Cerpen yang diplagiat
sendiri berjudul 'Bukan Kecap Oriental' yang pernah tayang di Jawa Pos. Cerpen
tersebut tayang kembali di media lain dengan judul 'Menantu Idaman'.
Dalam melakukan tindakan
plagiat, si penulis mengubah nama tokoh dan judul cerita saja. Hanya saja
pelaku kurang jeli. Karena panggilan tokoh, di narasi disebut mamak sementara di
dialog masih disebut ibu seperti cerpen aslinya. Bagi yang penasaran dengan
perbandingan antara cerpen asli dan cerpen hasil plagiasi. Bisa klik di BukanCerpen Oriental dan Menantu Idaman.
Tindakan plagiat atas
karya sastra ataupun yang lainnya bukan sekali-dua kali muncul ke permukaan. Ada
banyak sekali yang sudah kalian ketahui. Anehnya sebagian pelaku plagiat itu tidak
merasa melakukan tindakan terpuji itu.
Makanya sebelum
membahas tentang plagiat lebih jauh, kita harus mengerti apa itu plagiat,
plagiarisme, dan plagiator. Untuk mengerti konsep dasar itu, kita merujuk ke
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ya!
· Plagiat: pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya)
orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya)
sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri;
jiplakan.
·
Plagiarisme: penjiplakan yang melanggar hak cipta.
·
Plagiator: orang yang mengambil karangan
(pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat
dan sebagainya) sendiri; penjiplak.
Pengertiannya jelas
sekali bukan? Lalu, bagaimana jika kita melihat atau mengetahui tindakan plagiat yang dilakukan seseorang?
Haruskah kita diam atau memperingatinya?
Pasti setiap
orang memiliki jawaban masing-masing karena sudut pandang yang berbeda-beda. Begitulah
yang terjadi tindakan plagiat atas cerpen Bukan Kecap Oriental. Tetapi saya
yakin menanggapi permasalahan tersebut, orang-orang di Facebook baik yang
penulis atau penikmat karya sastra akan mengecam tindakan itu. Makanya sanksi
sosial di ranah maya langsung menyeruak.
Apalagi sebagian
besar orang menyangsingkan kalau pelaku tidak mengerti atas tindakannya. Hal ini dikarenakan
dua faktor: Pertama, sebagai seorang mahasiswa S2 sudah pasti belajar tentang
tindakan plagiat itu apa. Hal ini terbukti sebelum ia menyelesaikan tugas akhir
di masa kuliah. Kedua, sebagai orang yang bukan sekali tulisannya dimuat di media
massa, sudah pasti tahu bagaimana rasanya jika tulisannya sendiri diplagiat. Sakit,
Buk!
Seorang
penulis pernah berkata kepada saya, “Gus, seorang penulis itu aktor
intelektual. Jika ia memiliki kesalahan, siap-siap pembaca dan media akan
meninggalkannya. Kesalahan terbesar seorang penulis adalah melakukan tindakan
plagiat atau mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri.”
Pernyataan
itu benar-benar membekas dalam pikiran saya. Apalagi setelah tahu dampak
plagiat yang benar-benar kejam. Seperti di ranah akademik, bisa-bisa gelar akademik
yang diperoleh semasa kuliah bisa dicopot loh. Kan eman banget sama
waktu dan tenaga yang sudah dikeluarkan habis-habisan di masa kuliah? Belum lagi,
kalau orang tua sudah terlanjur senang atas kelulusan kita. Duh, pasti banyak
orang yang mencemooh dan memandang rendah deh. Nggak percaya? Jangan nyoba-nyoba
ya! Hehe. Lalu, bagaimana jika hal tersebut terjadi di ranah karya baik fiksi
atau nonfiksi, gelar penulis yang sudah disandang tidak lantas membuat gelar
atau sapaan keren itu tercopot kok. Cuma sebagai orang yang pernah melakukan
plagiat, tak mudah membuat
pembaca dan media percaya lagi akan karya kita.
Tak hanya itu, dampak plagiat itu juga diatur jelas
loh oleh undang-undang. Bahkan kita sudah sering membacanya di setiap halaman
awal pada sebuah buku. Jika tidak ingat, saya kutipkan di sini ya:
Kutipan Pasal 72 terkait
Ketentuan Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta:
(1) Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliyar
rupih)
(2) Barangsiapa
dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
Ih,
ngeri banget ya? Dendanya besar sekali ya? Makanya kita harus mencegah tindakan
itu. Caranya ya jika mengutip pendapat seseorang sertakan saja siapa penulis
aslinya, baik itu di ranah penelitian ilmiah ataupun ketika menulis fiksi lho. Sebab
memang tidak semua orang tahu jika tindakan yang dilakukan terindikasi plagiat.
Semisal menyalin status orang tanpa menyertakan penulis aslinya dan menyebarkan
pesan siaran tanpa menyertakan siapa yang menulis.
Makanya
perlu edukasi, inilah tugas kita yang teramat berat. Saya sendiri sejak
menekuni dunia tulis-menulis mulai SMA tidak tahu-menahu tentang plagiat. Akhirnya,
ketika menulis di blog ini pada tahun-tahun awal saya sering sekali mengutip
pendapat orang lain, lalu disambung dengan pendapat lain lagi, dan disambung
pula dengan pendapat sendiri. Barulah diakhir tulisan saya menyebut link yang
memberikan pendapat itu.
Dan ketika
kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tepatnya matakuliah Penulisan
Karya Ilmiah. Saya baru mengetahui jika cara menulis seperti itu salah. Sebagai
penulis ada cara mengutip tersendiri yang kemudian dikenal dengan kutipan
langsung dan kutipan tidak langsung. Kalau mengutip langsung itu kita tidak
mengubah subtansi/isi pendapat orang, tetapi kalau tidak langsung kita
memprafasekan pendapat orang tersebut, jadi ada sedikit pengubahan. Begitulah kira-kira.
Eh,
kalau kasus seperti itu kira-kira plagiat? Atau tidak tahu teknik mengutip ya? Hehe.
Biarlah pembaca yang menentukan.
Tapi yang
pasti, sejak mengetahui materi itu saya lebih hati-hati dalam menulis. Begitupun
ketika menulis karya fiksi, saya tuliskan jika idenya terinspirasi atau mengadaptasi.
Sebagai contoh pada cerpen Mereka Bilang Ibuku Monster yang terinspirasi dari video
di slide power point yang diputar oleh Kepala Sekolah saat H-3 Ujian Nasional.
Yuk,
jadi agen pemberantas plagiat caranya seperti yang dikatakan AA Gym dengan 3 M-nya,
mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.
Salam.
Gusti
Trisno
Plagiat dan Sikap Kita
Reviewed by Dunia Trisno
on
1:23:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment