Cinta Bertabur di Langit Panarukan
Oleh : Gusti Trisno
Pagi itu, hujan menyambut
kedatangannya di Bandara Internasional
Juanda. Tepat jam delapan pagi ia sampai di bandara yang terletak di kota
pahlawan tersebut.
Hari ini adalah hari yang sangat mendebarkan untuknya. Ia akan bertemu kembali
dengan kedua orangtuanya yang sudah lama tak dijumpai. Mereka adalah sepasang
malaikat yang Allah kirim padanya. Dia begitu kagum akan perjuangan mereka, ia
terlahir dari keluarga yang pas-pasan namun alhamdulillah
Allah memudahkan urusannya. Hingga ia bisa mendapat beasiswa di Universitas
Islam tertua di dunia, yakni Universitas Al-Azhar
Mesir. Ia mengambil fakultas Ushuluddin, jurusan Hadist Universitas Al-Azhar. Jurusan dan
fakultas yang sama dengan penulis novel
best seller Ayat-Ayat Cinta.
Begitu banyak pengalaman
yang dia dapat di negara piramida ini. Namun tugasnya sebagai sarjana
universitas ini belum selesai.
Ia masih ingin kuliah
master di tempat yang sama. Akan tetapi karena permintaan orangtuanya
melanjutkan kuliah di sini. Ia mengambil keputusan itu. Mungkin dengan seperti
itu ia bisa tambah dekat dengan mereka, malaikat cintantya.
Pelan. Tapi pasti. Langkah kakinya mulai beranjak pergi
dari bandara internasional tersebut, sebuah taksi menggampirinya, seolah tahu,
jika pemuda tersebut membutuhkan tumpangannya.
Jauh dari lubuk hatinya, sebuah nama kecamatan di
Situbondo, ia ucap begitu sering.
Ah. Panarukan. Selalu menjadi tempat yang ia rindukan.
Sekitar dua jam kemudian, wajah Panarukan sebentar lagi
terlihat.
“Panarukan … Panarukan siap … siap.“
Suara kondektur sambil mengetok jendela.
Tukang becak memperebutkannya, segera ia memilih
sesosok lelaki yang berusia seperi sosok ayahnya. Sesampainya di rumah, ia dikejutkan dengan pernak-pernik yang tampak
asing di mata.
Rumah.
Hiasan rumah. Sekitar rumah. Semua tampak berbeda.
“Faris.“ Sebuah
suara yang
dikenal, memanggil.
“Ibu.“ Jawab lelaki bernama Faris tersebut.
Ia pandangi raut wajah perempuan
penuh kasih, ia cium kening dan pipihnya. Ia meluapkan setiap rasa
rindu yang menggelora
dalam dada.
Ibunya tak banyak berubah, kini wajah yang penuh dengan
keteduhan itu tak berubah sedikit pun. Malah bertambah teduh dan cantik dengan
sebuah kerudung berwarna biru muda.
“Ibu, Ayah di mana?“ Tanya Faris setelah memandangi rumah yang kosong, tak ada
penampakan sosok bertubuh kekar itu.
“Ayahmu sibuk, Cong[1].
Beliau menjadi panitia
acara petik laut di desa ini.“ Jawab Ibu
dengan nada yang lembut.
“O, gitu ya Bu. Ya, sudah Faris rehat sejenak ya!”
“Iya, istirahat lah dulu, Nak”
Ia pun segera melangkah menuju kamarnya yang terletak di
lantai atas. Segera ia memicingkan mata, walaupun begitu pikirannya menerawang
menembus cakrawala. Batinnya terus berpikir dan bertanya, apa itu petik laut?
Dan untuk apa dilaksanakan? Dan sederat pertanyaan lain, turut terekam dalam
otaknya.
Ia
pun berinisiatif, mencarinya di Wikipedia.
Bentuk rasa syukur kepada Allh SWT atas segala
limpahan karunianya banyak macamnya. Namun bagi komunitas nelayan, menunjukkan
rasa syukur atas melimpahnya hasil tangkapan laut serta selalu selamat tanpa
bencana serta rintangan apapun, hanya dikenal dengan ritual "Petik
Laut" dan "larung saji".
Ritual ini yang selalu dinantikan dan rutin dilakukan dikalangan komunitas nelayan, termasuk nelayan petik laut di Desa Kilen Sari, Kecamatan Panarukan. Upacara ritual yang selalu dipadati ribuan warga nelayan tersebut merupakan acara puncak. Ada pemutaran film, pentas seni, pementasan musik gambus, orkes dangdut, dan tari gandrung banyuwangi. Ada juga Pengajian dan berbagai lomba untuk masyarakat nelayan. seperti renang bebas, domino, catur, tari, tarik tambang, dan panjat pinang.
Inti kegiatan petik laut adalah saat pelarungan sesaji ke tengah laut, sesaji itu disatukan dalam sebuah perahu kecil. Isinya macam-macam, namun yang paling menonjol adalah kepala sapi. Sebelum dilarung, sesaji itu telah melalui serangkaian ritual. Perahu sesaji diturunkan kelaut beramai-ramai kemudian dilarung ketengah dan ditenggelamkan.
Itulah hasil Goggling
yang didapat. Sungguh bener-benar membuatnya terkejut “Apakah benar dengan
mengadakan ritual petik laut itu adalah ungkapan kebahagiaan kita terhadap
Segala pemberian Allah berupa hasil laut yang melimpah. Hadits dari mana coba?
Trus mengapa pakai sesaji segala?“
pikirnya, setelah membaca tulisan tersebut.
Meskipun
terlahir sebagai anak Panarukan, tak banyak yang ia ketahui tentang Panarukan.
Pendidikan dari orangtuanya yang memaksanya jauh dari tempat yang penuh dengan
kehidupan seorang nelayan itu. Sejak SD, ia tinggal
di Yogyakarta bersama
Bukleknya. Bahkan ketika SMP & SMA
mondok di sebuah Ponpes di Ponorogo.
Ia hanya pulang ketika puasa menjelang idul fitri.
Pantes saja ia tidak tahu tentang petik laut ini. Bukankah petik laut tak pernah hadir di suasana idul fitri?
Dari
balik jendela kamarnya yang berada di lantai dua, ia memandang kehidupan
masyarakat yang begitu semarak menatikan kehadiran petik laut. Sesaat, Ibu
mendatanginya.
“Yuk, kita jalan-jalan keliling kampung!” ajak Ibunya.
Ia
segera mengangguk. Dan pemandangan penduduk merasa janggal dengan kehadirannya.
Wajahnya yang bersih, namun penuh dengan brewok. Ia hanya mengeluarkan senyum pada setiap orang
yang merasa aneh dengan kedatangannya.
Ibunya
terus berjalan, hingga langkah kakinya terhenti ketika seseorang ada yang
memanggilnya.
“Begini
Bu … saya ingin membahas masalah majelis taklim semalam, Bu. Tampaknya kelompok
majelis taklim ini akan istirahat untuk sementara. Karena sebagian besar dari
anggota sibuk dengan petik laut.” Urai
lelaki paruh bayah kepada ibunya.
“Oh gitu yah Pak, saya sih terserah
ibu-ibu yang lain. Kan bapak yang ngasih tausiah
dan bapaklah yang lebih pantes memutuskan. Jika saya manut-manut saja lha “ Jawab Ibu.
“Oh ya Bu … Terima kasih atas pendapat
Ibu, saya pamit dulu …. Sih Rana takut nyariin.” Kata lelaki itu
dengan nada sedikit panik seraya mengucap salam.
Pertemuan dengan lelaki itu pun berakhir. Sedikit banyak, ia mendapat cerita dari Ibunya tentang Pak Haji
Samsul beliau adalah sosok haji idaman. Pengetahuan tentang
agamanya sangat luas.
Namun sayang anaknya yang bernama Rana
dibenci masyarakat sekampung gara-gara tidak setuju akan
adanya event petik laut itu.
***
Mentari
pagi bersinar begitu terang hari ini hari libur nasional. Minggu. Tinggal tiga
hari lagi event budaya itu akan terselenggara. Petik laut, ia mulai menyusun
rencana untuk menggagalkan budaya yang kurang disukai
itu. Mungkin dengan bantuan Rana semua bisa mudah. Ia bergegas mendatangi rumah
Pak Haji Samsul dan berharap Rana ada di sana.
“Assalamualaikum.“ Katanya, mengucapkan salam sebagai orang Islam.
Ia menunggu sosok yang akan membuka
pintu ini untuk mempersilahkannya masuk, tak perlu menunggu waktu lama.
Akhirnya ada sesosok bidadari yang membuka pintu rumahnya, dia mengenakan
jilbab berwarna putih. Wajahnya terlihat bersinar mungkin karna Shalat Tahajjud
yang sering dia kerjakan. Tak salah lagi,
itu pasti Rana.
“Waalaikum
salam,
mohon maaf Mas. Ada kepentingan sama Abah yah?“ Jawab perempuan itu dengan nada
keheranan.
“Oh itu…tidak saya lagi butuh dengan
yang namanya Dik
Rana.“ Jawabnya sedikit canggung
“O, saya sendiri Mas, silakan duduk.“
Ia langsung menjelaskan pada Rana,
perihal kedatangannya kemari.
Mereka berdua mempunyai pendapat yang sama yakni sama-sama menolak akan adanya
acara petik laut itu. Mereka pun
mengatur waktu besok se-usai
kuliah jam tiga sore. Rana mengajaknya menuju Pelabuhan Panarukan. Rana akan
menjelaskan semua di sana
biar lebih enteng katanya. Karena hari ini dia ada janji dengan salah seorang
sahabatnya. Faris pun menyetujui hal itu.
***
Sore
yang dari kemarin di tunggu-tunggu
datang, namun tampaknya Faris dan Rana tak
akan berhasil untuk menggagalkan rencana petik laut ini pasalnya waktu untuk
petik laut hanya tinggal dua hari lagi. Faris
pun menelpon Rana yang kemarin memberi sebuah nomer telepon, terdengar jelas
suara halusnya.
Dari sambungan telepon tersebutlah mereka pergi ke Pelabuhan
Panarukan. Sebuah pelabuhan yang dekat dengan daerah rumah yang terletak di
daerah pesisir.
Rana pun menjelaskan tentang sejarah pelabuhan
ini dari mulai yang kecil hingga yang besar. Ia terlihat sangat fasih dan hafal sejarah
ini. Faris baru tahu bahwa jika
pelabuhan ini dulunya adalah pelabuhan internasional di masa penjajahan
Belanda.
Di tempat yang dinamakan dermaga baru Panarukan dan
ditambah cerita dari Rana, membuat kekaguman tersendiri dalam hati Faris.
Apalagi ketika melihat lalu lalang nelayang yang sibuk
hilur-mudik disamping mereka.
Rana kemudian
menjelaskan jika tujuan diadakan tradisi tersebut
karena diyakini mampu membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi nelayan yang
ditandai melimpahnya ikan (hasil laut) dan selain itu untuk mengingat sejarah
pelabuhan Panarukan yang mempunyai nilai sejarah yang digunakan
sebagai sarana untuk mengeskpor tembakau ke luar negeri.
Rasanya Faris semakin penasaran
dengan tradisi ini. Ia pun berniat
ingin ikut acara ini, namun hal tersebut
berbeda dengan Rana yang berhalangan
untuk tidak mengikuti acara tersebut. Mereka pun pulang dengan keadaan tidak ada penolakan
terhadap tradisi ini. Faris
berniat untuk mengikuti bersama Ibu
dan Ayah yang kebetulan menjadi panitia.
***
Hari
ini adalah hari yang akan menjadi sejarah bagi Rana. Ia duduk termangu di depan
kamarnya. Terbesit di hatinya ingin sekali mengikuti acara petik laut itu namun karena
kesibukannya sebagai mahasiswa membuatnya
tak bisa mengikuti acara budaya tersebut. Tiba-tiba sesosok lelaki misterius
membius tubuhnya membawanya
ke tempat yang tak bisa dijangkau oleh pikiran Rana.
Tiba-tiba Faris melihat tubuh Rana
di sebuah perahu. Ia terlihat
bingung bagaimana mungkin Rana bisa ada di perahu ini. Bukankah ia tak bisa
datang ke acara petik laut ini?
Tiba-tiba Rana terbangun. Suara Pak Haji Samsul terdengar di belakang mereka. Dan seorang pemuda mendekat diantara mereka.
Di samping itu selama sekitar satu
jam, puluhan kapal nelayan yang dihias sedemikian rupa itu berputar-putar
di laut. Selain mengangkut sanak saudara para nelayan, tidak sedikit
pula para pengunjung yang ikut naik ke kapal. Puluhan perahu
tersebut akhirnya berhenti di tengah laut untuk menggelar
ritual petik laut.
Tepat di tengah itu pula, Faris melihat kesungguhan Dandi. Ya. Nama pemuda tampan
itu utnuk meminang Rana. Entah, dari mana asalnya rasa cemburu bersarang dalam
hati Faris.
Perahu
kembali ke bibir pantai. Sedang Rana tak juga bibirnya berkata untuk menerima
atau menolak pinangan dari pemuda tampan itu.
“Mohon maaaf Dandi, aku
mengganggapmu hanya sebagai saudara. Tidak lebih, aku tidak mencintaimu. Namun
aku mencintai sosok lelaki yang juga ada satu perahu dengan kita.“ Jawab Rana
mengangetkan se-isi kapal.
“Siapa itu Rana?“
“Dia itu adalah Faris, dia berada di
belakangmu.“
Jawab Rana.
Cinta
itu sulit untuk terdefinisikan, dan kini, Faris menemukannya lewat acara budaya
yang tak disangka-sangka. []
Situbondo, November 2012
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno dan G+ (+Gusti
Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu. Bisa juga follow
FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J
Cinta Bertabur di Langit Panarukan (Dimuat di Radar Banyuwangi 28 Juni 2015)
Reviewed by Dunia Trisno
on
3:39:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment