ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI*
Oleh : Sutrisno Gustiraja Alfarizi/130210402039
*Diajukan guna memenuhi tugas UAS Teori Sastra
BAB
I
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangunan cerita
yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal
itu sendiri hanya berupa kata-kata. Kata merupakan sarana pegucapan sastra.
Prosa adalah cerita, dan cerita digemari manusia
sejak kecil. Dan tiap hari manusia senang pada cerita entah faktual, gurauan
atau sekedar ilustrasi dalam percakapan. Bahasa prosa juga sedikit denotatif,
tingkat kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi prosa ”mudah” dibaca dan
dicernakan. Juga prosa kebanyakan
suspense dalam alur ceritanya, yang gampang menimbulkan sikap rasa
penasaran bagi pembacanya.
Data menujukan bahwa bentuk sastra prosa paling
banyak dibaca dari bentuk lain. Hal ini disebabkan sebuah prosa merupakan
sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah
totalitas, prosa mempunyai
bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan lain secara
eratdan saling menggantungkan.
Jika prosa dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur
kata, bahasa, misalnya, merupakan bagian dari totalitas itu, salah satu unsur
pembangun cerita itu. Prosa itu sendiri terbagi beberapa jenis, diantaranya
cerpen, novel, dan novelet.
Dalam cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari,
pembaca diajak untuk memahami unsur budaya orang Madura, selain itu di
dialognya ada yang menggunakan bahasa Madura, sehingga membuat cerpen ini
menjadi lebih hidup dan sesuai konteks daerahnya. Seperti dikutip pada kutipan
berikut:
Lalake’ padhana
emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam
hati.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar
hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan
Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].
Cerpen Dukka Ronajangan dipilih karena cerpen ini
bukan sembarang cerpen. Cerpen ini telah dimuat di koran harian Jawa Pos,
pada tanggal Jawa Pos, 20 Januari 2013. Sebuah cerpen yang dimuat di Jawa
Pos harus melalui seleksi yang ketat.
Selain itu
karya-karya Muna Masyari sudah cukup dikenal dikalangan sastra. Puluhan
tulisannya telah dimuat diberbagai media.
Berdasarkan
hal itulah, saya memilih cerpen “Dukka Ronjangan” untuk dianalisis.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
Bagaimanakah
unsur instrinsik cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan yang ingin digapai dalam makalah ini adalah:
Untuk
mendeskripsikan unsur instrinsik cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharap dari makalah ini adalah:
1.
Bagi
Pemakalah
Untuk
menambah informasi dan wawasan tentang cara analisis unsur instrinsik
cerpen serta mengaplikasikan teori yang
telah dimiliki selama perkuliahan.
2.
Bagi
Dosen
Untuk
mengetahui pengetahuan mahasiswa selama perkuliahan yang di aplikasikan dalam
wujud analisis cerpen.
BAB
II
Tinjauan
Pustaka
2.1
Landasan
Teori
Sebuah karya sastra, fiksi menurut kaum Strukturalisme
adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya.
Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan,
penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang
secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981:68). Dipihak lain,
struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur
(intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling
mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Strukturalisme dapat dipandang sebagai suatu
pendekatan objektif. Pendekatan struktural berangkat dari pandangan kaum
strukturalisme yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang unsurnya
berhubungan antara satu dan lainnya.
Unsur
instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur
instrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta
membangun cerita. Unsur Instrinsik tersebut terdiri dari tema, alur atau plot,
tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Adapun
pembahasannya seperti berikut.
1.
Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan
Rahmanto, 1986: 142). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia
pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Pengarang
memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema
dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman,
pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna
tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati
makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu
sebagaimana ia memandangnya.
Tema itu sendiri di golongkan atas berbagai macam menurut
pengklasifikasiannya, adapun macam-macam tema sebagai berikut:
a.
Tema tradisional dan Nontradisional
Tema
tradisional dapat dimaksudkan sebagai tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam
arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan berbagai cerita, termasuk
cerita lama. Pernyataan-pernyatan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat
tradisional itu, misalnya berbunyi:
1.kebenaran dan keadilan mengalahkan
kejahatan,
2.tindak kejahatan walau
ditutup-tutupi akan terbongkar juga
3.tindak kebenaran atau kejahatan
masing-masing akan memetik hasilnya
4.cinta yang sejati menuntut
pengorbanan
5.kawan sejati adalah kawan di masa
duka
6.setelah menderita orang baru
mengingat Tuhan
7.berakit-rakit dahulu berenang ke
tepian dan sebagainya.
Tema-tama tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan
selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan ( Meredith & Fitzgerald,
1972: 66).
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, dikatakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh yang digolongkan sebagai protagonis, akhirnya mengalami kemenangan kejayaan. Novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H, misalnya menampilkan tema yang bersifat melawan arus tersebut, kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.
b. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley (1962: 417) membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam
tingkat kejiwaan) molekul, man as
molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau
ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema
tingkat organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra
tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas
suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial,
man as socious. Kehidupan
bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama
dan dengan lingkungan alam, objek pencarian tema. Keempat, tema tingkat egoik,
manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk
sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
“menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Kelima, tema tingkat devine,
manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya.
c. Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi novel mungkin saja
lebih dari satu atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah
yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita atau
tema mayor, artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar
umum karya itu. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar untuk tidak
dikatakan dalam keseluruhan cerita bukan makna yang hanya terdapat pada
bagian-bagian tertentu saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian
tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian makna tambahan.
Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai
tema-tema tambahan atau tema minor. Makna-makna tambahan bukan merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang
bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna
pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan
yang terdapat pada karya itu. Atau sebaliknya makna-makan tambahan itu bersifat
mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.
2.
Alur atau Plot
Stanton
(1965: 14), mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966: 14), mengemukan
plot sebagai peristiwa-peristiwayang ditampilkan dalam cerita yang tidak
bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat.
Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri dari urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwa-peristiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut.
Awal peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi seperti
disinggung di atas, mungkin saja langsung berupa adegan-adegan yang tergolong
menegangkan. Plot itu sendiri juga memiliki beberapa tahapan.
a. Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir
Tahap awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi seju,lah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
Tahap tengah. Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakinmenegangkan.
Tahap akhir. Tahap akhir sebuah cerita. Atau dapat juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
b. Tahap Plot
1.Tahap situation: tahap penyituasian,
berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita.
2.Tahap generating circumstances:
tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan.
3.Tahap rising action: tahap
peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya
semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
4.Tahap climax: tahap klimaks, konflik
dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau
ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
5.Tahap denouement: tahap
penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,
ketegangan dikendorkan.
Selain terdiri dari beberapa tahapan, plot juga dibedakan
atas berbagai macam tergantung dasar pengklasifikaannya.
a. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Ada beberapa macam yaitu:
i.
Plot lurus/progresif. Jika peristiwa yang dikisahkan
bersifat kronologis.
ii.
Plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis,
cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap
akhir.
iii.
Alur campuran
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria
Jumlah
Plot tunggal. Karya fiksi yang
berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan
seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.
Plot sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapatb saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Disamping cerita disajikan secara tepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
Plot longgar. Dalam novel yang berplot longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat disamping hubungan antar peristiwa tersebutpun tidaklah erat benar.
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
i.
Plot peruntungn
ii.
Plot tokohan
iii.
Plot pemikiran
3.
Tokoh dan Penokohan
Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif mka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitasnya.
Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas.penokohan dan pemplotan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebenarnya, tak ada plot. Plot merupakan suatu yang bersifat artifisial. Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya.
Tokoh-tokah
cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penanaman
berdasarkan dari sudut mana penanaman itu dilakukan.
a.Tokoh
Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain, ia sangat menetukan perkembangan plot secara keseluruhan.
b.Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Jika dilihat
dari peran-peran tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh
utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan
kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
c.Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan
perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple
atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round
character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian,
dan jati dirinya.
d.Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan
kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah
novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis, tak berkembang
(staticharacter) dan tokoh berkembang (develoving character).
e.Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari
kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tipikal (typical
character) dan tokoh netral (neutral character).
Secara garis
besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan
sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan
dengan jati diri tokoh dapat dibedakan kedalam dua cara atau teknik, yaitu
teknik uraian (telling)dan teknik ragaan (showing) (Abrams, 1981:21).
a. Teknik Ekspositoris
Seperti
dikemukakan diatas, dalam teknik ekspositori, yang sering juga disebut sebagai
teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi
uraian, atau penjelasan secara langsung.
b. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
4.
Latar
Latar
atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175).
Latar sebuah karya fiksi barang kali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.
Pembicaraan di atas sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.
Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan. Latar Sosial juga sering disebut sebagai latar suasana.
5.
Sudut Pandang
Pengertian
sekitar sudut pandang. Sudut pandang, poin point of view, menyaran pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca. Dewasa ini betapa pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tak lagi
diragukan orang.
Sudut
pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penyimpangan sudut pandang bukan hanya
menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa
pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu,
anak-anak, dewasa, orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern, politikus,
pelajar, atau yang lain.
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Friedmen ( dalam stevick, 1967:118) mengemukakan adanya sejumlah pemertanyaan yang jawabnya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut pandang
a. Sudut pandang pesona ketiga: “Dia”
Pengisahan
cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona ketiga. Narator adalah seseorang
yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya :ia, dia, mereka.
b. Sudut pandang pesona pertama “aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona pertama, first person point of view, “aku”, jadi : gaya “aku”. Narator adalah sesweorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepda pembaca.
c. Sudut pandang campuran
Penggunaan
sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang
dapat berganti-ganti dari teknik satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita
yang dituliskannya.
6.
Gaya Bahasa
Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” dari pada sekedar bahannya itu sendiri. Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa non sastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun, dalam “perbedaan”-nya itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit didefinisikan.
Stile.
Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan
(Abrams, 1981: 190-1). Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan
ungkapan kebahasan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.
Stilistika. Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (lecch dan short, 1981: 13), kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khusunya yang terdapat dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak terbatas dalam sastra saja (chapman, 1973: 13), namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra.
Stile
dan Nada. Nada (tone), nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang
luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang
(tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah
yang dikemukakan.
7.
Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karangannya. Sebagaimana tema,
amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran
moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjaidi pada tokoh
menjelang cerita berajhir, dan dapat pula disampaikan secara ekplisit yaitu
dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan
yang berhubungn dengan gagasan utama cerita.
2.2
Sinopsis Cerpen
“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu
Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan
Marinten di rumah Arsap.
Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk,
mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean
kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu?
Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan
Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.
Sambil mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten
mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas
berisi abu tungku di dekat kaki lincak. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar
Marinten lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.
“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan?
Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”
Marinten tidak menyahut.
Sebuah kisah tentang Marinten, seorang
perempuan yang sering membunyikan alunan bunyi ronjangan. Keahliannya sudah
terkenal ke se antero kampong. Keahlian tersebut ia warisi dari sang Ibu. Namun
kini bunyi alunan ronjangannya begitu kacau, dan Ibunya begitu marah besar.
Bunyi alunan ronjangan mendeskripsikan suasana batin Marinten yang sedang
kacau. Penolakan atas lamaran Arsap untuknya begitu menyayat hatinya. Mengapa
ibunya tega menolak lamaran Arsap untuknya? Semua masih menjadi tanda-tanya.
BAB III
Hasil Pembahasan
Dari hasil analisis cerpen Dukka
Ronjangan karya Muna Masyari dapat diperoleh hasilnya sebagai berikut.
1.
Tema
Adapun
tema dari cerpen Dukka Ronjangan adalah:
a. Tema
Utama
Tema utama membahas tentang masalah
dendam. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan cerpen berikut.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten
telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan!
Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.
Begitu Maksar menemukan perempuan
yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap,
tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan
sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap
sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang
pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan
yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.
Bagi ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan
suatu cara untuk membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga
Maksar yang selama ini dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi
undangan mereka memainkan dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah
terjadi apa-apa.
b. Tema
Tambahan
Tema tambahan yang terdapat dalam
cerpen ini adalah Kasih tak Sampai. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan
berikut.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten
telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan!
Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.
2.
Alur
atau Plot
Kaidah penggunaan plot pada cerpen
ini menggunakan tahapan plot: Rincian Lain. Kaidah pemplotan ini membedakan
tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut.
a. Tahap
Situation
Tahap ini berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-(tokoh) cerita. Tahap ini dapat dibuktikan
dari kutipan cerpen berikut.
BIBIR Arsap menyungging sinis.
Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan
alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya
tersiram.
b. Tahap
Generating Circumstances: Tahap Pemunculan Konflik
Tahap
ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap ini dapat
dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.
Ada
nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka.
Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya
menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan
seperti terpagut angin.
c. Tahap
Rising Action: Tahap peningkatan konflik
Konflik
yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan
cerpen berikut.
“Memalukan!” Ibu Marinten
marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun
pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan
mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten
diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan
wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana
kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama
untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun
suaranya sedikit kurang jelas.
d. Tahap
Climax:
Tahap ini merupakan
pertentangan-pertentangan yang terjadi yang di akui dan atau ditimpakan kepada
para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Tahap ini juga digambarkan
dalam dialog Marinten dan ibunya.
“Kamu
diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.
Marinten
mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap
ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
Dialog tersebut menggambarkan
kemarahan Ibu Marinten yang luar biasa.
e. Tahap
Denoviement: Tahap Penyelesaian Konflik
Konflik
yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangannya dikendorkan.
Tahap ini dapat dibuktikan dari kutipan cerpen berikut.
Marinten bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku
akan ke rumah Ke Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan
ibunya begitu saja.
Selain
terdiri dari beberapa tahapan, plot di cerpen ini juga dibedakan atas berbagai
macam tergantung dasar pengklasifikaannya.
a. Pembedaan Plot Berdasarkan
Kriteria Urutan Waktu
Merupakan plot sorot
balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap
awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir. Dimana cerita ini adalah
kilas balik ingatan Arsap terhadap penolakan lamaran oleh Ibu Marinten hingga
Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya dan mendapatkan jawaban, mengapa
ibunya menolak lamaran Arsap.
Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan cerpen berikut.
BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas
menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir
ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar
hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan
Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh Bara di
dadanya tersiram.
Sepulang
dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua yang belum pernah menikah hingga sekarang
itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban,
mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria
Jumlah
Plot tunggal. Karya fiksi yang
berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan
seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero. Hal ini dapat dibutikan
dengan cara penulis melukiskan perjalanan tokoh utama yang lengkap dengan
permasalahan dan konfliknya.
Dan hal ini
dapat dibuktikan, pada banyaknya kata yang menceritakan konflik yang dialami
oleh Marinten. Berikut kutipan cerpennya.
Arsap
tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai
Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan.
Sudah dikenal di punjuru kampung.
Marinten
mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap
ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Hal ini dapat dibuktikan dari terjadinya peristiwa-peristiwa yang cepat dan saling berhubungan. Berikut kutipan cerpennya.
BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas
menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir
ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.
Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan
kesatuan grup yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan
macam-macam irama dukka ronjangan.
Menurut cerita orang-orang, dulu
ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan.
Sama dengan Marinten, ibunya juga
menjadi pusat perhatian para lelaki. Banyak pemuda kampung yang terpikat dan
terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan
dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar
hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan
Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh.
Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok
dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan
dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten
menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang
Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu
untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan
oleh ibu Marinten.
Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di
halaman. Mau apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa
Maksar terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke
Samulla dengan mata tak suka.
Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan
napas. Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya
menolak lamaran Arsap. Antara Ke Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah
terlibat suatu persoalan.
Dulu, Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu
Marinten. Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari
undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu Marinten.
Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain lebih muda, lebih
gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata manis. Ke Samulla yang
saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Merupakan plot tokohan, karna banyak
menceritakan seputar permasalahan Marinten seperti yang telah dikemukan
sebelumnya.
3.
Tokoh
dan Penokohan
Adapun tokoh dan penokohan dalam Cerpen
Dukka Ronjangan adalah
a.
Tokoh Utama dan Tokoh
Tambahan
Tokoh utamanya adalah Marinten dan
Arsap, hal ini dapat dibuktikan dari permasalahan cinta mereka sampai hubungan
masalah lalu antara kedua orangtua mereka.
Tokoh tambahannya adalah Ibu Marinten,
Maksar, dan Ke Samulla, hal ini dapat dibuktikan dari penambahan masalah
diantara ketiganya yang mempengaruhi masalah kasih tak sampai antara Marinten
dan Arsap.
b.
Tokoh Protagonis dan
Antagonis.
Tokoh Protagonis dalam cerpen ini adalah
sebagai berikut:
Marinten:
Sosok anak yang patuh terhadap perintah orangtua. Hal ini tergambar dari
sikapnya yang mau mengikuti suruhan Ibunya untuk mengisi acara pernikahan
Arsap. Padahal dalam hatinya ia tak ingin melakukan hal itu.
Ke
Samullah: Kebaikannya tergambar ketika ia menyikut tangan Maksar, seketika
Maksar berhenti tertawa. Ia juga menceritakan tabir masalah lalu hubungan cinta
segitiga antara dirinya, Ibu Marinten, dan Maksar kepada marinten sehingga
Marinten bias paham terhadap alasan penolakan lamaran Arsap oleh ibunya.
Tokoh
Antagonis dalam cerpen ini adalah sebagai berikut:
Arsap:
Bersifat Pendendam.
Ibu Marinten: Bersifat Pendendam.
Ibu Marinten: Bersifat Pendendam.
Maksar:
Bersifat Pendendam.
4. Latar
a.
Latar Tempat
Latar
tempat dalam cerita ini adalah daerah yang menggunakan bahasa Madura, hal ini
tergambar dari kata-kata yang sering digunakan dalam cerpen.
b.
Latar Waktu
Waktu
yang tergambar dalam cerpen ini adalah malam hari, hal ini tergambar dari
kutipan cerpen berikut.
Malam
merangkak lamban.
c.
Latar Suasana
Suasana
dalam cerpen ini adalah tegang, hal ini tergambar dari dialog-dialog Marinten
dan Ibunya.
5. Sudut Pandang
Dalam
cerpen ini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal ini dikarenakan
tokoh dijelaskan dengan nama.
Kutipan
Cerpen:
BIBIR
Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan
Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati
sudah. Bara di dadanya tersiram.
6.
Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan penulis dalam cerpen ini,
menggunakan majas personifikasi.
Kutipan Cerpen:
Bulan alis mengintip dari balik
pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit beranda, dan dikerubung
hewan-hewan kecil.
7.
Amanat
Adapun amanat dalam cerpen ini adalah sebuah
perenungan yang diberikan penulis bagi pembaca untuk tidak menyimpan dendam.
Karena sifat pendendam tak ada gunanya. Dan hanya menambah masalah-masalah
baru.
Lampiran
Dukka
Ronjangan
Cerpen
Muna Masyari (Jawa Pos, 20 Januari 2013)
Dukka
Ronjangan ilustrasi Budiono
BIBIR
Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan
Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati
sudah. Bara di dadanya tersiram.
Bulan
alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit
beranda, dan dikerubung hewan-hewan kecil. Sepasang paha sapi yang sudah
dikuliti digantung sungsang di beranda dapur. Aroma dupa meruap terbawa angin.
Semula,
irama ronjangan yang berseiring dengan gemerincing tutup menangan [2] terdengar
sumbang. Antara bunyi dung-dung dan bunyi ngojur tidak selaras. Bukan irama
yang biasa dimainkan saat pembuatan dodol, penyembelihan sapi, panen raya
maupun pada saat mengabarkan kematian.
Ada
nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka.
Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya
menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan seperti
terpagut angin.
Arsap
tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai
Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan.
Sudah dikenal di punjuru kampung. Jika ada hajatan, orang-orang biasa mengundang
mereka. Tidak mungkin Marinten keliru memimpin kawan-kawannya memainkan irama.
Marinten.
Selain mahir memainkan irama, perempuan itu memiliki daya pikat melebihi
kawan-kawannya, dan membuat orang selalu tertarik mengundangnya. Dengan
mengenakan sampir batik ketthel tello’ bermotif kembang cengkeh, kebaya
bunga-bunga, rambut disanggul miring berhias roncean kembang melati, Marinten
berhasil mencuri perhatian di setiap acara. Meskipun berdandan seadanya,
Marinten tetap terlihat cantik. Sederhana namun memesona. Ada yang bilang,
Marinten memiliki daya pikat yang diwariskan ibunya.
Menurut
cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan.
Irama yang dimainkan mampu melepas lelah saat panen raya, menyemarakkan suasana
dalam acara perkawinan maupun khitanan, dan bisa membuat orang terhanyut
kesedihan saat dimainkan untuk mengabarkan duka.
Bila
ada acara hajatan yang mengundang dirinya, para undangan segera datang
berduyun-duyun. Bunyi dung-dung yang beradu dengan gemerincing menangan seolah
menyihir mereka untuk segera hadir. Yang semula berhalangan datang, akhirnya
tetap mengusahakan hadir demi melihat ibu Marinten yang sedang mengetukkan alu
bersama kawan-kawan.
Sama
dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para lelaki. Banyak pemuda
kampung yang terpikat dan terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu
Marinten dalam memainkan dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada
Marinten.
Setiap
panen raya maupun musim-musim acara perkawinan, Marinten dan grupnya tak pernah
sepi dari undangan. Tapi irama yang dimainkan Marinten sekawan malam ini
sungguh beda. Iramanya kadang terdengar sedih, marah, lalu tiba-tiba berirama
kacau sebagaimana orang yang tengah dilanda putus asa.
***
Arsap
menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Asap
bergulung-gulung, melayang ke udara.
Lalake’
padhana emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam hati.
Penolakan
lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan
sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak
Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].
Maka,
dengan kepala mendidih, Arsap pun meminta pada ayahnya agar dicarikan seorang
perempuan yang bersedia dinikahi secepatnya. Maksar, yang semula sudah keberatan
Arsap melamar Marinten, mencari calon menantu dengan segera.
Begitu
Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun
melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat
mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap,
tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan dukka
ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di
hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.
***
Bunyi
dukka ronjangan terus bertalu. Aroma kemenyan menyengat. Para ibu yang bertugas
menyiapkan menu masakan untuk undangan besok pagi masih sibuk di dapur.
Malam
merangkak lamban. Arsap dan ayahnya masih menemani para kerabat di beranda.
Maksar tampak bergembira dengan tawa yang kadang membahak. Dodol dan bajik yang
tersaji tinggal beberapa kerat. Tutup cangkir telentang berisi puntung dan abu
rokok.
Tiba-tiba
Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di halaman. Mau apa lelaki tua itu, pikir
Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar terhenti seketika, mengikuti
arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke Samulla dengan mata tak suka.
Ke
Samulla mengamati Marinten yang tengah memainkan dukka ronjangan. Tak segera
naik ke beranda untuk menemui tuan rumah. Tatapannya aneh. Dada Arsap
menggemuruh.
***
“Memalukan!”
Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun
pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan
mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten
diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan
wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana
kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama
untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun
suaranya sedikit kurang jelas.
Sambil
mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali
membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di dekat kaki lincak.
Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.
“Kenapa
pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan
irama satu sama lain!”
Marinten
tidak menyahut.
“Itu
pasti gara-gara kamu! Pikiranmu ke mana-mana!”
“Bukankah
Ibu yang mengajariku memainkan dukka ronjangan dengan menyatukan jiwa dan
pikiran? Menghayati penuh perasaan. Dalam acara gembira, kita harus bermain
dengan jiwa riang. Begitupun sebaliknya. Dengan begitu, irama yang kita mainkan
akan mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengar. Menggiring mereka pada
kedalaman jiwa dan rasa yang sedang kita hayati. Bukankah begitu?”
“Betul.
Lalu kenapa yang kaumainkan tadi iramanya jadi seperti itu? Seharusnya kau memainkan
dengan jiwa bahagia.”
“Aku
sudah memainkan dukka ronjangan dengan jiwaku. Jadi tidak ada yang perlu
kusesali,”
“Kamu
diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.
Marinten
mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap
ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
“Dasar
bodoh! Kau menyesal karena aku menolak lamaran Arsap?”
“Beri
aku alasan, kenapa Ibu menolak lamarannya?”
“Dia
tidak baik untukmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun asal bukan dengannya!”
“Dengan
siapa pun?” Senyum Marinten menyeringai, belum yakin ibunya tidak akan menjilat
ludah sendiri.
“Ya!
Dengan siapa pun!” Ibu Marinten menegaskan.
Marinten
bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku akan ke rumah Ke Samulla, menerima
lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.
Ibu
Marinten tercekat di tempat. Punggung Marinten lenyap di balik pintu.
Marinten
merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas. Pikirannya mengawang.
Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya menolak lamaran Arsap. Antara Ke
Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.
Dulu,
Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten. Keduanya sering mencegat
ibu Marinten di jalan ketika pulang dari undangan. Dua lelaki yang beda usia
itu berebut akan melamar ibu Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya
pada Maksar. Selain lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar
meramu kata-kata manis. Ke Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat,
tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.
Maksar
merasa memeroleh kemenangan tanpa harus berperang. Ia berniat melamar ibu
Marinten secepatnya. Namun orangtua Maksar justru tidak setuju karena ibu
Marinten dikabarkan memiliki susuk pemikat, dan mencarikan perempuan lain.
Ke
Samulla berang. Ia tidak terima Maksar menyia-nyiakan ibu Marinten begitu saja.
Terjadi debat sengit antara mereka berdua. Hampir saja terjadi carok.
Bagi
ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara untuk membalik cerita
masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang selama ini
dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi undangan mereka memainkan
dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Marinten
meringis. Gerahamnya bergesekan. Tatapannya menggantung ke langit-langit kamar.
Sepulang
dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua yang belum pernah menikah hingga sekarang
itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban,
mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.
***
Dahi
Marinten mengerut begitu membuka pintu, ia mendapatkan alunya yang digunakan
semalam telah patah jadi tiga. Buru-buru Marinten berlari ke dapur. Sepi. Mulut
tungku masih dingin membisu. Marinten juga tidak melihat parang yang biasanya
disandarkan pada palang kaki lincak.
Dada
Marinten berdegup kencang. Kembali ia berlari ke beranda. Memungut dua patahan
alu dengan hati cemas.
Kabut
tipis masih bergelayut di dahan-dahan pohon kelapa. Marinten menatap jauh ke
jalan. (*)
Pamekasan,
Januari 2013
Catatan:
[1]
Ronjangan: tempat untuk menumbuk padi yang bentuknya memanjang, terbuat dari
kayu.
[2]
Menangan: tempat sirih-pinang yang terbuat dari bahan kuningan.
[3]
Lalake’ padhana emas pa’lekoran!: lelaki ibarat emas 24 karat.
[4]
Buruh taoh mandi ka oloh: baru bisa
mandi ke hulu, baru pandai berdandan.
ANALISIS STRUKTURAL CERPEN DUKKA RONJANGAN KARYA MUNA MASYARI*
Reviewed by Dunia Trisno
on
1:43:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment