ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI*



ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI*
Oleh : Sutrisno Gustiraja Alfarizi/130210402039
*Diajukan guna memenuhi tugas UAS Teori Sastra
Dukka Ronjangan ilustrasi Budiono
BAB I
Pendahuluan
1.1                    Latar Belakang

Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangunan cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal itu sendiri hanya berupa kata-kata. Kata merupakan sarana pegucapan sastra.
Prosa adalah cerita, dan cerita digemari manusia sejak kecil. Dan tiap hari manusia senang pada cerita entah faktual, gurauan atau sekedar ilustrasi dalam percakapan. Bahasa prosa juga sedikit denotatif, tingkat kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi prosa ”mudah” dibaca dan dicernakan. Juga prosa kebanyakan suspense dalam alur ceritanya, yang gampang menimbulkan sikap rasa penasaran bagi pembacanya.
Data menujukan bahwa bentuk sastra prosa paling banyak dibaca dari bentuk lain. Hal ini disebabkan sebuah prosa merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, prosa  mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan lain secara eratdan saling menggantungkan.
Jika prosa dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya, merupakan bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu. Prosa itu sendiri terbagi beberapa jenis, diantaranya cerpen, novel, dan novelet.
Dalam cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari, pembaca diajak untuk memahami unsur budaya orang Madura, selain itu di dialognya ada yang menggunakan bahasa Madura, sehingga membuat cerpen ini menjadi lebih hidup dan sesuai konteks daerahnya. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
Lalake’ padhana emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam hati.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].
Cerpen Dukka Ronajangan dipilih karena cerpen ini bukan sembarang cerpen. Cerpen ini telah dimuat di koran harian Jawa Pos, pada tanggal Jawa Pos, 20 Januari 2013. Sebuah cerpen yang dimuat di Jawa Pos harus melalui seleksi yang ketat.
   Selain itu karya-karya Muna Masyari sudah cukup dikenal dikalangan sastra. Puluhan tulisannya telah dimuat diberbagai media.
   Berdasarkan hal itulah, saya memilih cerpen “Dukka Ronjangan” untuk dianalisis.
1.2 Rumusan Masalah
   Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
   Bagaimanakah unsur instrinsik cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari?
1.3 Tujuan
   Adapun tujuan yang ingin digapai dalam makalah ini adalah:
   Untuk mendeskripsikan unsur instrinsik cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharap dari makalah ini adalah:
1.                        Bagi Pemakalah
Untuk menambah informasi dan wawasan tentang cara analisis unsur instrinsik cerpen  serta mengaplikasikan teori yang telah dimiliki selama perkuliahan.

2.                        Bagi Dosen
Untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa selama perkuliahan yang di aplikasikan dalam wujud analisis cerpen.



BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1                    Landasan Teori
Sebuah karya sastra, fiksi menurut kaum Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981:68). Dipihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik)  yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Strukturalisme dapat dipandang sebagai suatu pendekatan objektif. Pendekatan struktural berangkat dari pandangan kaum strukturalisme yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang unsurnya berhubungan antara satu dan lainnya.

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur instrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur Instrinsik tersebut terdiri dari tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Adapun pembahasannya seperti berikut.

1.                        Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.
Tema itu sendiri di golongkan atas berbagai macam menurut pengklasifikasiannya, adapun macam-macam tema sebagai berikut:
a.                        Tema tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dapat dimaksudkan sebagai tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyatan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi:
1.kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan,
2.tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
3.tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya
4.cinta yang sejati menuntut pengorbanan
5.kawan sejati adalah kawan di masa duka
6.setelah menderita orang baru mengingat Tuhan
7.berakit-rakit dahulu berenang ke tepian dan sebagainya. 
Tema-tama tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan ( Meredith & Fitzgerald, 1972: 66).

            Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, dikatakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh yang digolongkan sebagai protagonis, akhirnya mengalami kemenangan kejayaan. Novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H, misalnya menampilkan tema yang bersifat melawan arus tersebut, kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.

b. Tingkatan Tema Menurut Shipley

            Shipley (1962: 417) membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema tingkat organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. 
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, objek pencarian tema. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Kelima, tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.
“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.
Sambil mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di dekat kaki lincak. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.
“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”
Marinten tidak menyahut.
Sebuah kisah tentang Marinten, seorang perempuan yang sering membunyikan alunan bunyi ronjangan. Keahliannya sudah terkenal ke se antero kampong. Keahlian tersebut ia warisi dari sang Ibu. Namun kini bunyi alunan ronjangannya begitu kacau, dan Ibunya begitu marah besar. Bunyi alunan ronjangan mendeskripsikan suasana batin Marinten yang sedang kacau. Penolakan atas lamaran Arsap untuknya begitu menyayat hatinya. Mengapa ibunya tega menolak lamaran Arsap untuknya? Semua masih menjadi tanda-tanya.



BAB III
Hasil Pembahasan

            Dari hasil analisis cerpen Dukka Ronjangan karya Muna Masyari dapat diperoleh hasilnya sebagai berikut.
1.      Tema
Adapun tema dari cerpen Dukka Ronjangan adalah:
a.       Tema Utama
     
            Tema utama membahas tentang masalah dendam. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan cerpen berikut.

            Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.

            Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.

Bagi ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara untuk membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang selama ini dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi undangan mereka memainkan dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

b.      Tema Tambahan
            Tema tambahan yang terdapat dalam cerpen ini adalah Kasih tak Sampai. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut.

            Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.

2.      Alur atau Plot

            Kaidah penggunaan plot pada cerpen ini menggunakan tahapan plot: Rincian Lain. Kaidah pemplotan ini membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut.
a.       Tahap Situation
            Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-(tokoh) cerita. Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.
            BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.

b.      Tahap Generating Circumstances: Tahap Pemunculan Konflik
            Tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.
            Ada nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka. Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan seperti terpagut angin.
c.       Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik
            Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.
            “Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
            Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
            “Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.
d.      Tahap Climax:
            Tahap ini merupakan pertentangan-pertentangan yang terjadi yang di akui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Tahap ini juga digambarkan dalam dialog Marinten dan ibunya.
            “Kamu diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.
            Marinten mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
            Dialog tersebut menggambarkan kemarahan Ibu Marinten yang luar biasa.
e.       Tahap Denoviement: Tahap Penyelesaian Konflik
            Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangannya dikendorkan. Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.

Marinten bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku akan ke rumah Ke Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.
Selain terdiri dari beberapa tahapan, plot di cerpen ini juga dibedakan atas berbagai macam tergantung dasar pengklasifikaannya.
   a. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Merupakan plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir. Dimana cerita ini adalah kilas balik ingatan Arsap terhadap penolakan lamaran oleh Ibu Marinten hingga Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya dan mendapatkan jawaban, mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.

Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan cerpen berikut.

BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh Bara di dadanya tersiram.
            Sepulang dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua  yang belum pernah menikah hingga sekarang itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban, mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.
b.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
            Plot tunggal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero. Hal ini dapat dibutikan dengan cara penulis melukiskan perjalanan tokoh utama yang lengkap dengan permasalahan dan konfliknya.
            Dan hal ini dapat dibuktikan, pada banyaknya kata yang menceritakan konflik yang dialami oleh Marinten. Berikut kutipan cerpennya.
Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan. Sudah dikenal di punjuru kampung.
Marinten mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”

c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan

            Plot padat. Hal ini dapat dibuktikan dari terjadinya peristiwa-peristiwa yang cepat dan saling berhubungan. Berikut kutipan cerpennya.

BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.
Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan.
Menurut cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan.
         Sama dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para lelaki. Banyak pemuda kampung yang terpikat dan terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.
Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.
Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di halaman. Mau apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke Samulla dengan mata tak suka.

Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas. Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya menolak lamaran Arsap. Antara Ke Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.
Dulu, Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten. Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata manis. Ke Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.
           
            d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
 Merupakan plot tokohan, karna banyak menceritakan seputar permasalahan Marinten seperti yang telah dikemukan sebelumnya.
3.      Tokoh dan Penokohan
Adapun tokoh dan penokohan dalam Cerpen Dukka Ronjangan adalah               
a.       Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utamanya adalah Marinten dan Arsap, hal ini dapat dibuktikan dari permasalahan cinta mereka sampai hubungan masalah lalu antara kedua orangtua mereka.
Tokoh tambahannya adalah Ibu Marinten, Maksar, dan Ke Samulla, hal ini dapat dibuktikan dari penambahan masalah diantara ketiganya yang mempengaruhi masalah kasih tak sampai antara Marinten dan Arsap.
b.      Tokoh Protagonis dan Antagonis.
 Tokoh Protagonis dalam cerpen ini adalah sebagai berikut:
Marinten: Sosok anak yang patuh terhadap perintah orangtua. Hal ini tergambar dari sikapnya yang mau mengikuti suruhan Ibunya untuk mengisi acara pernikahan Arsap. Padahal dalam hatinya ia tak ingin melakukan hal itu.
Ke Samullah: Kebaikannya tergambar ketika ia menyikut tangan Maksar, seketika Maksar berhenti tertawa. Ia juga menceritakan tabir masalah lalu hubungan cinta segitiga antara dirinya, Ibu Marinten, dan Maksar kepada marinten sehingga Marinten bias paham terhadap alasan penolakan lamaran Arsap oleh ibunya.
Tokoh Antagonis dalam cerpen ini adalah sebagai berikut:
Arsap: Bersifat Pendendam.
Ibu Marinten: Bersifat Pendendam.
Maksar: Bersifat Pendendam.                    
4.      Latar
a.       Latar Tempat
Latar tempat dalam cerita ini adalah daerah yang menggunakan bahasa Madura, hal ini tergambar dari kata-kata yang sering digunakan dalam cerpen.
b.      Latar Waktu
Waktu yang tergambar dalam cerpen ini adalah malam hari, hal ini tergambar dari kutipan cerpen berikut.
Malam merangkak lamban.
c.       Latar Suasana
Suasana dalam cerpen ini adalah tegang, hal ini tergambar dari dialog-dialog Marinten dan Ibunya.
5.      Sudut Pandang
Dalam cerpen ini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal ini dikarenakan tokoh dijelaskan dengan nama.
Kutipan Cerpen:
BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.
6.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan penulis dalam cerpen ini, menggunakan majas personifikasi.
Kutipan Cerpen:
Bulan alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit beranda, dan dikerubung hewan-hewan kecil.
7.      Amanat
Adapun amanat dalam cerpen ini adalah sebuah perenungan yang diberikan penulis bagi pembaca untuk tidak menyimpan dendam. Karena sifat pendendam tak ada gunanya. Dan hanya menambah masalah-masalah baru.















Lampiran
Dukka Ronjangan
Cerpen Muna Masyari (Jawa Pos, 20 Januari 2013)
Dukka Ronjangan ilustrasi Budiono
Dukka Ronjangan ilustrasi Budiono
BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.
Bulan alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit beranda, dan dikerubung hewan-hewan kecil. Sepasang paha sapi yang sudah dikuliti digantung sungsang di beranda dapur. Aroma dupa meruap terbawa angin.
Semula, irama ronjangan yang berseiring dengan gemerincing tutup menangan [2] terdengar sumbang. Antara bunyi dung-dung dan bunyi ngojur tidak selaras. Bukan irama yang biasa dimainkan saat pembuatan dodol, penyembelihan sapi, panen raya maupun pada saat mengabarkan kematian.
Ada nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka. Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan seperti terpagut angin.
Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan. Sudah dikenal di punjuru kampung. Jika ada hajatan, orang-orang biasa mengundang mereka. Tidak mungkin Marinten keliru memimpin kawan-kawannya memainkan irama.
Marinten. Selain mahir memainkan irama, perempuan itu memiliki daya pikat melebihi kawan-kawannya, dan membuat orang selalu tertarik mengundangnya. Dengan mengenakan sampir batik ketthel tello’ bermotif kembang cengkeh, kebaya bunga-bunga, rambut disanggul miring berhias roncean kembang melati, Marinten berhasil mencuri perhatian di setiap acara. Meskipun berdandan seadanya, Marinten tetap terlihat cantik. Sederhana namun memesona. Ada yang bilang, Marinten memiliki daya pikat yang diwariskan ibunya.
Menurut cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan. Irama yang dimainkan mampu melepas lelah saat panen raya, menyemarakkan suasana dalam acara perkawinan maupun khitanan, dan bisa membuat orang terhanyut kesedihan saat dimainkan untuk mengabarkan duka.
Bila ada acara hajatan yang mengundang dirinya, para undangan segera datang berduyun-duyun. Bunyi dung-dung yang beradu dengan gemerincing menangan seolah menyihir mereka untuk segera hadir. Yang semula berhalangan datang, akhirnya tetap mengusahakan hadir demi melihat ibu Marinten yang sedang mengetukkan alu bersama kawan-kawan.
Sama dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para lelaki. Banyak pemuda kampung yang terpikat dan terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.
Setiap panen raya maupun musim-musim acara perkawinan, Marinten dan grupnya tak pernah sepi dari undangan. Tapi irama yang dimainkan Marinten sekawan malam ini sungguh beda. Iramanya kadang terdengar sedih, marah, lalu tiba-tiba berirama kacau sebagaimana orang yang tengah dilanda putus asa.
***

Arsap menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Asap bergulung-gulung, melayang ke udara.
Lalake’ padhana emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam hati.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].
Maka, dengan kepala mendidih, Arsap pun meminta pada ayahnya agar dicarikan seorang perempuan yang bersedia dinikahi secepatnya. Maksar, yang semula sudah keberatan Arsap melamar Marinten, mencari calon menantu dengan segera.
Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.
***
Bunyi dukka ronjangan terus bertalu. Aroma kemenyan menyengat. Para ibu yang bertugas menyiapkan menu masakan untuk undangan besok pagi masih sibuk di dapur.
Malam merangkak lamban. Arsap dan ayahnya masih menemani para kerabat di beranda. Maksar tampak bergembira dengan tawa yang kadang membahak. Dodol dan bajik yang tersaji tinggal beberapa kerat. Tutup cangkir telentang berisi puntung dan abu rokok.
Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di halaman. Mau apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke Samulla dengan mata tak suka.
Ke Samulla mengamati Marinten yang tengah memainkan dukka ronjangan. Tak segera naik ke beranda untuk menemui tuan rumah. Tatapannya aneh. Dada Arsap menggemuruh.
***
“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.
Sambil mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di dekat kaki lincak. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.
“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”
Marinten tidak menyahut.
“Itu pasti gara-gara kamu! Pikiranmu ke mana-mana!”
“Bukankah Ibu yang mengajariku memainkan dukka ronjangan dengan menyatukan jiwa dan pikiran? Menghayati penuh perasaan. Dalam acara gembira, kita harus bermain dengan jiwa riang. Begitupun sebaliknya. Dengan begitu, irama yang kita mainkan akan mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengar. Menggiring mereka pada kedalaman jiwa dan rasa yang sedang kita hayati. Bukankah begitu?”
“Betul. Lalu kenapa yang kaumainkan tadi iramanya jadi seperti itu? Seharusnya kau memainkan dengan jiwa bahagia.”
“Aku sudah memainkan dukka ronjangan dengan jiwaku. Jadi tidak ada yang perlu kusesali,”
“Kamu diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.
Marinten mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
“Dasar bodoh! Kau menyesal karena aku menolak lamaran Arsap?”
“Beri aku alasan, kenapa Ibu menolak lamarannya?”
“Dia tidak baik untukmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun asal bukan dengannya!”
“Dengan siapa pun?” Senyum Marinten menyeringai, belum yakin ibunya tidak akan menjilat ludah sendiri.
“Ya! Dengan siapa pun!” Ibu Marinten menegaskan.
Marinten bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku akan ke rumah Ke Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.
Ibu Marinten tercekat di tempat. Punggung Marinten lenyap di balik pintu.
Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas. Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya menolak lamaran Arsap. Antara Ke Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.
Dulu, Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten. Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata manis. Ke Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.
Maksar merasa memeroleh kemenangan tanpa harus berperang. Ia berniat melamar ibu Marinten secepatnya. Namun orangtua Maksar justru tidak setuju karena ibu Marinten dikabarkan memiliki susuk pemikat, dan mencarikan perempuan lain.
Ke Samulla berang. Ia tidak terima Maksar menyia-nyiakan ibu Marinten begitu saja. Terjadi debat sengit antara mereka berdua. Hampir saja terjadi carok.
Bagi ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara untuk membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang selama ini dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi undangan mereka memainkan dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Marinten meringis. Gerahamnya bergesekan. Tatapannya menggantung ke langit-langit kamar.
Sepulang dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua  yang belum pernah menikah hingga sekarang itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban, mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.
***
Dahi Marinten mengerut begitu membuka pintu, ia mendapatkan alunya yang digunakan semalam telah patah jadi tiga. Buru-buru Marinten berlari ke dapur. Sepi. Mulut tungku masih dingin membisu. Marinten juga tidak melihat parang yang biasanya disandarkan pada palang kaki lincak.
Dada Marinten berdegup kencang. Kembali ia berlari ke beranda. Memungut dua patahan alu dengan hati cemas.
Kabut tipis masih bergelayut di dahan-dahan pohon kelapa. Marinten menatap jauh ke jalan. (*)
Pamekasan, Januari 2013
Catatan:
[1] Ronjangan: tempat untuk menumbuk padi yang bentuknya memanjang, terbuat dari kayu.
[2] Menangan: tempat sirih-pinang yang terbuat dari bahan kuningan.
[3] Lalake’ padhana emas pa’lekoran!: lelaki ibarat emas 24 karat.
[4] Buruh taoh  mandi ka oloh: baru bisa mandi ke hulu, baru pandai berdandan.
























































ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI* ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI* Reviewed by Dunia Trisno on 1:43:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.