapa seorang pelanggan
bertubuh gempal.
Wajahnya yang sedikit keibuan itu
sejenak mengalikan perhatianku. Ada apa? Kok tidak seperti biasa, ada pelanggan
yang memerhatikanku dengan tak biasa.
“Dicari Bapak-nya Putri tuh.”
Ucapnya membuatku menahan ludah.
“Emang ada apa ya, Bu?” tanyaku,
bingung.
“Ya.. elah, siapa sih yang nggak
tahu hubungan kalian berdua. Apalagi Bapak-nya Putri.”
“Terus?” jawabku, masih sedikit
bingung.
“Ya. Cepat. Temui, kali aja ada yang
penting.” Ucap Ibu tersebut, lalu berlalu dari pandanganku.
Ah. Ada apa? Mengapa harus Bapak
Putri memanggilku? Bukankah sudah banyak pemuda yang dipanggil oleh pemilik
perusahaan wajan itu dan berakhir dengan air mata tatkala pulang dari
istananya.
Tidak! Aku tak boleh takut.
Putri juga tak hilang akal. Ia pun
mengirimi sms motivasi padaku.
“Tidak ada apa-apa, Sayang. Bapak
menunggu. Ayo!”
Terbayang dalam pikiranku jika yang
mengirim SMS barusan bukan Putri melainkan seseorang yang mengatasnamakan Putri.
Dengan SMS itu, membuat aku berani bertemu dengan lelaki pemimpin perusahaan
wajan itu. Dan tentu, sesampainya di istana mereka. Aku akan dibuat nangis
bombay.
Bukankah itu seperti adegan klise di
sinetron-sinetron di layar kaca?
Cinta terlarang?
Beda status? Agama? Dan lainnya?
Belum lagi dalam novel-novel, banyak
sekali cinta terlarang yang berakhir sad
ending.
Tiba-tiba, entah malaikat atau
setan, kumendengar suara seperti bisikan kecil yang menyatakan kalau aku harus
menemui orangtua Putri. Ya. Harus.
Lima belas menit berlalu, rumah
Putri berada di depan mata. Kaki ingin melangkah, namun hati menahan beberapa
langkah. Ah. Mana bisa? Lelaki kok tak memiliki kepastian dalam derap langkah
kaki? Aneh!
“Sam.” Putri memanggilku.
Bagaimana bisa dia mengetahui aku
berada di dekat rumahnya. Atau karena aroma tubuhku yang tercium sempurna. Bukankah
ini suatu kegilaan saja. Aku pun tak memiliki banyak alibi lagi, dengan rasa
terpaksa bercampur takut, aku melangkah di belakang Putri.
Bapak Putri menyambut kami dengan
senyum tak biasa.
“Silakan duduk, Sam.” Pinta Bapak
Putri.
Aku pun duduk dengan kaki gemetar
tiada tara.
“Sejauh mana hubungan kalian?” tanya
bapak Putri penuh selidik.
“Hubungan kami, ya kami bersahabat
sangat dekat, Pak.” Jawabku, entah mengapa aku risih jika menyatakan kami
berpacaran. Bukankah pacaran itu terdengar asing di kalangan orang tua.
“Saya sih, tidak pernah melarang.
Putri mau berhubungan dengan siapa. Tapi yang terpenting, kalian tahu batas.”
Aku menggangguk-angguk tak mengerti.
“Tapi, jika kamu benar-benar serius
dengan Putri. Ya, saya tunggu kamu lepas wisuda ini. Dan satu lagi.” Suara
Bapak Putri menggantung beberapa kata yang membuatku bertambah penasaran.
“Buatkan novel untuk Putri sebagai
aksesoris pernikahan nantinya. Bukankah selain kamu jualan putu, juga seorang
penulis meski amatiran sih.”
Aku menggangguk menyanggupi.
Bukankah cerpen-cerpen tentang Putri telah banyak tertulis dan banyak butuh
beberapa halaman lagi untuk menyambungnya dan menjadikan sebuah novel.
“Sebagai saran bagaimana kalau
judulnya Pangeran Putu dan Putri Wajan.” Kata Bapak Putri membuatku ingin
tertawa terpingkal-pingkal.
Pangeran Putu dan Putri Wajan (Dimuat di Tanjung Pinang Pos Edisi 18 Desember 2016)
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:53:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment