![]() |
Pembedah memaparkan hasil bacaannya terhadap buku Museum Ibu. |
Di acara yang diselenggarakan di Aula
Perpustakaan dan Arsip Daerah Situbondo itu, saya bercerita jika cerita pendek
dalam Museum Ibu itu ditulis dari 2012-2017. Sebagian ceritanya berasal dari
imajinasi, pengalaman pribadi, membaca buku, dan menonton film. Di sana saya
juga menegaskan bahwa cerita tersebut tidak banyak yang saya ubah dari segi
subtansi. Hanya sekadar memerhatikan aspek ejaan, sebab saya merasa eman jika
cerita yang ditulis tahun 2012 dirombak total dengan gaya kepenulisan saya saat
2017. Tentu, esensinya menjadi hilang. Rasa osinilnya tidak lagi berasa.
Makanya, saya tidak banyak melakukan perubahan. Padahal, detail dalam beberapa
cerita. Terutama, saat awal-awal belajar menulis itu masih perlu banyak
diperbaiki.
Hal itu pula yang menjadi catatan
pembedah. Lelaki yang juga menjadi dosen di Universitas Abdurrahman Saleh
Situbondo itu mengungkapkan bahwa detail cerita kurang pada beberapa judul,
walaupun begitu tidak mengurangi rasa penasaran untuk memiliki buku tersebut. Pembedah
juga mencermati sampul buku yang begitu filosofis dengan wajah seorang ibu,
perahu, dan ombak berwarna biru. Sampul tersebut begitu dekat dengan Situbondo
sendiri yang dikelilingi pantai.
Selain hal tersebut, masih menurut
pembedah buku tersebut memiliki banyak pesan yang dalam, seperti pada cerpen
Kampus Para Penghujat, Titisan Timun Mas, Tak Ada Dosen Hari Ini, dan
lain-lain. pesan-pesan tersebut digambarkan secara tersirat (tidak langsung).
Dari
empat belas cerita tersebut, pembedah merasa bahwa Kampus Para Penghujat
merupakan cerpen terbaik. Tutup pembedah.
Setelah
pembedah memaparkan hasil telaahnya terhadap buku saya. Terjadilah diskusi alot
dengan peserta Pekan Literasik Situbondo hari pertama itu. Moderator yang
digawangi oleh Fathur membagi dua sesi pertanyaan.
Pada sesi pertama, ada dua penanya,
yakni: (1) Arifah yang berasal dari SMAN 1 Panarukan menanyakan bagaimana cara
menulis dengan baik, runtut, dan bermakna; dan (2) Dari Putri Nurhasanah (siswa
SMKN 1 Panji) yang menanyakan apakah ceritanya berkesinambungan.
Saya pun segera menjawab pertanyaan
Arifah bahwa setiap orang memiliki cara menulis atau proses kreatif yang
berbeda. ada yang memulainya dengan langsung menulis, ada yang menulis dengan
membaut kerangka terlebih dahulu, dan lain-lain. tapi sebagai proses kreatif,
tentu menulis memiliki beberapa tahapan seperti: (1) mencari ide, (2)
mengendapkan ide, (3) menulis, dan (4) menyunting. Proses pencarian ide bisa diperoleh
dari bahan bacaan, film, masalah pribadi atau orang lain, dan lain-lain.
setelah ide, didapatkan ada proses pengendapan untuk memecahkan masalah terkait
ide. Cara mengontemplasikan proses pengendapan itu bisa dari teknik renung,
yakni penulis bisa merenungkan beberapa kejadian sampai ide itu menemukan titik
penyelesaian. Dalam hal ini, kita bisa membuat kerangka cerita. dan, saya
sendiri ketika awal-awal menulis menggunakan cara ini. Namun, sekarang lebih
enak menulis tanpa kerangka. Setelah dua hal tersebut, kita tinggal menulis.
Baru deh menyunting tulisan sendiri artinya kita menyikapi tulisan dengan
kacamata editor.
Berkaitan pertanyaan kedua, saya
menjawab dengan singkat bahwa 14 cerita tersebut tidak memiliki keterkaitan.
Setelah mendapat jawaban yang sesuai
dengan keinginan. Moderator segera membuka sesi kedua. Kini yang bertanya
adalah seorang dosen Fakultas Sastra UNARS yagn juga menjadirekan kerja
pembedah. Penanya tersebut bernama BU Sufi. Bu Sufi mengapresiasi mengenai
penerbitan buku ini, walaupun begitu ia meminta penjelasan lebih detail seputar
pengalaman menulis, proses kreatif menulis, dan unsur-unsur cerita.
Tiga pertanyaan dari satu orang itu
membuat saya cukup lama menjawab. Sebab jika ditanya seputar pengalaman
menulis, tentu saya mengawali menulis sejak akhir SMA hingga sekarang. Sampai
akhirnya pada 2015 barulah tulisan-tulisan saya tembus media. Dan, pengalaman
yang berkesan itu saat mengikuti perlombaan di tingkat jawa Timur pada 2016.
Sekaligus menerobehkan juara 2 (baca selengkapnya di sini). Barulah 2017 buku
ini berhasil terbit.
Lalu proses kreatif menulis, saya
sendiri memperoleh ide dari apa saja. Misal tentang Tak Ada Dosen Hari ini,
saya menulis itu saat berpikir bagaimana ya, jika suatu pagi dosen tak laig
memberikan materi? Dari ide tersebut, tentu sudah ada banyak jawaban, seperti
sebagian besar mahasiswa senang, sebagiannya tidak. Selain berdasarkan
imajinasi, beberapa cerpen juga terinspirasi dari bacaan, seperti Museum Ibu
terinspirasi setelah membaca cerpen Museum Luka yang dimuat di Jawa Pos,
Titisan Timun Mas yang merupakan hasil refleksi dari dongeng Timun Mas, dan
lain-lain. Sebab menurut saya, ide bisa berasal darimana saja. tinggal kita
yang mengemasnya lebih elegan.
Menjawab pertanyaan terakhir, saya
sebagai orang yang belajar nulis tidak termasuk orang yang memerhatikan
unsur-unsur cerita dalam proses menulisnya. Menulis ya. Menulis. Lepas itu baru
deh, ngedit. Jika menulis berdasarkan teori A, B, C, dan D. Kita menjadi takut
salah.
Jawaban itu pula menjadi penutup
cerita pekan Literasik hari pertama. Walaupun begitu, berkat acara tersebut. Saya
jadi masuk koran. Tak percaya, silakan lihat gambar berikut:
Tentang
kisah masuk koran, apa perlu saya menulisnya juga di blog ini?
Hehe. J
Museum Ibu Menjadi Sajian Pembuka di Acara Pekan Literasik Situbondo
Reviewed by Dunia Trisno
on
1:51:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment