Pertengahan
bulan Februari, buku Museum Ibu terlahir. Sebelumnya, buku itu hanya sebuah
kumpulan cerita yang setengahnya sudah dipublikasikan (baik di media massa
maupun antologi bersama).
Museum Ibu pula menjadi buku kumpulan
cerita pertama yang terbit. Di sana ada 14 cerita pendek dengan tema yang
beraneka ragam. Kemudian ada yang bertanya, “Mengapa menggunakan judul Museum
Ibu?”
Rasanya saya berhak untuk tidak
menjawab pertanyaan itu. Bukankah untuk mengetahui hal itu, mereka harus
membaca buku terbitan Ae Publishing itu.
Selain pertanyaan itu, ada sebagian
teman yang bertanya. Mengapa memilih Ae Publishing yang merupakan penerbit
indie? Mengapa tidak nyoba ke mayor label?
Indie label atau mayor label? Keduanya
sama-sama memiliki tantangan yang berbeda. Perspektif kebanyakan orang merasa
bahwa indie label itu membuat kita harus mengeluarkan banyak biaya, lalu
memasarkannya sendiri. Buku hanya dijual lewat online. Sementara jika mayor
label, buku dipasarkan di berbagai tokoh buku. Dari sana, akan banyak
pendapatan melalui royalti. Dan untuk masuk di mayor label harus melalui
serangkaian seleksi ketat. Berbeda dengan indie label, sebab naskah bisa lolos
asalkan tidak mengandung unsur SARA.
Pernyataan tersebut ada benarnya.
Tapi, tidak semua bisa dinyatakan benar. Memang terbit di mayor label itu
adalah suatu kebanggaan tersendiri, tapi jika kita tidak berusaha memasarkan
buku dengan baik. Belum tentu pendapatan melalui royalti sesuai harapan. Saya
sendiri telah berkali-kali berusaha menembus mayor, tapi ya masih belum berhasil.
Kemudian, saya mengetahui jika Ae Publishing sedang mengadakan event terbit
gratis.
Saya pun mengirimkan draft naskah
Museum Ibu. Saya sendiri sudah percaya kepada penerbit yang berdomisili di
Malang itu. Apalagi, dulu ketika belajar menulis saya pernah menjadi event
bulanan dan admin grup penerbit itu. Jadi, insya Allah Ae Publishing bukan
penerbit abal-abal.
Selang sekitar satu bulan, saya
dikabari oleh Mbak Anisa bahwa buku Museum Ibu lolos seleksi. Maka saat itu,
kami berdiskusi seputar cover bukunya. Saya meminta jika alangkah baiknya,
cover bukunya menggunakan serupa lukisan mengenai sosok Ibu. Seputar pemilihan
warna dan lain-lain saya menyerahkan sepenuhnya pada penerbit.
Selain cover, layout dan editing
kemudian menjadi tumpuan diskusi selanjutnya. Untuk kedua hal tersebut saya
memilih melakukannya sendiri. Menurut hemat saya, layout dalam naskah sendiri
itu memiliki pengaruh besar terhadap jumlah halaman. Dan, saya tak ingin buku kumpulan
cerita itu memiliki jumlah halaman yang teramat panjang karena layout-nya.
Sebab, jika semakin panjang. Tentu berpengaruh pada harga jual bukunya. Bukan
apa-apa, sebagai orang yang belajar menulis. Jika harga bukunya teramat mahal,
calon pembeli mungkin ketakutan untuk membelinya. Selain itu, harga mahal tidak
menunjukkan kualitas isi bukunya. Lalu, mengapa melakukan editing sendiri? Saya
terinspirasi dari kisah Kirana Kejora, novelis yang telah banyak karyanya
difilimkan itu ternyata awalnya tidak menggunakan jasa editor. Untuk kisah
tersebut, bisa dicek di Google. Tidak menggunakan editor tentu memiliki
konsekuensi, apabila ada typo atau kesalahan dalam penulisan. Walaupun begitu,
ruh tulisan tanpa editor terasa orisinil. Itulah yang saya pilih.
Setelah urusan pracetak selesai, Mbak
Anisa menawarkan melakukan masa pre-order. Satu hal yang membuat saya takjub.
Buku terbitan indie label itu ternyata menarik minat sekitar 80 orang dalam
masa PO. Untuk seorang yang berjuang menulis, tentu jumlah itu sudah
menajukkan.
Kemudian ada bonus lain yang
menggetarkan jiwa yaitu saat tahu buku tersebut akan di bedah di acara Pekan
Literasik Situbondo. Untuk cerita mengenai hal itu, tunggu kisah selanjutnya
ya! (klik di sini)
![]() |
Foto Pembaca Buku Museum Ibu |
![]() |
Foto Pembaca Buku Museum Ibu |
![]() |
Foto Book Signing salah satu pembaca |
Apa, Mengapa, dan Bagaimana Museum Ibu?
Reviewed by Dunia Trisno
on
1:48:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment