Buah kerja keras Ibuk semakin
terasa, tatkala saya bisa lulus sekolah dengan nilai terbaik. Lalu, empat hari
setelah pengumuman kelulusan, ada pengumuman lain yang membuat bahagia
menyesaki dada Ibuk.
Saya lulus pendaftaran SNMPTN
yang artinya saya bisa masuk kuliah tanpa perlu memikirkan tes. Kondisi itu
membuat Ibuk bahagia luar biasa. Kebahagiaannya benar-benar membuncah.
“Kuliahnya di Jember kan?”
Ibuk memastikan tempat kuliah
saya.
Saya menatap perempuan berusia
setengah abad itu. Kemudian, mengambil tangannya. Dan melihat garis tangannya.
Garis tangan yang kian tak beraturan. Garis tangan yang tak lagi halus. Dan
garis tangan yang tampak sekali sayatan-sayatan. Dari garis tangan itu saya
mengetahui Ibuk begitu bekerja keras selama menghidupi saya. sekalipun saya
bukan darah dagingnya sendiri.
“Bukan, Bu. Bukan Jember.”
Mendung bergelanyut di wajah
Ibuk. Saya merasa bersalah dengan jawaban itu. Seharusnya saya memilih kuliah
di Jember, apalagi jarak Situbondo-Jember tak begitu jauh. Berbeda dengan
Surabaya yang membutuhkan waktu sekitar 5-7 jam. Belum lagi jarak yang
terlampau jauh. Ah. Membayangkan kesalahan itu saya berharap bisa tak mengikuti
proses daftar ulang. Kemudian, mengikuti tes SBMPTN dengan memilih kampus di
wilayah Jember.
Saya mengangguk atas saran Ibuk.
Kemudian, saya tersenyum kepadanya. Senyum yang terbaik yang saya miliki.
“Makasih, Buk.” Ungkap saya.
Ibuk tak menjawab. Perempuan
bersanggul itu hanya merapatkan tubuh saya ke tubuhnya. Saya dipeluk, tanpa
banyak kata.
“Belajar yang rajin. Itu cara
mudah bahagiakan Ibuk.”
Saya mengangguk. Lalu, berjanji
dalam hati. Janji yang tak akan pernah saya ingkari.
***
Saya diantar Ibuk ke Surabaya.
Dari Situbondo kami bisa memilih dua pilihan bus, yakni jurusan Madura atau
Surabaya langsung. Kedua bus itu harganya sama saja, hanya pembedanya tujuan
akhir.
Kami pun tak ambil pusing antara
dua opsi ini. Hanya saja, kebetulan jadwal keberangkatan saat kami tiba di
Terminal Situbondo adalah bus jurusan Surabaya. Tentu, kami langsung naik. Dan
memilih duduk di kursi yang hanya terdiri dari dua penumpang.
Tak butuh waktu lama agar bus
ini berjalan. Hanya kurang dari lima menit saat saya duduk di atasnya. Bus ini
langsung berjalan meninggalkan terminal menuju Surabaya setelah melewati
Probolinggo, Pasuruan, dan Mojokerto. Keberangkatan yang pagi sekitar jam enam
membuat saya dan Ibuk sampai di Surabaya tepat saat azan Zuhur berkumandang.
Kami segera menuju ke arah Lidah
Wetan dengan menggunakan trayek bus dalam kota. Surabaya menyambut kami dengan
nyala udara yang sedemikian panas. Melebihi panas Situbondo saat musim panas.
Kondisi itu membuat tetesan keringat benar-benar mengenai saya dan Ibuk.
Untungnya, Ibuk tak protes atas hal itu.
Tak hanya itu, Surabaya
menyambut kami dengan kemacetan yang luar biasa. Tetapi, kemacetan itu tak
membuat semraut seperti yang dilhat di layar kaca. Pasalnya, puncak kemacetan
di ibukota provinsi ini terjadi di sekitar lampu merah saja.
Trayek bus ini pun dengan sukses
membawa kami berkendara menuju Jalan Wonokromo dan Jalan Raya Lontar sebelum
akhirnya tiba di Kampus Lidah Wetan Unesa. Dari kampus itulah perburuan kami
dimulai mencari indekos yang tepat.
Kost di Surabaya itu memiliki
berbagai tipe sesuai dengan keinginan dan dana yang dimiliki calon penghuninya.
Ibuk pun tak memberikan sedikit pun petuah atas kos yang pas digunakan untuk
belajar. Dari sana, saya melihat Ibuk memberikan kebebasan. Apalagi, kost bukan
sekadar tempat tidur, tetapi juga tempat untuk mengerjakan tugas kuliah dan
bercengkrama dengan teman-teman nantinya.
Maka, saya pun berusaha mencari
informasi kost lewat aplikasi. Dari aplikasi yang saya unduh di Playstore, saya
memiliki minat atas sebuah kos yang beralamat di Wiyung. Memang jaraknya dengan
kampus Unesa sekitar 1,4 kilometer. Tetapi, entah mengapa saya tertarik karena
reviewnya yang begitu dekat dengan ATM, apotek, klinik, pusat perbelanjaan,
masjid, gereja dan tentu Unesa sendiri. Hal-hal seperti itu akan menunjang
keseharaian saya di tanah rantau.
Pun, ketika menjumpai kos
berwarna hijau itu, saya langsung jatuh hati. Ibuk mengalami hal yang sama.
Maka transaksi berupa kesepakatan terjadi.
Ibuk langsung membayar sejumlah
tiga bulan ke depan. Saya dan Ibuk diantar pemilik kos ke kamar yang terletak
di lantai dua. Menurut ibu pemilik kost, saya termasuk orang yang beruntung
sebab kamar hanya tinggal satu. Apa pun itu, bagi saya pernyataan itu begitu
klise. Dan tak perlu diungkapkan. Sebab, sekalipun kamar ini full, toh saya
bisa mencari kamar di tempat lain. Sekalipun agak repot juga sih.
“Silakan masuk. Semoga betah.”
Ucap ibu pemilik kost menyilakan kami, lalu pergi dengan meninggalkan kunci.
Saya memandang kamar kos yang
berukuran 3 X 3 meter ini. Kamar ini tak cukup luas jika dibandingkan kamar
saya. tetapi, terasa nyaman. Apalagi, kamar ini memiliki dua kipas angin yang
sanggup untuk mengusir panasnya Kota Surabaya.
Saya pun segera menata
barang-barang yang berada di dalam koper. Ibuk tak membantu. Perempuan itu
teramat letih. Buktinya, ia langsung tepar di kasur yang begitu tampak empuk.
Satu per satu barang saya
keluarkan. Lalu, saya masukkan lemari. Barulah, ketika melihat potret keluarga
saya yang masih lengkap waktu itu. Mendadak saya menangis. Tangisan yang begitu
lirih. Saya tak mau kesedihan saya dirasakan Ibuk. Makanya, tangisan saya
pelankan.
Saya berjanji akan membeli dua
pigura. Pigura pertama untuk foto keluarga lengkap. Dan pigura kedua foto saya
dan Ibuk. Kedua foto itu akan saya pajang di dinding kamar. Agar saya bisa
memandang sumber semangat saya.
“Saya akan menjadi kebanggan
bagi kalian semua,” ucap saya penuh optimis.
Seusai menyusun semua hal-hal
remeh itu, saya memilih merebahkan tubuh di samping Ibuk. Dari tubuh Ibuk yang
tampak nyenyak dalam tidurnya, saya memiliki harapan yang teramat sangat di
tanah rantau. Harapan untuk tidak sekadar impian, tapi mimpi yang harus segera
diwujudkan.
29-09-2018
22:47
Sebuah Harapan di Tanah Rantau (Dimuat di Bangka Pos, Edisi 28 Oktober 2018)
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:00:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment