Langkah
kaki saya ringan, perlahan melewati sebuah rumah yang masih terhitung kerabat.
“Trisno
mau kuliah di mana?”
Deg!
Sebuah suara dari seorang yang berusia di bawah Ibu saya bertanya. Dengan nada
sedikit lesu saya menjawab, “Nunggu pengumuman, Mak.”
Mak
atau Emak adalah panggilan saya kepada bibi baik kepada saudara dari Ayah atau
ibu, baik saudara kandung, ipar, bahkan tetangga. Begitu pun kepada saudara
lelaki yang berusia sepantaran Ayah saya biasa memanggil Pak.
Sampai
di rumah, segera saya membanting tas. Mencoba mengulang adegan dan kata-kata
tadi yang terlontar.
“Nunggu
pengumuman, Mak.”
Sebuah
kata yang meluncur dari bibir saya beberapa menit lalu.
Mengapa
harus kata itu yang meluncur? Penyebabnya tak lain karena memang kondisi saya
yang sedang menanti pengumuman waktu itu. Memang saya telah mendaftar di dua
perguruan tinggi negeri di Jawa Timur melalui jalur SNMPTN. Dan saya takut
untuk mengatakan kedua perguruan tinggi tersebut, apalagi lolos atau tidaknya
masih belum diketahui.
Tapi,
jika mengingat kata-kata Adik dari perempuan yang saya panggil Mak itu tadi
membuat bara di hati seakan bertambah. Apalagi, bukan cuma sekali-dua kali ia
bersikap seperti itu pada saya. Bahkan perlakuannya cenderung meremehkan. Saya
berencana mengadukan ini pada Ibu, tapi karena kondisi kesehatan beliau, saya
urung menceritakan. Maka saya memutuskan untuk cerita ke Mbak.
“Mbak,
tadi aku lewat rumahnya Mak ...., terus biasa adiknya meremehkanku. Katanya,
anak sepertiku mau jadi apa?” Ucap saya mengawali pembicaraan.
Mbak
Suwarni ---- Kakak Ketiga saya mengungkapkan, “Sudahlah, kita tidak tahu
apa yang ada di depannya, Dik. Belum tentu anaknya dia itu bisa sukses dalam
belajarnya. Karena kebanyakan anak orang kaya yang terlalu memanjakan anaknya
berakibat tidak baik terhadap tumbuh kembang sang anak. Makanya, kamu harus
bisa buktikan pada orang itu, jika perkataannya salah. Caranya ....”
Mbak
seperti sengaja menggantung pernyataannya, “Caranya benar-benar belajar,
buktikan bahwa kamu bisa.”
Ahh.
Jujur ketika bercerita pada Mbak, saya menginginkan Mbak bisa melabrak orang
tersebut. Karena menghina saya, apalagi ada embel-embel orangtua. Dan ini bukan
cuma sekali-dua kali, tapi berkali-kali. Contoh lain saja, ketika saya melewati
rumahnya dengan membawa helm, ia atau suaminya sering menanyakan, “Mana
sepedanya? Kok cuma bawa helm?”
Ahh.
Jika mengingat itu semua memang sakit. Sakit hati teramat perih, dan obatnya
juga tidak dijual bebas di apotik. Tapi, lihat-lah dari orang tersebutlah, saya
bertekad untuk memperbaiki diri. Barangkali, jika tidak mendapat hinaan atau
ejekan dari orang tersebut, saya berleha-leha dalam menuntut ilmu. [!]
Jember, 20
Maret 2015
Catatan: Ketika cerita ini ditulis,
saya telah kuliah semester empat di salah satu perguruan tinggi negeri di
Jember.
Anak Pedagang Ikan Kecil, Mau Jadi Apa?
Reviewed by Dunia Trisno
on
7:45:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment