Tersesat di Surga
Oleh: Gusti Trisno
Aku
tak habis pikir, mengapa Ibu ke tempat seaneh ini? Jauh dalam bayang pikiran
adalah luar negeri atau Bali yang terkenal dengan keindahan pantainya. Namun ternyata
perkiraanku salah, yang terhampar kini adalah sebuah desa yang terasa asing di
pelupuk mata.
Ah
Ibu, bawalah aku kembali ke Jakarta. Meskipun di sana penuh dengan lalu lalang
kendaraan bermotor yang menimbulkan kemacetan parah. Tapi lebih baik aku berada
disana, merayakan ulang tahun bersama teman-teman dekat,
gumamku dalam batin.
Aku dan Ibu terus melangkahkan kaki
di perjalanan desa. Di sana kucium sebuah bau aneh yang ternyata berasal dari
sebuah limbah pabrik tapioka.
“Sudah
kamu jangan mengeluh begitu, Nak. Nanti kamu akan paham mengapa Ibu ajak ke
sini.” Ucap Ibu seolah mengetahui isi batinku.
“Tapi setidaknya Bu, bawalah aku
berlibur minimal ke Bali atau ke mana gitu, daripada ke tempat seperti ini.”
“Kamu tidak boleh berkata seperti
itu, tempat ini jauh lebih Indah dari Bali. Ibu yakin itu dan selama satu minggu
kita tinggal di sini. Kamu pasti suka.”
“Seminggu? Apa? Tapi Bu, aku tidak
mau.”
“Tolong lah, Nak. Selama ini, Ibu
telah menuruti semua keinginanmu. Ibu hanya minta seminggu saja kita tinggal di
sini, nanti kamu akan tahu sendiri betapa nikmatnya hidup di desa yang tentram
ini.”
Ah,
Ibu. Keluhku dalam batin.
***
Tepat
lima belas menit perjalanan kaki, kami
sampai dirumahnya Bu Ella, teman SMA Ibu dulu. Kedatangan kami disambut oleh
seorang anak kecil mungkin usianya sekitar delapan tahunan.
“Assalamualaikum, ada yang bisa saya
bantu Bu?” tanyanya sembari memberi senyum pada Ibuku.
“Waalaikum
salam, Ibu Ella-nya ada Dik?” jawab Ibuku pelan.
“Sebentar saya panggil dulu, Bu, monggo, silakan masuk.”
“Assalamualaikum,
bagaimana kabarmu?” sapa seorang perempuan yang tiba-tiba datang menghampiri
kami.
“Waalaikum
Salam, aku baik-baik saja.” Jawab
Ibu seraya memeluk Bu Ella.
Ibu segera memperkenalkan aku pada
Bu Ella. Melihat kedatangan kami, Bu Ella segera membuatkan teh hangat.
“Ada apa kamu hendak singgah ke mari?” tanya
Bu Ella seraya menyuruh kami meminum teh yang telah dibuatnya.
“Maksud
kedatangan kami ke sini karena kami ingin mendapat ilmu selama di sini. Dan aku ingin tinggal di tempat ini
selama satu Minggu, apakah kamu mengijinkan jika aku menginap dirumahmu?”
“Alhamdulillah.
Aku sangat senang sekali kamu mau menginap di gubuk kecilku ini, meskipun
rumahmu sudah seperti istana.”
“Halah, Ella aku malah yang
berterima kasih padamu. Karena kamu adalah orang yang selalu mengajarkanku arti
kesederhaan selama di SMA dulu. Tapi kini aku seperti tak menemukan cahaya
hidup lagi, aku terasa hancur sekali.” Ucap Ibu, membuatku menundukkan kepala,
perasaan bersalah tiba-tiba datang menerobos lubuk hati.
Bagai memutar film. Kejadian setahun
lalu berputar di pikiranku. Waktu itu, aku mengkonsumsi narkoba bersama
teman-teman. Dan ketika Ibu mengetahui hal tersebut, beliau segera memustukan
mundur dari pekerjaannya dan memberi waktu penuh untuk anak semata wayangnya
ini.
“Kamu kenapa? Mengapa kamu tiba-tiba
menangis? Beban apa yang selama ini kamu pikul? Ada apa?” tanya Bu Ella
bertubi-tubi menatap wajah layu Ibu.
“Sudahlah, semua sudah berlalu. Kini
aku tak ingin mengingatnya kembali.”
“Baiklah, semoga kamu senang berada
disini.”
Ibu hanya mengangguk seraya
menikmati seduhan teh yang memecah kedinginan di kampung ini.
***
Semua
tampak berbeda, kini sepanjang mata memandang yang tampak hanyalah makhluk bersarung
yang hilir mudik. Suara adzan Ashar memecah lamunanku, tampak makhluk yang
bersarung itu memperbaiki letak pecinya. Dan anehnya makhluk bersarung itu
sangat banyak, mereka bergegas memasuki masjid-masjid yang jarak antar masjid
tidak terlalu jauh.
“Tempat apa ini?” kataku tanpa aku
sadari.
“Hmm, Nak. Ini adalah Desa Kajen. Di
sini terdapat 24 Pesantren, makanya sepanjang perjalanan yang kamu lihat hanya
laki-laki yang memakai sarung. Sebab santri yang ada disini sangatlah banyak
dan desa ini biasa mendapat julukan kampung santri.” Jelas Bu Ella, memaksaku
menahan ludah.
Desa Kajen? Desa yang akan menjadi
tempat merayakan ulang tahunku adalah kampung santri.
Saku celanaku bergetar, sebuah pesan
masuk dalam ponselku. Aku langsung memunguti ponsel itu. “Kamu dimana? Aku
sedang ingin ajak kamu makan malam, nih. Kamu kan ultah, nanti aku tunggu ya,
di Restoran Pelangi jam 7 malam.” Kata Futiha melalui sms.
Hah, Futiha, perempuan itu SMS aku.
Pikirku berkata.
“Ok, tunggu saja ya.” Jawabku selang
beberapa menit.
Rasanya jika makan malam bersama
perempuan itu pasti akan seru, dibanding jika berlama-lama di desa yang terasa
aneh ini. Namun bagaimana aku bisa keluar
dari desa ini ya? Kataku meski hanya dalam hati. Akhirnya setelah sekitar
lima menit berpikir, lampu bohlam keluar di kepalaku.
“Ibu dan Bu Ella, tunggu dulu ya!
Saya mau menikmati pemandangan kampung ini sendiri dulu, tampaknya asyik nih.”
Mereka
tampak percaya dengan perkataan, padahal perkataan itu kubuat karena mencari
celah untuk pergi dari kampung ini. Dengan sigap aku berlari menuju jalan raya. Setelah itu menunggu bus,
dan langsung balik ke Jakarta. Belum sampai lima belas meter berlari, aku
terkena musibah, kakiku tergelincir. Luka lebam langsung terlihat sempurna,
sementara itu kakiku kian sulit untuk di gerakkan.
Tiba-tiba
terlihat wajah teduh ibu di sampingku, ia terlihat begitu mengkhawatirkanku. Ah Ibu, maafkan aku yang masih sering
menyusahkanmu. Ucapku meski hanya dalam hati.
***
Keramaian
Desa Kajen meningkat dan mencapai puncaknya setiap malam 10 syuro dengan
diperingatinya Haul Syech Ahmad Mutamakkin, ritual ini sudah menjadi agenda
tahunan dan ceremonial bagi
masyarakat wilayah ini dan sekitarnya, bahkan peziarah setiap tahunnya terus
meningkat dari berbagai penjuru Indonesia. Ritual ini diisi dengan berbagai agenda kegiatan
oleh panitia, yang dimulai pada tanggal 8 Syuro pada jam 20.00 WIS dengan
pembacaan Burdah (pembacaan syair-syair yang berisi tareh Nabi Muhammad S.A.W),
dilanjutkan pada tanggal 9 Syuro pada jam yang sama Tahlil Muqoddimah untuk umum dengan mendo’akan para leluhur dan nenek moyang dan pagi
harinya diteruskan dengan ritual yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak yaitu
acara buka selambu dan acara pelelangan.
Suatu hari yang benar-benar sangat
melelahkan untuk sebagian besar panitia, namun ternyata hal tersebut tidak
berlaku. Tampak sebagian dari mereka sanga menyenangi kegiatan-kegiatan dalam
memperingati Haul Syech Ahmad Mutamakkin itu. Selain itu acara yang
ditunggu-tunggu adalah buka kelambu yang dilanjutkan pelelangan, acara ini
menjadi perhatian banyak pihak mulai dari para santri, tokoh-tokoh kiai,
masyarakat setempat dan sekitar daerah Pati. Acara ini pada intinya adalah
mengganti berbagai kain yang digunakan
untuk menutupi dan menghiasi Makam Syech Ahmad Mutamakkin, mulai dari layar
yang menutupi kaca Makam bagian dalam sampai pada kain mori yang digunakan
untuk penutup “patok”, kegiatan ini sangat menarik dan kain yang digunakan
menutup dan menghiasi Makam orang suci, bagi kepercayaan masyarakat kain tersebut mengandung tuah dan akan
mendapatkan berkah bagi orang yang memakainya.
Selesai
pelelangan ada acara yang telah menjadi adat dan tergolong unik, yaitu
diadakannya makan bersama antara masyarakat umum, santri dan para tokoh kiai
setempat di dalam satu nampan, mereka dibiarkan berebut tempat untuk membaur
bersama. Hal ini menunjukkan bersatu dan padunya antara masyarakat dan para
tokoh kiai setempat, dan begitulah semestinya antara pemimpin dan yang dipimpin*.
Selain
itu para santri juga mengadakan event pawai budaya serta marching band,
menambah kekhasan daerah di hari ini. Dan betapa terkejutnya aku tatkala
melihat seorang anak kecil penabuh Drum Band memberiku sebuah kuetar kecil bertulis angka tujuh belas.
“Selamat
ulang tahun, Sayang. Hari ini semakin bertambah usiamu. Semoga kamu senantiasa
bisa menempatkan dirimu, menjadi insan yang berguna untuk kemaslahatan umat.
Semoga dengan bertambahnya usiamu, semakin bertambah amal dan prestasimu. untuk
kehidupan dunia dan akhirat.” Kata Ibu dengan suara sedikit serak.
Aku
langsung memeluk erat perempuan yang melahirkanku itu, kucium, kupeluk dan kucium
lagi.
“Ibu,
terima kasih atas semua hal yang telah Ibu berikan untukku. Sebuah kasih sayang
yang tak dapat aku balas dengna apapun termasuk uang. Yang kuharap adalah kasih
sayang Allah untuk Ibu karena aku sangat sayang Ibu karena-Nya.”
“Subhanallah, aamiin ya robb, perkataanmu
tadi, Nak. Menyejukkan hati Ibu. Ibu sangat bersyukur memilikimu, Nak.”
Kuseka
air mata yang merembes di antara kedua mataku, ah Ibu di balik tempat yang
sederhana ini, kembali aku menemukan kasih sayangmu yang tiada tara.
Meskipun
waktu tak dapat kuputar kembali, sekarang, dan untuk selamanya aku tak ingin
mengecewakanmu. Terlalu banyak kesalahan dan kegagalan yang kubuat, tapi aku
tak ingin salah dan gagal menjadi anakmu.
Dan
aku merasa beruntung datang pada saat yang tepat, saat di mana terdapat agenda
besar berbudaya dengan nuansa Islam yang sangat kental. Tempat ini serasa surga
dan aku sudah tersesat di dalamnya.
Jember, 07 April 2014
Keterangan:
(*) Tulisan tersebut diambil dari sebuah blog dengan judul Ponpes if day Pondok Pesantrn
Maslakul, http://harian-oftheday.blogspot.com/2013/07/ponpes-of-day-pondok-pesantren-maslakul.html
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno dan G+ (+Gusti
Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu. Bisa juga follow
FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J
Tersesat di Surga (Dimuat di Radar Banyuwangi 17 Mei 2015)
Reviewed by Dunia Trisno
on
3:36:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment