Ia
telah tiba di suatu kamar yang tak diduga sebelumnya. Kamar tempat ia dicipta dengan
penuh nestapa. Bagaimana tidak, setelah kehilangan ayah, lalu diterpa kegalauan
panjang akibat masa lalu yang tak pantas diingat mengenai gejala oedipus yang dideritanya,
dan kemudian bertemu Dewi yang menjadi cinta pertamanya itu. Kemudian, ada
lelaki yang mengaku menciptanya dan merenggut Dewi darinya. Seolah-olah si
penulis jatuh cinta kepada tokoh yang ia ciptakan sendiri.
Tetapi,
kini si penulis telah mengubah cerita itu sendiri. Makanya, ketika ia tahu hal
itu. Ia menerobos pintu ke mana saja dan menemui penulisnya di kamar yang tak
lebih bagus dari kamar yang ia miliki.
“Terima
kasih,” Joe menyapa si penulis cerita.
Ia
tak mendapat balasan hangat. Hanya keterkejutan yang terpancar jelas di mata
lelaki itu. Bukan hanya keterkejutan, lelaki itu malah histeris membuat seisi
rumah masuk ke kamar itu.
Joe
masih di sana, saat ibu dari penulisnya itu bersama seorang lelaki yang sebaya dengan
penulisnya masuk kamar. Ibu si penulis itu merupakan perempuan berwajah teduh
yang memiliki senyum menawan sekali. Sejenak, ia teringat ibunya sendiri. Pasti
ibunya bingung mencarinya, lantaran pergi ke dunia manusia yang menciptanya.
“Kamu
siapa?” tanya perempuan berusia paruh baya itu.
Joe
mencoba memberikan senyum terbaiknya. Ia bingung harus menjawab apa, kalau ia
jujur bisa saja ibunya tak percaya atau mengalami ketakutan yang sama dengan
penulis yang menciptanya sendiri.
“Teman
anak ibu,” Aku Joe sekalipun perempuan itu tampak tak percaya.
“Balu,
ambil minyak kayu putih, Nak.”
Lelaki
yang ditunjuk ibu itu segera pergi dan membawa minyak kayu selang beberapa
menit. Perempuan ayu itu langsung mengoleskan minyak itu ke hidung si penulis. Dan
sekitar lima menit kemudian, lelaki itu bangun.
“Aku
di mana?”
Joe
mendadak ingin tertawa akan ungkapan yang begitu klise itu. Tetapi, tawanya
tertahan.
“Kamu
di kamar, Nak. Tadi histeris, kemudian ya ibu ke sini bersama Balu,” Ibu
menjelaskan, “Tetapi, yang ibu bingungkan siapa lelaki ganteng ini, Nak.”
Tunjuk ibu kemudian ke arah Joe.
“Dia
temanku, Bu.”
“Kok
masuk rumah nggak kelihatan? Padahal, ibu dan Balu sedang bercakap-cakap di
luar rumah.”
“Aku
capek ya, Bu.”
Ibu
tak lagi protes. Perempuan itu membiarkan penulis pencipta Joe itu di kamar
bersama Joe dan Balu. Kesempatan itu membuat Joe ingin bertanya-tanya.
“Mengapa
kamu membuat tokoh sepertiku?”
Penulisnya
itu tak langsung menjawab, malah temannya yang bernama Balu seperti menangkap
aroma ganjil.
“Gara-gara
ucapanmu terbukti sekarang kan. Tokoh yang kuciptakan benar-benar hadir di dunia
nyata. Dan, ia sekarang meminta pertanggungjawaban.” Jelas pencipta itu membuat
Joe ingin tertawa. Apalagi, melihat si Balu yang tampak tak percaya.
Joe
segera mengangkat suara kembali, “Aku meminta penjelasanmu mengenai asal muasal
terciptanya aku.”
Tak
ada jawaban. Lelaki itu memegang kepala yang pusing. Melihat itu, timbul rasa
kasihan dalam diri Joe. Dan semua rasa kasihan itu sejenak teralihkan ketika
mendengar suara Bunda Peri yang memanggilnya.
“Aku
harus pergi,” ucap Joe lalu menghadap ke arah cermin di kamar si penciptanya.
Ia mendekatkan tangannya ke cermin itu, kemudian ada pusaran seperti lingkaran
yang menariknya. Dan ketika membuka mata, ia telah bersama Bunda Peri dan Dewi di
taman tak jauh dari kompleks perumahannya.
“Ke mana saja kamu?” Perempuan cantik
berkacamata itu menatap Joe heran.
Joe
berusaha memberikan senyum terbaik pada perempuan kedua yang teramat dicintanya
itu. Ia menimang antara menceritakan kejadian ini atau menyimpannya sendiri.
Terlebih, selama ini tak ada satu pun yang ia tutupi.
“Joe?”
Bunda Peri kembali memanggilnya.
“Aku
jalan-jalan, Bun,”
Bunda
Peri menatapnya heran sekali lagi. Kedua alisnya merapat pertanda kebingungan
yang didera. “Sama siapa? Nggak mungkin kan, kamu sendirian?”
Ah.
Pernyataan itu benar-benar serupa skakmat bagi Joe. Bunda Peri-nya teramat
hafal, jika ia tak suka pergi sendirian. Bahkan untuk sekadar belanja di mall
saja, ia ditemani Dewi, Ibu, atau Bunda Peri sendiri. Makanya, Bunda Peri
langsung sangsi.
“Jadwalmu
hari ini juga kosong dari rangkaian tour literasi kan?”
Joe
mengangguk. Pertanyaan Bunda Peri serasa membuatnya berada di persidangan.
Sejenak Joe mengingat, apa adegan ini dibuat oleh penulisnya di luar sana dengan
tujuan ada konflik baru. Ah. Mana mungkin itu terjadi, penulisnya sendiri sedang
dalam keadaan shock ketika menjumpai Joe.
“Kok
malah ngelamun?”
“Mikirin
cerita yang akan kubuat nantinya, Bund.”
Bunda
berdeham. Kemudian, mata perempuan itu memandang ke taman perumahan yang
memiliki beraneka ragam bunga. Joe mengikuti mata itu. Ia sekilas melihat wajah
Bunda Peri membuatnya teringat sosok Ibu penulisnya yang begitu teduh. Pembedanya
hanya kacamata yang dipakai Bunda Peri. Soal fisik nyaris serupa.
“Apa
yang ingin kamu tulis?”
Joe
menatap Bunda Peri dengan penuh senyum. Yang dipandang membalas dengan
senyuman. Kemudian, Joe segera mengambil tangan Bunda Peri, mencium tangan
halus itu, dan menghirup udara yang ada di tangan.
“Entahlah,
Bund. Bunda ada saran?”
“Bunda
ikut menyaksikan dan menjadi bagian dari perjalanan kisahmu,” sahut Bunda memandang
Joe lebih dalam, “Wuiiiiih, penuh lika-liku, suka-duka, senyum dan air mata sedih
serta bahagia. Dan, kamu telah melawati itu semua, Anakku.”
Joe
terharu mendengar penuturan itu. Ia lalu mengambil tangan Bunda Peri. Dan
mencium tangan halus itu lebih dalam lagi.
“Bunda
boleh meminta sesuatu?”
Joe
mengangguk. Baginya, apa pun yang diminta perempuan peneduh hati itu tak bisa ditolak,
bahkan jika memintanya masuk sumur pun akan ia ikuti.
“Bunda
ingin kamu jadi anak yang tegar, handal, mumpuni, mandiri, tidak lebay, tidak
termehek-mehek, tidak norak, tidak aleman dan tidak gampang terpengaruh oleh
kerasnya kehidupan.” Ucap perempuan itu sambil membuang muka ke arah
bunga-bunga.
Joe
menunduk mendengarkan keinginan Bunda yang sebenarnya kaya akan makna.
Keinginan itu sebenarnya juga ada pada dirinya, tetapi sebagai tokoh dalam
cerita, ia hanya melakoni tulisan si penulis. Mau atau tidak, ia harus
menjalaninya, kecuali penulisnya bisa ancam kembali dan mengubah karakternya
sesuai keinginan Bunda Peri pastilah semuanya akan mudah.
“Maafkan
aku, Bund.”
Hanya
itu yang bisa dilontarkan Joe.
“Kamu
itu lelaki, Nak, tetapi Bunda justru kadang membuatmu menjadikan anak manja dan
super cengeng. Dan, sekarang Bunda ingin menempa kamu menjadi lelaki yang
sejati yang tangguh, mandiri, handal, tegar dan penuh percaya diri. Bisa?”
Joe
mengangguk. permintaan Bunda merupakan kewajiban yang harus ia lakukan. Dan, ia
akan mengusahakan hal itu semua.
“Bun,”
Perempuan
yang dipanggil Joe menoleh, kemudian memeluk Joe dengan perasaan basah tak
hanya di matanya, tetapi hatinya. Joe ikut terhanyut dalam suasana yang seperti
ini.
“Bunda
pergi ya,” tutup perempuan itu, lalu berdiri dari kursi taman itu.
Joe
yang masih tampak kaget langsung ikut-ikutan berdiri. Lelaki itu memegang
tangan Bunda Peri dan menahan untuk tetap di tempat ini.
“Kabari
Bunda dalam suksesmu nanti. Bunda akan selalu merindukanmu.”
Setelah
mengucap kata itu, perempuan itu benar-benar meninggalkan Joe sendirian dalam
ritmis tangisan. Untungnya, tak lama berselang sejak kepergian Bunda. Kekasih
hati Joe juga ke taman. Entah ini suatu kebetulan atau tidak, tapi bagi Joe,
kehadiran Dewi membuat sedikit bahagia timbul di hatinya.
“Bunda
memintaku untuk menemanimu saat ini. Ia juga menyatakan harapannya kepadaku.” Dewi
segera menjelaskan.
Joe
menatap perempuan itu. Sekilas senyum kembali bergelanyut di wajahnya.
***
Tahun
berganti tahun. Seperti musim yang berganti sesuai masanya. Begitupun dengan
Joe. Ia benar-benar berusaha hidup, sekalipun Bunda Peri-nya menghilang tanpa
memberitahu akan ke mana dan untuk apa.
Di
tahun kelima itu, seusai wisuda pascasarjana. Ia langsung menyunting Dewi yang
telah menggengam hatinya. Apalagi, selama menjadi penulis, ia telah mengantongi
lebih dari cukup.
Pun,
seusai menikah. Ia bersama Dewi berencana berbisnis seputar penerbitan buku,
tak jauh dari dunia yang digeluti Joe selama ini.
“Bunda
Peri belum ada kabar, Nak?” tanya Ibu sambil menunjukkan kartu undangan yang
bertuliskan nama asli Bunda Peri-nya.
Menanggapi
pertanyaan ibunya, Joe hanya menggeleng lemah. Di kepalanya, peningnya kumat.
“Apa aku harus meminta kepada penulisku ya untuk mempertemukan dengan Bunda?”
tanya Joe sambil memijat kepalanya sendiri.
“Maksud
kamu?”
Joe
meringis. Membuat salah tingkah seketika.
“Tidak,
Bu. Tadi aku banyak pikiran. Selain mikirin naskah yang harus segera selesai,
kan harus mempersiapkan pernikahan, dan ditambah dengan Bunda Peri yang tak
bisa dihubungi. Makanya, jadi ngelantur deh.” Joe langsung beralibi.
Si
ibu tak kembali bertanya. Keduanya kembali berfokus ke pekerjaan masing-masing.
***
Hari
yang ditunggu telah tiba. Joe bersama Dewi menjadi raja dan ratu dalam sehari
semalam. Joe tampak gagah memakai jas berwarna hitam, sedang Dewi memakai
kemeja putih yang dimodifikasi menjadi sebuah gaun yang anggun.
Keduanya
tampak begitu sempurna dan bahagia. Para undangan yang hadir juga merasakan aura
tersebut. Maka, sambil menjamu penonton, keduanya selalu memberikan senyum
terbaik.
Sungguh,
dalam momen-momen seperti ini. Joe berharap Bunda Peri hadir.
Dan,
keinginan itu terjawab. Ketika ia melihat perempuan berwajah teduh itu menggandeng
seorang remaja seusainya. Yang tak lain penulisnya sendiri. Sungguh, Joe
bahagia sekali. Dan, ia berharap cerita yang ditulis penulisnya tentangnya mendapatkan
ending yang bahagia. Bukan sedih, apalagi menggantung tak pasti.
Hanya
itu harapannya. Bukankah itu sederhana bagi dan mudah diwujudkan oleh seorang penulis?
26
Juli 2018 16:47
Cerita yang Mengubah Segalanya (Dimuat di Berita Pagi, Edisi 15 September 2018)
Reviewed by Dunia Trisno
on
12:00:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment