KRITIK
SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA
Sutrisno
Gustiraja Alfarizi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Jember
Abstrak: Pendekatan
mimetis berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Plato dan Aristoteles merupakan tokoh pencetus pendekatan yang menitikberatkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya. Hal
ini bisa dilihat dari realitas sosial, budaya, dan potik. Pembahasan ini
mendeskripsikan struktur instrinsik sebagai langkah awal membangun teori kritik
sastra mimesis pada novel Temui Aku di Surga, sekaligus menjadikan referensi
dalam penggambilan data.
Kata kunci:
Temui Aku di Surga, mimesis, realitas, struktur instrinsik.
Pendahuluan
Karya sastra merupakan
kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki
berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi
dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik. Karya sastra tidak hadir begitu saja.
Terdapat serangkaian proses dalam penulisan kreatifnya. Di mana ada pergulatan
jiwa yang dialami sastra sebagai seorang yang memiliki daya imajinatif.
Walaupun, begitu tidak selamanya sastra bersifat imajinatif, mengingat karya
sastra mengandung nilai-nilai tertentu yang ada di masyakarat.
Karya sastra yang baik
akan menjadi cermin masyarakat yang terdapat dalam karya tersebut. Sehingga
dengan menikmati karya yang demikian akan tumbuh sebuah pikiran bahwa
masyarakat yang ada digambarkan dalam karya tersebut tidak jauh berbeda.
Novel sebagai salah
satu ragam karya sastra menyuguhkan kisah-kisah menarik, bahkan di dalam
perkembangannya terdapat beberapa novel yang merupakan tiruan (mimesis) dari
kisah nyata. Hal tersebutlah yang mendorong pemilihan novel “Temui Aku” di
Surga karya Ella Sofa dalam tinjauan kritik sastra mimesis.
Novel ini mengisahkan
tentang persahabatan Yudho dan Malik. Di mana jalinan persahabatan mereka
begitu kuat seperti saudara. Sayangnya, maut memisahkan keduanya. Malik
meninggal dunia akibat suatu masalah di masa lalu. Yudho sebagai teman dekat
Malik, digambarkan menjadi simbol pencapaian cita-cita Malik yakni menjadi petinggi di Desa Randuasri. Namun,
dalam proses pencalonannya Yudho mengalami banyak hambatan seperti ia tidak
memiliki modal yang cukup banyak dan ancaman dari pihak lawan atau Pak Thamrin,
bahkan lawan politik Yudho menggunakan cara kotor agar bisa menang seperti
pergi ke dukun, melakukan ancaman kepada para calon pemilih, sampai memalsukan
suara. Alhasil, Yudho mengalami kekalahan. Di tengah-tengah proses konflik
hebat itulah. Muncul pengakuan mengejutkan dari Solikin bahwasanya pihak Pak
Thamrin telah melakukan pelanggaran pemilihan petinggi dan juga misteri kematian Malik.
Pemilihan novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa
ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, keunikan tema dalam
novel ini yang mengisahkan tentang sistem politik tingkat bawah di Indonesia
yakni politik di desa. Kedua, novel “Temui Aku di Surga” ini mengungkapkan
fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat Indonesia seperti percaya akan
kekuatan dukun atau mistis. Selain itu terdapat beberapa kejadian dalam novel
ini yang mencerminkan tiruan kehidupan nyata (mimesis).
Berdasar hal tersebutlah,
kritik sastra terhadap novel ini dibutuhkan dengan pendekatan struktur
instrinsik dan penyikapan sebagai tiruan (mimesis).
Penulisan artikel ini
bertujuan memberikan (1) wawasan mengenai struktur instrinsik novel “Temui Aku
di Surga” karya Ella Sofa dan (2) gambaran
tentang aspek tiruan (mimesis) dalam novel “Temui Aku di Surga” karya Ella
Sofa.
Hakikat
Fiksi
Nurgiantoro (2000:3)
mengemukakan bahwa fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri,
serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan
reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan,
tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan
penghayatan dan perenungan secara intens,
perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dunia
kesastraan ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada
fakta. Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2000:5) karya tersebut bisa
dikategorikan sebagai fiksi historis (historical
fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografi (biographical fiction), jika yang
menjadi dasar penulisan fakta biografis, fiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu
pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi
nonfiksi (nonfiction fiction).
Walaupun
begitu, kebenaran yang terjadi dalam dunia fiksi berbeda dengan kebenaran di
dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan
pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Struktur
Instrinsik
Struktur intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk
karya sastra seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat
pengisahan (sudut pandang), latar, dan gaya bahasa. Unsur intrinsik yang
dibahas dalam artikel ini adalah latar, tokoh dan penokohan, serta plot dan
pemplotan. Hal tersebut dikarenakan
ketiga unsur tersebut adalah yang paling kuat dan berpengaruh dalam
keseluruhan isi novel “Temui Aku di Surga”.
1. Latar
Latar
atau setting merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sisuak tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2000: 216).
Nurgiantoro
(2000:227) mengemukakan jika terdapat tiga unsur latar, yaitu tempat, waktu,
dan sosial.
Plot dan Pemplotan
Pada pembahasan makalah ini dipilih
tahapan plot rincian lain. Hal ini dikarenakan tahapan plot tersebut lebih
rinci. Rincian yang dimaksud yaitu membedakan tahapan plot menjadi lima bagian.
Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
Penyituasian
Tahap ini
merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Penyituasian dalam novel ini diawali dengan penggambaran
tokoh “Malik” yang baru tiba di tempat geng-nya. Seperti digambarkan pada kutipan
berikut:
Malik
menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah
diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang punya
nama di Jepara. Malik melaju ke sana tanpa helm, SIM, dan STNK. Nekat!
Gara-gara ia emosi karena tak juga dibelikan sepeda motor Kawasaki Ninja. (Temui
Aku di Surga: 1)
Penyituasian
Malik yang baru tiba di tempat geng-nya itu berlanjut hingga membuat Malik
nekat melakukan tindakan tawuran antar geng. Akibatnya, ia pun terkena tusukan celurit dan dibawa ke rumah sakit.
Sementara itu,
penggambaran atau penyituasian tokoh “Yudho” berada di bab selanjutnya. Yakni
tergambar pada kutipan berikut:
Di
antara rumah-rumah yang berjajar berselang-seling dengan pepohonan pisang itu
berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh pasangan suami istri, Pak
Zaenuri dan Bu Zaenuri, yang jatuh bangun membesarkan anak-anaknya.
Salah
satu anak mereka bernama Yudho Marzuki, yaitu anak yang ketiga. (Temui Aku di
Surga: 11-12)
Pada
penggambaran selanjutnya, terdapat pengenalan tokoh yang nantinya akan
memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
“Assalamualaikum!” terdengat suara salam
dari halaman rumah bersamaan dengan datangnya seseorang. Seorang tetangga. Ia
bernama Solikin. Perawakannya lebih pendek dan lebar daripada tubuh Yudho,
berkulit sawo matang dengan wajah mirip Rano Karno. (Temui Aku di Surga: 15)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan penggambaran tubuh tokoh “Solikin”. Di mana, yang
nantinya tokoh bernama Solikin itu yang nantinya memunculkan konflik dalam
kehidupan Yudho dan Malik.
2.
Tahap
Pemunculah Konflik
Pada tahap ini
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa mulai dimunculkan. Pemunculan konflik
dalam novel ini dimulai dengan Yudho yang berhenti bekerja pada Solikin, lalu
hubungan Malik dan Hesti yang tak sesuai dengan harapan Malik, dan Malik yang
mencalonkan diri menjadi kepala desa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Sementara
itu, di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah Yudho,
seseorang merasa kecewa. Ia tak menduga Yudho akan keluar kerja! Apalagi dengan
jujur mengatakan bahwa ia akan membuka usaha sendiri bersama seorang teman. Ia
merasa kebaikannya selama ini terkhianati!
“Kurang
ajar anak kemarin sore itu!” sungut lelaki yang mirip Rano Karno itu kesal. (Temui
Aku di Surga: 53)
Pada kutipan tersebut
digambarkan tokoh Yudho yang berhenti kerja kepada tokoh “Solikin” hal ini
membuat tokoh “Solikin tidak terima, sehingga mencari tahu dengan siapa tokoh
“Yudho” membuka usaha. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Seperti orang
kurang kerjaan, ia berusaha memata-matai gerak-gerik Yudho. Pagi itu ia sengaja
menunggu Yudho bersama sepeda motornya lewat depan rumah. Setelah berlalu
beberapa puluh meter, ia langsung menghidupkan sepeda motornya dan mengikuti
sarah laju sepeda Yudho. Hingga pada saatnya sepeda motor Yudho berbelok ke
sebuah rumah, ia pun mangut-mangut.
“Mungkin dengan
anaknya Pak Rohmadi...” Ia tersenyum sinis, lalu tetap melanjutkan sepeda
motornya dengan tarikan lebih kencang. (Temui Aku di Surga: 88)
Konflik
lain muncul dalam kehidupan Malik sebagai tokoh tambahan yakni ketika datang
sebuah surat berisi jika lebih baik Malik dan Hesti tidak memiliki ikatan dalam
bentuk apapun. Selain itu, ada isi hati Hesti yang membutuhkan konsentrasi
penuh untuk menghafal Al-Qur’an dan hal tersebut tidak akan bisa jika hubungan
yang tidak halal meski hanya sebatas kirim-mengirim surat itu tetap terjadi.
Situasi
konflik batin Malik ini tergambar pada kutipan berikut:
Malik tak tahu
harus bagaimana bersikap saat ini. Ada rasa menyakitkan yang serasa menusuk ulu
hatinya, menyesakkan dada. Ada rasa tak percaya, tak mengerti. Napasnya turun
naik menahan gejolak hati yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ia rasa akan
hilang, atau ... memang telah hilang! (Temui Aku di Surga: 108)
Pemuncul
konflik Malik yang ingin menjadi petinggi
pun muncul seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku ingin
mencalonkan diri jadi kepala desa...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan
dahinya... (Temui Aku di Surga: 76)
“Terus, sejauh
mana kesiapan Malik, Pak? Dia masa bisa serius tho!”
“Ssst! Diam-diam
aku sama teman-temanku sudah ngomongin hal ini lho!”
...
Sementara itu
sepasang teling ikut mendengarkan pembicaraan suami istri yang sudah setengah
tua itu. Sepasang telinga milik seseorang yang sosoknya tersembunyi dari
pandangan mata manusia lain. Kemudian bibir pemilik sepasang telinga itu
tersenyum sinis seraya meninggalkan persembunyiannya, cepat-cepat! (Temui Aku
di Surga: 128)
Pada
dua kutipan tersebut dijelaskan keinginan Malik yang ingin menjadi petinggi. Di mana kutipan pertama adalah
dialog Malik dan Yudho dan kutipan kedua dialog antara orang tua Malik.
Berdasar dialog kedualah muncul konflik bahwasanya ada seseorang yang mencuri
dengar pembicaraan tersebut dan berdampak pada peningkatan konflik.
3.
Tahap
Peningkatan Konflik
Pada tahap ini
konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar instensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi
inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi,
internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke
klimaks semakin tidak dapat dihindari.
Konflik yang
sudah terjadi semakin meningkat. Pada konflik Malik yang ingin menjadi petinggi terjawab dengan ia yang
ditabrak seseorang. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Bus
pun berhenti. Setelah membayar ongkos, Malik turun dengan tergesa karena tak
sabar ingin sampai di rumah. Sesaat kemudian ia sibuk dengan ponselnya,
menelpon Bapak minta dijemput. Jalan di seberang tempatnya berdiri sekarang
adalah jalan raya menuju Desa Randuasri. Tak ada angkudes, dan untuk naik becak
pun dirasa terlalu lama. Ia memutuskan menyeberang langsung di pertigaan itu.
Tiba-tiba
...
DESS!
Sebuah
benturan keras santara sepeda motor yang dilarikan begtu kencang oleh
pengemudinya, dengan tubuh seseorang yang sedang menyeberang di pertigaan itu.
Tubuh Malik! (Temui Aku di Surga: 130)
“Innalillahi wainnaalillahi raajiuun,
Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, telah
meninggal dunia Malik Julian Santosa...”
Ia
tak perlu mendengarkan kelanjutan pengumuman dengan pengeras suara itu lagi.
Telah jelas kini apa yang sedang terjadi. Lemas rasanya seluruh raga, jiwa, dan
hatinya.
“Malik...,”
gumamnya tertahan. “Innalillahi
wainnaalillahi raajiuun ..”(Temui Aku di Surga: 132)
Pada dua kutipan
tersebut menjelaskan kematian “Malik” yang membuat konflik dalam novel ini
semakin meningkat. Konflik lain muncul menimpa tokoh “Hesti” yang tidak percaya
dengan kabar kematian “Malik”, ia juga merasa bersalah atas keputusan yang
telah diambilnya. Seperti tergambar dari kutipan berikut:
“Ibu
... Mas Malik ..., Mas Malik ...,” Hesti tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya
ingin tenggelam dalam dekapan wanita yang selalu mengasihinya itu dalam tangis
yang sedari tadi ia tahan.
“Sabar
... belum jodohmu...,” ucap Bu Marisah. (Temui Aku di Surga: 143)
“Oh
ya Yud, ada berita tentang pencalonan petinggi,
petinggi...!” kata Pak Rohmadi.
....
“Gimana
kalau kamu yang mencalonkan diri, Yud?”
Sebaris
kata yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak. Remote
control yang digenggamnya sampai terlepas! Seakan ia tak percaya mendengarkan
kalimat itu. (Temui Aku di Surga:
148)
Pada kutipan di atas dijelaskan
keinginan Pak Rohmadi agar Yudho menjadi calon petinggi, sekaligus melanjutkan
cita-cita Malik.
4.
Tahap
Klimaks
Pada tahap ini
konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui, dan atau
ditimpakkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
Tahap klimaks
pada novel “Temui Aku di Surga” ini muncul ketika Yudho menerima tawaran Pak
Rohmadi untuk mendaftarkan diri menjadi petinggi.
Berbagai peristiwa aneh pun terjadi dalam pencalonan Yudho, mulai dari ancaman
dari pihak Pak Thamrin sampai kegagalan dalam pemilihan. Seperti diungkap pada
kutipan berikut:
“Begini
Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu
sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka
bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung..!”
Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua
pundaknya. (Temui Aku di Surga: 188)
Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang
ancaman Pak Thamrin kepada Yudho jika memang kelompok abangan yang menakuti calon pemilih memang ada, bahkan ancaman itu juga berlaku pada keluarga
Yudho. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
“Darah
Yudho berdesir, hawa merinding menjelajari seluruh permukaan kulitnya
membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak serta
adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun
ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini.” (Temui
Aku di Surga: 189)
Puncak klimaks dalam novel ini tergambar
tatkala Yudho kalah dalam pemilihan kepala desa. Seperti tergambar pada kutipan
berikut:
“Astaghfirulahaladziem ...,” Yudho
berkaca-kaca. Pak Rohmadi langsung bergegas menyongsong tubuh Yudho di antara
riuh suara dan tubuh-tubuh manusia yang berjejal ingin memberi salam pada Pak
Thamrin. (Temui Aku di Surga: 210)
5.
Tahap
Penyelesaian
Pada tahap ini
konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan.
Kekalahan yang
menimpa Yudho di novel ini diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Seperti
tergambar pada kutipan berikut:
“Anu
... Pak. Saya ingin bersaksi... bahwa... bahwa pemilihan petinggi di desa Randuasri sebulan lalu itu... tidak fair, Pak ...”
...
“Iya, sebenarnya itu bukan hasil pemilihan
yang asli. Eh, karena ... Pak Thamrin sudah memalsukan suara.”(Temui Aku di
Surga: 239)
Berdasar kutipan
tersebut diketahui jika pihak Pak Thamrin melakukan tindakan curang dalam
pemilihan kepala desa. Apalagi tokoh “Solikin” mengakui hal tersebut bersama
Yudho di depan polisi. Hal tersebut kemudian diperjelas pada pekerjaan polisi
yang tergambar pada kutipan berikut:
Dari
penyidikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak
Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan
sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar
hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal
tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)
Pada kutipan
tersebutlah, akhirnya terjawab teka-teki kekalahan Yudho, dan mengingat
kecurangan yang dilakukan pihak Pak Thamrin. Akhirnya, Yudho diangkat menjadi petinggi. Hal tersebut digambarkan pada
kutipan berikut:
Yudho bersiap-siap berangkat ke balai
desa. Seragam setelah warna cokelat kekuningan ia kenakan bersama peci hitam di
kepala. Tak lupa sepatu hitam klimis ia kenakan bersama kaus kakinya. Ia telah
menghabiskan sarapan tahu pecel yang disediakan khusus oleh Emak.
(Temui Aku di Surga: 265)
Kutipan di atas
menjelaskan aktivitas Yudho sebelum berangkat ke balai desa sebagai petinggi. Kutipan tersebut juga
menjelaskan bahwasanya kelicikan atau kebusukan yang dilakukan Pak Thamrin tidak
akan menang melawan kebaikan.
Selain,
permasalahan kekalahan Yudho dalam pemilihan kepala desa. Pada tahap ini juga
terkuak teka-teki meninggalnya Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ketika
Bus Indonesia itu datang. Aku memutuskan urung menabrak Malik. Aku juga tak mau
nanti dikejar-kejar polisi. Tapi...”
“Tapi
apa?!!” sahut Yudho.
“Sebuah
sepeda motor keluar dari belakang tokoh di seberang tempat aku sembunyi. Sepeda
itu melaju tak begitu kencang ke arah yang berlawanan dengan Bus Indonesia.
Lalu bus itu perdi dan kulihat Malik sudah berada di seberang. Aku makin mantap
tak akan melakukan kejahatan pada Malik. Tapi begitu Malik menyeberang, sepada
motor yang baru keluar tadi berbalik arah, melaju sangat kencang dan ...
menabrak tubuh Malik. Aku ... akan melihat semuanya..”
“Bagaimana
Anda bisa yakin itu sepada motor yang baru keluar dari belakang toko tadi?”
“Ya,
saya yakin sekali. Karena bentuknya agak aneh, dan terutama ada tulisan ini...”
sejenak kalimat Solikin terhenti. Ia memejamkan mata seakan ingin
mengingat-ingat sesuatu.
“Junkpret!”
“Bisa
diulang?” sahut Pak Polisi.
“J
... U ... N ... K ... P ... R ... E ..T,” Solikin menyebutkan susunan huruf
yang membentuk kata yang ia lihat.(Temui Aku di Surga: 243-244)
Pada kutipan
tersebut, tokoh “Solikin” mengaku jika ada niatan untuk menabrak tokoh “Malik”
namun tidak jadi dilakukan karena tokoh “Solikin” takut berurusan dengan polisi.
Kemudian, ada sepeda motor yang memiliki tulisan JUNKPRET menabrak tokoh
“Malik” hingga menyebabkannya meninggal.
Mengetahui hal
tersebut, Yudho segera mencari tahu arti dari kata Junkpret itu. Ia pun
menemukan tulisan tersebut dalam buku agenda Malik.
“Mungkin
ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba
hadir di saat ia telah berubah. Ironisnya ... tanpa permisi masa lalu
itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepeda motor yang nabrak Malik
ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya.
“Oalah...,
yang katamu... dulunya Malik ikut geng-geng itu toh?”
“Iya
... dulu sebelum ia tobat dan masuk pesanteren.”
“Jadi
... yang nabrak ... anak geng lain? Di situ ... di buku Malik disebut junkpret
adalah nama geng musuh bebuyutan?”
“Sementara
yang bisa saya simpulkan itu, Pak. Benar-benar tidak terduga. Saya tak sempat
berpikir ke arah situ..”
“Kamu
akan beritahukan ke Pak Rohmadi?”
Yudho
tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang. Kembali ia bertanya, perlukah
kiranya kasus ini diungkap kembali di saat keluarga Pak Rohmadi sudah tak
mengalami trauma lagi? Bermanfaatkah? (Temui Aku di Surga: 258)
Pada kutipan tersebut
menjelaskan tentang misteri kematian Malik, walaupun begitu Yudho tak mengungkap
permasalahan itu kepada orang lain. Cukup dirinya dan bapaknya saja yang
mengetahui hal tersebut. Mengingat dilihat dari segi kemanfaatan menguak
misteri ini kecil. Apalagi, keluarga Pak Rohmadi sudah menjalani kehidupan
lebih tenang dan damai. Selain itu, mengungkap misteri itu akan menambah
masalah baru. Semisal permasalahan antargeng yang mungkin timbul kembali.
Kritik Sastra Mimesis dalam Novel
“Temui Aku di Surga”
Kaitan antara kenyataan dan rekaan dianggap penting oleh para ahli
sastra. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu dengan yang
lainnya. Hal ini dikarenakan, suatu
karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan. Pada
novel “Temui Aku di Surga” terdapat beberapa hal yang berdasar terjadi atau
terinspirasi dari kisah nyata. Seperti peristiwa sebagai berikut:
1.
Kehidupan Remaja
Remaja adalah manusia yang sedang mencari
jati dirinya. Hal ini juga menimpa Malik, di mana ia tergabung dalam geng
Topanx yang cukup memiliki nama di wilayah Jepara. Geng Topanx sendiri di dalam
novel ini memuat peristiwa tawuran. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik tak berpikir panjang lagi. Saatnya membuktikan
loyalitas sesama anggota geng! Di sisi lain, sesungguhnya ia juga ingin
melampiaskan kekesalan yang sedang ia rasakan pada keluarga. Mungkin dengan
turun tawuran, mereka akan menyesal telah mengabaikan permintaanku, begitu
pikir Malik.
Malik menuju tempat tawuran. Dari balik tembok sebuah
bangunan di sekitar lapangan, mata Malik menyaksikan mereka yang sedang beradu
otot. Bahkan ada yang membawa senjata tajam! Mendadak Malik menjadi ngeri
sendiri. (Temui Aku di Surga: 2)
“Hoii! Janga larii!” anak geng lain itu meneriakinya.
Malik langsung berlari menjauh! Tapi anak itu mengejar.
Malik mempercepat lariya, dan si pengejar juga makin cepat! Malik sangat gusar
karena anak itu membawa clurit.
Tiba-tiba saja ia sudah sangat dekat di belakang Malik. Dan ...
SHREK!
“Aaaghh!” pekik Malik.
Mata clurit itu
dikibaskan ke arahnya. (Temui Aku di Surga: 3)
Pada kutipan di atas dijelaskan aktivitas
Malik ketika tawuran dengan geng lain, serta nasib yang kurang beruntung
menimpanya yakni terkena clurit geng
lawan. Data di atas juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya
bagi remaja, yakni apabila terjadi gesekan sedikit saja di antara anggota geng
dengan geng lain. Tawuran menjadi solusinya. Hal ini dapat dibuktikan pada data
berikut:
Aksi brutal kelompok
geng motor yang menyerang lawannya di SPBU Shell Jalan Danau Sunter, Jakarta
Utara Sabtu malam, 7 April lalu, terekam kamera CCTV. Berbekal rekaman itu,
polisi mulai menyelidiki kasus penyerangan yang menewaskan seorang warga Koja,
Jakarta Utara serta melukai tiga orang lainnya. Satu orang diamankan polisi
Rabu kemarin.
Dari rekaman CCTV
tertanggal 7 April 2012 ini, terlihat sejumlah pria berbadan tegap dan masih
menggunakan helm, masuk ke minimarket SPBU Shell di Jalan Danau Sunter, Jakarta
Utara, untuk memburu sejumlah lawan mereka yang bersembunyi di dalamnya.
Diperlihatkan
penganiayaan dan aksi brutal dilakukan geng motor terhadap sejumlah remaja.
Akibat aksi brutal kelompok ini, Soleh, remaja berusia 17 tahun warga Koja,
Jakarta Utara ditemukan tewas dengan luka bekas penganiayaan berat. Aksi
tersebut juga mengakibatkan 3 orang lainnya yakni Zaenal, Reza dan Ardian
mengalami luka-luka. (Indosiar.com, Jakarta: Kamis, 12.04.2012)
Pada data dijelaskan terdapat data beberapa korban yang mengalami
tindakan brutal, bahkan hal tersebut
sampai menewaskan seorang warga Koja. Hal ini menunjukan jika tawuran antar
geng tidak memiliki manfaat. Berdasar hal tersebut, seharusnya dibutuhkan peran
banyak pihak agar kejadian serupa tak terjadi kembali. Seperti peran orang tua,
guru, dan masyarakat itu sendiri.
2.
Tata Cara Pencalonan Pemimpin
Pemilihan umum baik itu kepala daerah, presiden, atau pun
pemilihan kepala desa selalu identik dengan uang atau yang dinamakan money politic. Padahal untuk melakukan
pendaftaran sebenarnya itu digratiskan. Hanya saja, untuk mendapatkan hati
calon pemilih cara money politic
digunakan.
Pada novel Temui Aku di Surga hal ini begitu
tergambar jelas, seperti kutipan berikut:
“Ya... begini ini
kalau sistem sudah terlanjur ndak
baik tapi jalan terus. Mau mencalonkan diri saja harus bingung cari modal. Ndak hanya calon dewan saja yang butuh
uang banyak, calon petinggi di desa juga ndak
kalah berat di ongkos...”
“Iya Pak ya... gimana kalau kita nekat maju tanpa ongkos,
Pak, jadi kalau kalah pun ... ndak
akan sia-sia uangnya...” Tiba-tiba Yudho melontarkan ide itu.
Ia juga heran, kenapa harus bingung masalah modal yang
berpuluh-puluh juta? Sebenarnya untuk apa? Yang resmi kan hanya uang
pendaftaran saja kan? Bahkan kabar terbaru biaya pendaftaran digratiskan.
(Temui Aku di Surga: 164)
Kejadian politik uang dalam dunia nyata juga terjadi di berbagai daerah
di Indonesia salah satunya Jawa Timur. Seperti dikutip dalam merdeka news
berikut:
Rizal Ramli
melihat proses demokrasi telah dicederai. Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2013,
kembali diwarnai politik uang dan kekuasaan seperti tahun 2008 silam.
Menurut
Rizal, dengan kekuasaannya itu, pemerintahan telah menghancurkan proses demokrasi
mulai dari Jawa Timur yang ditandai dengan penjegalan pasanganA Khofifah Indar Parawansa-Herman
S Sumawiredja (BerKah) sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur.
“Masyarakat
Jawa Timur, adalah masyarakat yang sangat egaliter, tak akan terpengaruh dengan
kekuasaan dan uang, tapi pemerintah dengan segala cara justru menghancurkannya
dengan politik uang. Pada Pilgub Jatim 2008 lalu, permainan suara melalui IT
dan penyelenggara Pemilu, sukses memenangkan pasanganA Soekarwo-Saifullah Yusuf,
tandas Rizal saat dihubungi Selasa (23/7) malam .
Rizal
mengingat, Pilgub Jawa Timur 2008 itu terjadi hingga tiga putaran, dan menurut
dia selama itu pula politik uang dan kecurangan tetap berlangsung.
“Ini
kotor dan sangat memprihatinkan. Di tahun 2013 ini, Khofifah kembali dijegal
melalui persyaratan partai-partai pendukung, yang juga dengan politik uang yang
nilainya mencapai miliaran rupiah untuk satu partai,” tegas dia. (Peistiwa.com,
Jakarta: Rabu 24 Juli 2013
Pada kutipan di atas menjelaskan jika pemilihan
gubernur di Jawa Timur terdapat kecurangan yang dilakukan lawan pasangan dari
Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawierdja (BerKah). Pemilihan kepala daerah
di Indonesia memang identik dengan money
politic, hal ini dikarenakan keadaan masyarakat Indonesia yang berada di
bawah angka garis kemiskinan atau berpendidikan rendah. Padahal, money politic bisa juga diartikan
sebagai penggadaian diri kepada pihak (calon pemimpin) yang menang dan hal
tersebut sangat merugikan. Apalagi jika menang, pihak pemimpin yang melakukan money politic akan menggunakan berbagai
cara agar uangnya kembali salah satunya korupsi.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut kritis dalam
memilih sosok pemimpin. Apalagi jika pemimpin tersebut terindikasi menggunakan
cara kotor atau politik uang dalam pencalonannya. Pasalnya, satu suara yang
dibeli seharga dua puluh ribu rupiah hingga lima puluh ribu rupiah tidak akan
ada harganya jika dibagi lima tahun (masa pemerintahan).
3.
Sistem Kepercayaan Kekuatan Dukun
Ilmu perdukunan di Indonesia jelas-jelas ada, begitu banyak orang yang
percaya akan kekuatan dukun dibanding kekuatan dari Tuhan. Padahal, jika
terlalu mempercayai dukun membuat seseorang itu musyrik. Namun, bagaimana pun kepercayaan akan kekuatan dukun tak
bisa dihilangkan begitu saja. Sekalipun zaman telah banyak berubah.
Pada novel Temui Aku di Surga,
kepercayaan akan kekuatan dukun begitu tergambar jelas. Seperti pada tokoh “Pak
Thamrin” yang menggunakan jas ontokusumo
dan keris untuk memudahkan ia menduduki kursi sebagai petinggi. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
“Mereka
ke dukun.” Kata seorang sabetan
bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Temui Aku di
Surga: 176)
“Para
pendukung Pak Petinggi itu ... dari
dulu memang begitu tho, Pak, iya
kan? Makanya dari saudaranya dulu, yang
pemilihan sebelum Pak Petinggi juga
pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu ...,” Pak Salim menyahut
berapi-api. (Temui Aku di Surga: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit
bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo
dan keris saktinya. (Temui Aku di Surga: 194)
Selain terjadi di dunia novel, kepercayaan terhadap dukun di dunia nyata
apalagi bagi calon kepala daerah yang sedang ingin memikat hati calon
pemilihnya. Kekuatan dukun dijadikan barang biasa. Hal ini bisa dikutip pada
kutipan berikut:
Ketika dimulai proses
pencalonan kepala daerah, anggota tim sukses seorang calon mendatangi orang
pintar untuk minta petunjuk. Orang pintar itu segera membakar dupa, melakukan
ritual penerawangan dengan bersemedi.
"Calon kalian
dapat menang kalau dipasangi mahkota trisakti," kata mbah Dukun.
Lalu terjadi
negosiasi. Setelah ada kesepakatan, mahkota trisakti imajiner dipasangkan di
kepala sang calon dengan imbalan Rp 20 juta.
Sang calon terpilih,
menang dengan perbedaan suara menyakinkan terhadap lawan politiknya. Kenyataan
itu membuat orang pintar tersebut naik pamor. Lebih penting lagi, calon
terpilih yang kini duduk di singgasana kekuasaan, percaya bahwa dirinya telah
ditolong oleh suatu kekuatan supranatural melalui (perantara) orang pintar itu.
Oleh sebab itu, ketika ia berkuasa, dengan mudah para dukun lain juga
mendekatinya. (Tribunnews.com, Pontianak: Sabtu, 10.01.2015)
Kepercayaan atas kekuatan dukun ini
menjadi barang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu juga
terdapat sebuah kepercayaan, di mana seorang penguasa sering terancam oleh
berbagai kekuatan jahat black magic.
Lawan-lawan politik dan kelompok yang tidak suka kepadanya dapat menyerangnya
dengan santet atau pulung. Jika secara fisik dan psikis dia lemah, maka
penyakit aneh hinggap mendera. Penyakit yang tidak dapat didiagnosa secara
medis oleh dokter berdasarkan ilmu kesehatan modern.
Hal ini juga terjadi dalam novel
Temui Aku di Surga, namun, sebagai lawan politik Pak Thamrin, Yudho tak
mengalami hal-hal aneh baik fisik maupun psikis. Dikarenakan tokoh ini
digambarkan dekat akan Tuhan-nya.
Oleh karena itu, dapat diketahui jika kedekatan manusia dengan Tuhan-nya
bisa menjadi penangkal kejahatan yang dilakukan oleh dukun atau orang yang
tidak suka terhadap manusia tersebut. Bukti-bukti kedekatan manusia dan Tuhan
bisa dilihat dalam realitas sehari-hari, seperti tercermin dalam tingkah laku,
ritual peribadatan, dan lain-lain.
4.
Masa Lalu adalah Cerminan Masa Depan
Novel Temui Aku di Surga ini awalnya mengisahkan tokoh “Malik” yang
ingin menjadi petinggi. Namun,
kemudian tokoh “Malik” mendapat kecelakaan yang menyebabkan ia meninggal.
Ternyata, pihak pelaku penabrak adalah orang yang berada di masa lalu Malik.
Yakni, anggota geng Junkpret. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Demi
Allah ... semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi
melakukannya! Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya,
tulisannya Junkpret.” (Temui Aku di Surga: 243)
“Mungkin
ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba
hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu
itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepada motor yang nabrak Malik
ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya. (Temui
Aku di Surga: 258)
Berdasar kutipan di atas, dijelaskan tokoh
“Malik” yang meskipun sudah bertobat ke arah yang benar. Namun, ternyata
musuhnya di masa membuatnya meninggal dan tidak bisa mencalonkan diri menjadi petinggi. Pada kehidupan dunia nyata,
terdapat beberapa calon pemimpin yang memiliki masa lalu kelam, dan menjadi
pro-kontra bagi masyarakat pemilihnya. Seperti kisah Ayu Azhari dan Maria Eva.
Munculnya nama artis
Khadijah Azhari atau lebih dikenal Ayu Azhari dalam bursa bakal calon wakil
bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,
pada 2010 memicu pro dan kontra di masyarakat.
Keiikutsertaan Ayu
Azhari dalam pilkada melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada
Kamis (24/12) itu membuat sebagian warga yang ditemui pada Jumat, tidak
menyetujui bila istri vokalis White Lion, Mike Tramp itu menjadi Wakil Bupati
Sukabumi periode 2010-2015. Namun sebagian warga menyetujuinya. (Selebtempo.com, Jakarta: Kamis, 25 Februari 2010)
Pedangdut Maria Eva menyesalkan
statement Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi soal pezina tak boleh
maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau (statement) itu ditujukan
kepada saya, kenapa tidak disampaikan pada saat bertemu (Gamawan Fauzi),"
kata Maria Eva kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu. (Vivanews.com,
Jakarta: Senin, 12.04.2010)
Pada dua kasus Ayu dan Maria Eva memang tak
seratus persen sama dengan kisah Malik. Namun, dari dua kasus pesohor dan tokoh
novel tersebut memiliki benang merah yang sama, yakni masa lalu dapat membuat
seseorang terganggu dalam meraih mimpi atau cita-citanya.
Hal ini menyiratkan bahwa dalam hidup dan
kehidupan seseorang dituntut untuk banyak melakukan kebaikan. Sebab sembilan
puluh sembilan kebaikan yang dilakukan tidak akan berguna jika kemudian ada satu
keburukan. Apalagi, seseorang yang mau menjadi calon pemimpin. Terlepas dari
manusia tidak ada yang sempurna.
5. Kecurangan
dalam Pemilu
Dunia
politik Tanah Air membuat banyak orang (calon pemimpinnya) menggunakan segala
cara apapun agar bisa menang. Termasuk memalsukan suara. Seperti terdapat pada
novel “Temui Aku di Surga” di mana digambarkan tokoh “Pak Thamrin” melakukan
kecurangan, seperti tergambar pada data berikut:
Perkara
kejahatan yang telah direncakan dan dilakukan oleh Pak Thamrin diusut oleh
pihak kepolisian. Hari itu juga, Paijo dan Patkur diciduk, dan diinterogasi di
kepolisian. Tentu saja mereka tak kuasa mengelak tuduhan! Karena ada Solikin
yang telah lebih dulu memberi kesaksian.
Dari
penyedikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak
Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan
sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar
hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal
tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)
Selain dalam dunia novel, kecurangan dalam pemilu juga terdapat dalam
kehidupan dunia nyata. Seperti digambarkan pada pemilihan gubernur di Jawa
Timur berikut:
Tim kuasa hukum
pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar
Parawansa-Mudjiono, mengadukan Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Mereka menilai KPU Jawa Timur tidak mematuhi keputusan
Mahkamah tentang penghitungan ulang pada Pilkada Jatim.
"Kita anggap KPU
Jawa Timur tetap curang dan menghambat transparansi," kata Andi M. Asrun,
salah satu kuasa hukum Khofifah, di gedung mahkamah Konstitusi, Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 6 Januari 2009.
Menurutnya, telah
terjadi kecurangan dalam proses penghitungan ulang di kabupaten Pamekasan.
Dalam penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak
memasang Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
Menurutnya hal ini sangat penting untuk mengetahui
berapa surat surat suara yang sah, yang tidak sah, yang rusak, maupun yang
tidak terpakai. "Kami sudah melakukan protes atas kecurangan-kecurangan
itu, tapi tidak ditanggapi KPU," kata Asrun. (Vivanews.com, Jakarta: Selasa, 6
Januari 2009)
Tindakan kecurangan dalam pemilu itu ada
berbagai macam, seperti pada novel Temui Aku di Surga yakni penggelembungan
suara di mana, Paijo dan Patkur mengakui
jika telah mempersiapkan kartu pilihan palsu yang telah dilubangi pada gambar
Pak Thamrin. Sementara itu, pada kasus yang dikutip di atas terdapat kecurangan
dalam proses penghitungan ulang di Kabupaten Pameksaan. Di mana, dalam proses
penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak memasang
Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
Berdasar lima data di atas dapat
diketahui bahwa novel “Temui Aku di Surga” dianggap sebagai refleksi atau
cermin realitas. Hal ini dikarenakan, terdapat beberapa kejadian atau adegan
dalam novel yang menggambarkan skema hubungan antara karya sastra dengan
realitas. Seperti realitas sosial, budaya, dan politik. Pendekatan mimesis
sendiri cenderung membandingkan realitas karya sastra kepada realitas faktual (rill), sehingga hakikat karya sastra
yang fiktif imajiner sering
dilupakan. Melalui pendekatan mimesis
inilah novel “Temui Aku di Surga” ini dijadikan fondasi sebelum melakukan
tindakan kritik.
Penutup
Dunia kesastraan
ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Hal ini
tergambar pada novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa yang memiliki
peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata. Seperti: kehidupan
remaja yang suka nge-geng, sistem
politik Indonesia yang lebih didominasi money
politic, kecurangan di bidang politik yang dilakukan oleh beberapa oknum,
hingga kepercayaan masyarakat akan dukun.
Namun, sekalipun novel
ini memiliki peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata, tidak
mutlak sama dengan kejadian-kejadian di dunia nyata. Hal ini dikarenakan dunia
empiris tidak dapat mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh. Kenyataan yang ada
hanya bisa didekati oleh peniruan-peniruan (mimesis).
Selain itu, hal tersebut sesuai dengan
pandangan Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan dan mementaskan manusia
sebagaimana adanya. Seniman justru menciptakan dunianya sendiri dari segala
kemungkinan yang diberikan oleh dunia nyata sehingga dapat mencerahkan
segi-segi dunia nyata tertentu. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Aristoteles
menempatkan seniman pada posisi yang lebih tinggi daripada tukang (pengrajin)
sebab dalam karya seorang seniman pandangan, vision, dan penafsirannya
terhadap kenyataanlah yang lebih dominan.
Pada novel ini
peniruan-peniruan yang terjadi erat kaitannya dengan unsur instrinsik yang
membangun suatu karya sastra terlebih unsur latar dan pelataran, tokoh dan
penokohan, serta plot dan pemplotan.
Daftar
Rujukan
Hardjana,
Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah
Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Indosiar.com. Rekaman CCTV Kebrutalan Geng Motor. [Serial Online]
http://www.indosiar.com/patroli/rekaman-cctv-kebrutalan-geng_motor_94437.html [Kamis,
12.04.2012].
Nurgiantoro,
Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Madjah Press.
Peristiwa.com.
2013. Rizal Ramli: Pilgub Jatim Kembali Dicederai Politik Uang.
[Serial Online] http://www.peristiwa.co/rizal-ramli-pilgub-jatim-kembali-dicederai-politik-uang.html [July
24, 2013 ]
RMOL.com. Pezina
Dilarang Ramaikan Pilkada. [Serial Online] http://rmol.news.co.id/news/read/19872/pezina_dilaranga_ramaikan_pilkada. [19 April 2010].
Selebtempo.com.
Ayu Azhari Gagal Jadi Calon Wakil Bupati
Sukabumi. [Serial Online] http://seleb.tempo.co/read/news/2010/02/26/125228560/ayu-azhari-gagal-jadi-calon-wakil-bupati-sukabumi.[26 FEBRUARI
2010].
Sofa,
Ella. 2013. Temui Aku di Surga. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo
Teeuw.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: PT. Girimukti Pasaka.
Tribunnews.com.
Politik Magis. http://pontianak.tribunnews.com/2015/10/01/politik-magis
Politik Magis. [1 Oktober 2015].
Vivanews.com.
Kita anggap KPU Jawa Timur Tetap Curang
dan Menghambat Transparansi. [Serial Online] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/19872/khofifah_adukan_kpu_jawa_timur_curang [6 Januari 2009].
KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:41:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment