Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel "Temui Aku di Surga" Karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penciptaan karya sastra
khususnya novel bertujuan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa
melupakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah
hidup.
Bertolak dari pendapat tersebut, karya sastra dapat
dipahami dari aspek-aspek kejiwaan. Untuk memahami aspek-aspek kejiwaan,
dibutuhkan pengetahuan tentang psikologi, karena psikologi mengandung makna
ilmu pengetahuan teantang jiwa atau ilmu.
Dimensi kejiwaan dalam karya sastra bisa dilihat dari para
tokoh rekaan yang menampilkan berbagai watak dan perilaku yang terkait dengan
kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik-konflik sebagaimana dialami
oleh manusia di dalam kehidupan nyata. Minderop (2013:1) mengemukakan masalah-masalah
kejiwaan dalam karya sastra yang dialami para tokoh dapat berupa konflik,
kelainan perilaku, dan bahkan kondisi psikologis yang lebih parah, sehingga
mengakibatkan kesulitan dan tragedi. Faktor penyebab kondisi psikologis para
tokoh dan juga akibat tragedi yang dialami tokoh inilah yang mendorong para
pakar psikologi dan sastra untuk menggali keterkaitan antara karya sastra dan
ilmu psikologi.
Hardjana
dalam Nurjana berpendapat bahwa karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu
menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga
menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara
fiksi. Berdasar kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup
dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Maka penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra
merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi
psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra
dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia
yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan
dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan megenaihidup dan
kehidupan
Sigmund Freud
mengenalkan konsep psikonalalisis yang bukan merupakan keseluruhan dari ilmu
jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dari ilmu jiwa. Dalam hal ini Freud
berbicara psikonalisis sebagai suatu teori mengenai kepribadian.
Karya sastra memberikan
pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman
tokoh-tokohnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam
kaitannya dengan psikis. Tujuan analisis adalah unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh yang terkandung dalam karya sastra. Hal tersebutlah yang mendorong
pemilihan novel “Temui Aku” di Surga karya Ella Sofa.
Pemilihan novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa ini
didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, keunikan tema dalam
novel ini yang mengisahkan tentang sistem politik tingkat bawah di Indonesia
yakni politik di desa. Kedua, novel “Temui Aku di Surga” ini mengungkapkan
konflik batin tokoh-tokohnya, terutama tegangan-tegangan yang selalu muncul
dalam batin tokoh utamanya.
Novel
“Temui Aku di Surga” mengisahkan tentang
persahabatan Yudho dan Malik. Di mana jalinan persahabatan mereka begitu kuat
seperti saudara. Sayangnya, maut memisahkan keduanya. Malik meninggal dunia.
Tapi, hidup harus terus berjalan. Setelah Malik wafat, orang tua Malik
menyarankan Yudho menjadi calon petinggi. Masalah kian runyam bertambah.
Ternyata, di balik pencalonannya Yudho mengalami banyak hambatan. Bahkan, tak
disangka lawan politiknya Pak Thamrin menggunakan dukun pintar dan sakti
mandraguna. Tak sampai di situ, Pak Thamrin juga menyuruh kelompok abangan agar masyarakat ditekan supaya
memilihnya.
Selain berkisah tentang kisah persahabatan ini juga
menceritakan suasana politik di Indonesia di tingkat paling bawah. Di mana
telah menjadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi pemenang (penguasa) segala hal
dihalalkan. Mulai dari money politic
sampai hal-hal lainnya. Selain itu, novel ini juga mencerminkan sebuah fenomena
sosial di Indonesia yang begitu percaya akan kekuatan dukun.
Adapun yang menarik untuk diteliti dari novel ”Temui Aku di Surga” ialah
konflik batin yang dialami tokoh “Yudho” sebagai tokoh utama yang berusaha meneruskan mimpi sahabatnya untuk menjadi petinggi.
konflik batin yang dialami tokoh “Yudho” sebagai tokoh utama yang berusaha meneruskan mimpi sahabatnya untuk menjadi petinggi.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, masalah yang
berkaitan dengan kejiwaan tokoh utama dalam novel “Temui Aku di Surga”,
tentunya tidak bisa dilepaskan dari konteks psikonalisis itu sendiri.
Berdasarkan alasan itulah, diperlukan pembahasan tentang “Konflik Batin Tokoh
Utama dalam Novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanlisis
Freud.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
struktur novel “Temui Aku di Surga”?
2. Bagaimanakah
konflik batin tokoh utama?
3. Bagaimanakah
solusi yang dipakai tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya?
4. Bagaimanakah
kepribadian tokoh utama?
1.3 Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan pada
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengungkapkan struktur novel “Temui Aku
di Surga”.
2.
Mengungkapkan konflik batin tokoh utama.
3.
Mengungkapkan solusi yang dipakai tokoh
utama untuk mengatasi konflik batinnya.
4.
Mengungkapkan kepribadian tokoh utama.
1.4 Manfaat Pembahasan
1. Bagi Pemakalah dan
Pembaca
a.
Untuk mengetahui
struktur novel “Temui Aku di Surga”.
b.
Untuk mengetahui
tentang konflik-konflik batin tokoh “Yudho”.
c.
Untuk mengetahui
solusi-solusi apa yang digunakan oleh tokoh “Yudho” dalam mengatasi konflik
batinnya.
d.
Untuk mengetahui
kepribadian tokoh “Yudho”.
2. Bagi Dosen Pengampu
Makalah
ini bisa dijadikan bahan acuan pemberian nilai matakuliah Psikologi Sastra.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.
1 Landasan Teori
Pembahasan terhadap
novel “Temui Aku di Surga” menggunakan teori psikoanalisis Freud. Akan tetapi,
sebelum dilakukan analisis psikoanalisis, terlebih dahulu dilakukan analisis
struktur untuk menangkap makna instrinsik novel “Temui Aku di Surga”. Fokus
pembahasan dalam novel ini adalah konflik batin tokoh utama, oleh karena itu
analisis struktur diarahkan pada analisis plot, tokoh, latar, dan tema. Setelah
analisis struktur dilanjutkan analisis masalah yang adap pada unsur-unsur
eseteik novel “Temui Aku di Surga” yakni konflik batin tokoh utama dengan
menggunakan teori psikoanalisis Freud.
2.2
Teori Struktur Novel
Stanton
dalam Windiyarti mengemukakan karya fiksi (novel) adalah fakta, tema, dan
sarana sastra. Fakta (facts) dalam
sebuah cerita rekaan meliputi alur (plot), latar, tokoh, dan penokohan. Fakta
cerita merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya
dan eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering juga
disebut struktur faktual (factural
structure) atau derajat faktual (factual
level). Tema sama dengan ide sentral (central
idea) dan maksud sentral (central
purpose). Dengan demikian, tema sebagai dasar cerita atau gagasan dasar
umum sebuah karya sastra (novel). Dasar (utama) cerita sekaligus tujuan (utama)
cerita. Sarana sastra (literary devices) adalah
teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita
menjadi pola yang bermakna.
2.2.1
Plot dan Pemplotan
Stanton
dalam (Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yagn satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
yang lain.
Secara
umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian awal, tengah,
dan akhir. Nurgiyantoro (2000: 153—163) didasarkan pada tinjauan dari kriteria
urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Pada kriteria urutan waktu, terdapat dua
kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Kategori kronologis adalah
plot lurus, maju, atau dinamakan progresif. Kategori tak kronologis meliputi
plot sorot-balik, mundur, flash back, atau disebut dengan regresif. Ada
juga penggabungan kedua alur itu yang disebut sebagai alur campuran.
Berdasarkan
kriteria jumlahnya, plot terdiri atas plot tunggal dan plot bawahan. Ada novel
yang hanya menampilkan sebuah alur (plot tunggal), tetapi ada juga yang
mengandung lebih dari satu alur yang disebut dengan subplot.
Jika
hanya menampilkan plot tunggal, fiksi tersebut hanya menggambarkan sebuah
cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai “pahlawan”.
Jika, memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau lebih dari
satu tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya, permasalahannya, dan konflik
yang dihadapinya, plot seperti ini dinamakan sub-plot. Sub-plot hanya merupakan
bagian dari alur utama yang merupakan satu kesatuan yang padu.
2.2.2
Latar
Latar
atau setting merupakan landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sisuak tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro,
2000: 216).
Nurgiantoro
(2000: 227) mengemukakan jika terdapat tiga unsur latar, yaitu tempat, waktu,
dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a. Latar
Tempat
Latar tempat
menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, insial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
b. Latar
Waktu
Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar
Sosial
Latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi.
2.2.3
Tokoh dan Penokohan
Tokoh
memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan
peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Menurut Nurgiantoro (2000:165)
istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan, penokohan
menunjuk pada watak-watak tokoh dalam suatu cerita atau bisa juga disebut
sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
Nurgiyantoro
(2000: 176—194) membedakan tokoh berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan,
tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh
statis dan tokoh berkembang, serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Penamaan
yang dilakukan oleh Nurgiyantoro cenderung bersifat sejajar.
2.2.4
Tema
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umu sebuah
karya sastra (Nurgiantoro, 200: 70). Nurgiantoro (2000: 77) menggolongkan tema
ke dalam beberapa kategori berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan
dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat
dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan tingkat
keutamannya.
Pada pembahasan makalah ini akan digunakan tema
menurut tingkat keutamannya yakni tema utama dan tema tambahan.
2.3
Teori Psikoanalisis
Teori Freud merupakan
teori psikologi yang paling banyak menjadi acuan dalam analisis karya sastra.
Teori psikoanalisis sendiri menjadi teori yang paling komprehensif di antara
teori-teori kepribadian lainnya, namun juga mendapat tanggapan paling banyak,
baik tanggapan positif maupun negatif. Peran penting ketidaksadaran beserta
insting-insting seks dan agresi dalam mengatur tingkah laku, menjadi karya atau
temuan monumental Freud. Sistematika Freud dalam mendiskripsikan kepribadian
menjadi tiga pokok bahasan yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian,
dan perkembangan kepribadian, banyak dikuti oleh para pakar. Tokoh
psikoanalisis yang mengikuti sistematika Freud dalam mendiskripsikan
kepribadian antara lain Jung dan Adler. Jung mendskripsikan kepribadian menjadi
tiga pokok bahasan yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan
perkembangan kepribadian, sedang Adler mendeskripsikan kepribadian dengan
struktur kepribadian. Pengingkut Freud yang kemudian meninggalkannya karena
adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan mengembangkan pendapatnya sendiri adalah
Jung dan Adler. (Windayarti, 2005: 33-34)
Windyarti mengemukakan
perbedaan pandangan antara Freud, Jung, dan Adler pada dasarnya adalah
perbedaan pandangan tentang kodrat inheren yang mengakibatkan perbedaan pengertian
terhadap pembentukan kepribadian. Meskipun pandangan tentang pembentukan
kepribadian antara Freud, Jung, dan Adler memiliki perbedaan-perbedaan tetapi
pada satu sedi ketiga-tiganya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bersifat
biologis dan membicarakan unsur sadar dan tak sadar dalam struktur
kerpribadian. Perbedaan-perbedaan itu tampak pada penekanannya, Freud
menekankan seks, Jung menekankan pola-pola pemikiran primodial, dan Adler
menekankan minat sosial.
Gagasan-gagasan Freud
tentang perkembangan kepribadian, mengasumsikan bahwa dorongan utama dalam diri
manusia adalah energi seksual; energi seksual mengalamai perubahan mulai dari
lahir hingga menuju masa puber dalam kehidupan masing-masing individul. Freud
berpendapat bahwa dorongan seksual manusia merupakan motivasi paling kuat untuk
melakukan tindakan. Tingkah laku manusia didorong oleh insting-insting (seks
dan agresi) yang dibawa sejak lahir.
Manusia termotivasi
oleh kontradiksi; kontradiksi antara usahanya untuk memperoleh kesenangan
seksual, untuk mempertahankan hidup, dan untuk menguasi lingkungannya. Oleh
karena itu, manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik
satu sama lain, tidak hanya didorong untuk memperoleh kesenangan seksual saja.
Windayarti (2005: 38)
mengemukakan konsep Freud tentang individu sangat luas dan mendalam. Teorinya
berusaha menggambarkan individu-individu sepenuhnya yang hidup sebagian dalam
dunia kenyataan dan sebagian lagi dalam dunia khayalan, yang dikelilingi oleh
konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan batin, namun mampu berpikir
secara rasional, digerakkan oleh daya-daya yang kurang mereka kenal dan oleh
aspirasi-aspirasi yang tidak terjangkau, yang secara silih berganti mengalami
kebingungan dan pencerahan, frustasi dan kepuasaan, keputusasaan dan
pengharapan, egoisme dan altuisme. Gambaran individu seperti itu merupakan
gambaran manusia pada saat itu, manusia moderen dengan berbagai persoalan di
mana manusia pada saat itu, manusia moderen dengan berbagai persoalan di mana
manusia harus mengikuti perkembangan zaman, mengikuti tuntutan-tuntutan
masyarakat sehingga manusia harus kehilangan kebebasannya, kebebasan yang
hakiki.
2.
4 Teori Kepribadian Psikoanalisis-Sigmund Freud
Minderop
(2013: 11) mengemukakan psikoanlisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar
tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi
dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang
memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
Menurut
Minderop (2013: 11) psikoanalisis ditemukan oleh Freud sekitar tahun 1980-an.
Teori-teori Freud dianggap memberikan priortias pada masalah seksual.
Windayarti (2005: 38)
mengemukakan tahun 1890, Freud memulai suatu analisis diri senidiri tentang
tenaga-tenaga tak sadarnya untuk membandingkan bahan dari pasiennya. Hal ini
dilakukan dengan cara menganalisis mimpinya sendiri, ia dapat melihat bagaimana
rohaninya sendiri bekerja. Atas dasar pengetahuan dari pasien-pasiennya dan
driinya sendiri ia mulai meletakkan dasar-dasar bagi suatu teori kepribadian.
Tahun 1900, Freud kemudian menerbitkan buku The
Intepretation of Dreams yang dianggap sebagai salah satu karya besar dalam
zaman modern, sifatnya lebih daripada sebuah buku tentang mimpi saja. Buku itu
merupakan buku tentang dinamika jiwa manusia, berisi teori Freud tentang jiwa,
terutama mengenai proses primer dan proses sekunder, dan represi serta tak sadar
sebagai realitas. Freud meneruskan menyelidiki jiwa manusia dengan
mempergunakan metode psikoanalisis.
Menurut Hall (dalam
Windayarti, 2005: 39) pada waktu ilmu jiwa dalam abad kesimbilan belas sedang
sibuk dengan pekerjaanya menganalisis jiwa sadar, psikoanalisis sedang
mengadakan penjelajahan dari jiwa tak sadar. Freud merasa bahwa alam sadar
hanyalah suatu irisan yang tipis dari keseluruhan jiwa sebagai halnya dengan
sebuah gunung es, bagian yang terbesar terletak di bawah dasar kesadaran.
Alam taksadar merupakan
lingkaran lebih besar yang meliputi lingkaran-lingkaran kecil kesadaran; segala
sesuatu yang sadar pada awalnya berada terlebih dahulu pada kondisi tidak
sadar. Sebaliknya, alam taksadar mampu berhenti pada kondisi ini dan mengklaim
dirinya untuk dipandang sudah memiliki fungsi psikis lengkap. (Windayarti,
2005: 39)
Pertentangan para ahli
jiwa dengan Freud tidak mencapai putusan terakhir, karena baik ilmu jiwa maupun
psikoanlisis mengubah tujuannya selama abad kedua puluh. Ilmu jiwa menjadi ilmu
pengetahuan tentang tingkah laku, sedangkan psikoanalisis menjadi ilmu tentang
kepribadian. Antara tahun 1890 dan 1920, ketika jiwa taksadar berkuasa sebagai
konsep tertinggi dalam sistem ilmu jiwanya, Freud berusaha untuk menemukan
kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam kepribadian yang tidak langsung dapat
diketahui oleh peninjau. Bagi Freud, tugas ilmu jiwa adalah untuk mencari
faktor-faktor dalam kepribadian yang tidak kita ketahui. Inilah arti keterangan
Freud, bahwa pekerjaan ilmiah dalam ilmu jiwa terdiri usaha mengubah
proses-proses taksadar menjadi proses-proses yang sadar. (Windayarti, 2005: 39)
Menurut Freud dalam
Windayarti, taksadar dan kesadaran merupakan dua lokalitas dalam alat
kelengkapan psikis (pandangan-pandangan yang telah meninggalkan endapan dalam
proses represi dan penetrasi). Sehingga, ketika kita berkata bahwa suatu
pikiran taksadar berusaha keras menerjemahkan sesuatu ke dalam alam prasadar,
kemudian dimasukkan ke dalam alam kesadaran, kita tidak sadar bahwa pikiran
kedua harus dibentuk dalam lokalitas baru.
Hal ini menjelaskan
jika untuk mengubah proses-proses taksadar menjadi proses-proses yang sadar,
terjadi proses di bawah kesadaran yaitu proses prasadar. Hubungan antara
prasadar dan taksadar terhadap kesadaran adalah dapat dikatan prasadar seperti
kain kasa penyating di antara sistem tak sadar dan kesadaran.
Dengan demikian, akal
pikiran manusia dapat dibagi atas bagian yaitu alam sadar (conscious), dan alam taksadar (unvonscius).
Alam tak sadar dibedakan atas alam prasadar (preconsious)
dan alam tak sadar (unconscius).
Freud dalam Windayarti
membedakan tiga struktur atau “instansi” dalam hidup psikis: “yang taksadar”,
“yang prasar”, dan “yang sadar”. “Yang taksadar” atau ketidaksadaran meliputi
apa yang terkena represi. “yang prasar” meliputi apa yang dilupakan, tetapi
dapat diingat kembali tanpa perantaraan psikoanalisis. “Yang prasadar”
membentuk sistem dengan “yang sadar” atau kesadaran. “Yang prasadar” bersama
kesadaran merupakan ego.
Aspek taksadar
menguasai sebagian besar ruang akal pikiran manusia. Oleh karena itu, unsur
tidak sadar seabgai suaut unsur mental adalah sebagai pusat konsep teori Freud
tentang kepribadian manusia. Kemudian,
kira-kira tahun 1920, Freud merumuskan kembali konsep teori ini. Ia
mengemukakan bahwa struktur kepribadian manusia mengandung tiga komponen yang
disebut id (tidak sadar), ego (tidak sadar, prasadar, sadar), dan superego
(tidak sadar, prasadar, sadar). Ketiga unsur ini membentuk struktur mental yang
mendasari teori psikoanalisis Freud.
Struktur kepribadian
dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
Berdasar uraian tentang
konsep-konsep teori psikoanalisis Freud, pemakalah membatasi diri pada
soal-soal yang berkenaan dengan teori Freud tentang kepribadian. Freud
mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok bahasan, yaitu struktur
kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.
2.5
Dinamika Kepribadian
Minderop
(2013: 23) mengemukakan bahwa Freud memandang manusia sebagai suatu sistem
energi yang rumit karena pengaruh filsafat determinsitik dan postivistik yang
marak di abad ke-19. Menurut pendapatnya, energi manusia dapat dibedakan dari
penggunaanya, yaitu aktivitas fisik disebut energi fisik, dan aktivitas psikis
disebut energi psikis. Berdasarkan teori ini, Freud mengatakan, energi fisik
dapat diubah menjadi energi psikis. Id dengan naluri-nalurinya merupakan media
atau jembatan dari energi fisik dengan kepribadian.
1.
Naluri
Freud
menggunakan alam bawah sadar untuk menerangkan pola-pola tingkah laku manusia
serta penyimpangan-penyimpangannya. Tesis Freud pertama ialah bahwa alam sadar
merupakan subsistem dinamis dalam jiwa manusia yang mengandung
dorongan-dorongan naluri seksual yang berkaitan dengan gambaran-gambaran
tertentu di masa lalu (usia dini). Dorongan-dorongan itu menuntut pemenuhan,
namun adanya budaya dan pendidikan (tuntutan norma kehidupan sosial) dorongan
tersebut ditekan dan dipadamkan. Akan tetapi, dalam bentuk tersamar
dorongan-dorongan itu tepenuhi melalui suatu pemuasaan semu atau khayalan
(fantasi).
Demikianlah
impian ditafsirkan sebagai pemenuhan keinginan-keinginan yang tidak disadari.
Keinginan yang terpendam itu tidak dapat menampilkan diri dalam bentuk yang
sesungguhnya, lalu mengalami pengaruh beberapa mekanisme yang menyelimuti
kenyataan, misalnya kondensasi (beberapa lambang terlebut dalam satu lambang)
dan penggesaran (arti yang sebenarnya hampir lenyap oleh bayangan sebuah
gambaran yang berbeda atau tidak ada relevasinnya). Dengan demikian, isi impian
yang dialami dapat diterima oleh kesadaran. Hal yang menarik kedua mekanisme
ini mirip dengan fungsi metafora dan metonimi dalam teks satra. Menurut Freud,
teks sastra memang membuka kemungkinan yang mengungkapkan keinginan terpendam
dengan cara yang dapat diterima oleh kesadaran. Pendapat ini mengisyaratkan
bahwa penelitian psikologi sastra sedapat mungkin mengungkapkan jiwa yang
terpendam itu (Endawara dalam Minderop, 2013:24).
Menurut
Freud dalam Minderop kekuatan id mengungkapan tujuan hakiki kehidupan organisme
individu. Hal ini tercakup pemenuhan kepuasan. Id tidak mampu mewujudnyatakan
tujuan mempertahankan kehidupan atau melindungi kondisi dari bahaya. Ini
menjadi tugas ego, termasuk mencari cara memenuhi kebutuhan dan kepuasan.
Superego mengendalikan keinginan-keingan tersebut.
Naluri
atau instink merupakan representasi
psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul
suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan
(tension reduction), cirinya regresif dan bersifat konservatif (berupaya
memelihra keseimbangan) dengan memperbaiki keadaan kekurangan. Proses naluri
berulang-ulang (tenang, tegang dan tenang).
Menurut
Freud dalam Minderop (2013: 26), naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa
dibedakan dalam: eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan destructive instinct atau naluri kematian (death instinct-Thanotos). Naluri
kehidupan adalah nalluri yang ditunjukan pada pemeliharaan ego.
Freud menyakini bahwa perilaku
manusia dilandasi oleh dua energi mendasar yaitu, pertama, naluri kehidupan (life instincts-Eros) yang
dimanifetasikan dalam perilaku seksual, menunjang kehidupan serta pertumbuhan.
Kedua, naluri kematian (death instincts-Thanatos) yang mendasari
tindakan agresif dan destruktif. Kedua naluri ini, walaupun berada di alam
bawah sadar menjadi kekuatan motivasi. Hilgard dalam Minderop mengemukakan
naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri
atau bersikap agresif terhadap orang lain. (Minderop, 2013: 27)
2.
Kecemasan (Anxitas)
Hilgard dalam Minderop (2013: 27) mengemukakan anxitas
merupakan situasi apapun yang mengancam kenyamana suatu organisme.
Freud dalam Windayarti (2005: 31) membedakan tiga
macam kecemasan, yakni kecemasan tentang kenyataan atau kecemasan objektif,
kecemasan neurotis, dan kecemasan moril. Perbedaan ketiga bentuk kecemasan itu
adalah sumbernya. Kecemasan tentang kenyataan bersumber dari bahaya itu
terletak dalam dunia luar, kecemasan neurotis, ancaman itu terletak dalam
pemilihan objek secara naluriah dari id;
dan kecemasan moril, bersumber dari hati nurani dari sistem superego.
2
.6 Perkembangan Kepribadian
Menurut Hall dan Lindzey dalam
Windayarti (2005: 55) kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat
sumber tegangan pokok yakni: (1) proses-proses pertumbuhan fisiologis; (2)
frustasi-frustasi; (3) konflik-konflik; dan (4) ancaman-ancaman sebagai akibat
dari meningkatnya tegangan-tegangan yang ditimbulkan oleh sumber-sumber ini,
sang pribadi terpaksa mempelajari cara-cara baru mereduksi tegangan. Proses belajar
inilah yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian.
Ada beberapa cara untuk
mencoba memecahkan kegagalan, pertentangan-pertentangan, dan
kecemasan-kecemasan yaitu represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan,
rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, agresi dan apatis, serta fantasi dan
stereotype.
1. Represi
(Repression)
Menurut Freud
dalam Minderop (2013: 32) represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme
pertahanan ego. Tugas represi ialah mendorong keluar impuls-impuls id yang tak
diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Tujuan dari semua
mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan (repress) atau mendorong
impuls-impils yang mengancam agar keluar dari alam sadar.
2. Sublimasi
Sublimasi
terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan
perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan.
Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinffi, lalu ia
mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara
sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana.
(Minderop, 2013: 34)
3. Proyeksi
Proyeksi adalah mekanisme yang tidak disadari yang
melindungi kita dari pengakuan terhadap kondisi. Contoh, kita semua kerap
menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat kita
terima dengan melimpahkannya dengan alasan lain. Misalnya, kita harus bersikap
kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap ini
tidak pantas kita lakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan
bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita lakukan agar kita
tampak lebih baik. (Minderop, 2013: 34)
4. Pengalihan
(Displacement)
Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang
terhadap suatu objek ke objek lainnya yang memungkinkan. Misal, adanya
impuls-impuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap
orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber
frustasi namun lebih aman dijadikan sasaran. (Minderop, 2013: 35)
5. Rasionalisasi
(Rationalization)
Hilgard dalam (Minderop, 2013: 35) mengungkapkan
rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika
kita gagal mencapai suatu tujuan; dan kedua, memberikan kita motif yang dapat
diterima atas perilaku.
Contoh-contoh rasionalisasi: Pertama, rasa suka atau tidak suka sebagai alasan: seorang gadis
yang tidak diundang ke sebuah pesta, berkata bahwa ia tidak akan pergi walau
diundang karena ada beberapa orang yang tidak disukainya yang hadir di pesta
tersebut. Kedua, menyalahkan orang
lain atau lingkungan sebagai alasan: seseorang yang terlambat karena tertidur
akan menyalahkan orang lain yang tidak membangunkannya; atau mengatakan
kelelaha karena terlalu sibuk sehingga terlelap. Seharusnya ia dapat bangun
dengan memasang waker sebelumnya. Ketiga, kepentingan sebagai alasan: seseorang
membeli model baru dengan alasan yang lama membutuhkan banyak biaya reparasi.
Rasionalisasi terjadi bila motif nyata dari perilaku
individu tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oelah
semacam motif pengganti dengan tujuan pembenaran. Contohnya, seorang siswa yang
sedang belajar keras menghadapi ujian esok hari, tiba-tiba dihubungi temannya
untuk sebuah pesta yang dihadiri oleh gadis yang dicintai si siswa tersebut. Berdasar hal ini motif nyata si
siswa tersebut adalah harus pergi ke pesta, bersenang-senang dan bertemu dengan
orang gadis pujaannya. Namun, suara hatinya mengatakan kalau alasan dmeikian,
seharusnya ia tetap tinggal di rumah dan belajar. Selanjutnya, ego siswa
tersebut mengatakan bahwa ia harus mencari motif pengganti, yaitu: selama ini
ia terlalu rajin belajar, ia perlu sedikit rekreasi agar dapat menghasilkan
nilai bagus dalam ujian. Rasionalisasi ini lebih dapat diterima daripada alasan
ke pesta hanya untuk bersenang-senang dengan sang gadis.
6. Reaksi
Formasi (Reaction Formasi)
Reaksi formasi
merupakan reaksi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan
yang berlawanan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan. Misalnya,
seseorang bisa enjadi syuhada yang fanatik melawan kejahatan karena adanya
perasaan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dosa. (Minderop, 2013: 37)
7. Regresi
Hilgard dalam
Minderop (2013: 38) membagi regresi menjadi dua interprestasi. Pertama, regresi
yang disebut retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak
kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang
lain. Kedua regresi yang disebut primitivation ketika seorang dewasa bersikap
sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak
sungkan-sungkan berkelahi.
8. Agresi
dan Apatis
Perasaan marah
terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahaan yang dapat menjurus pada
pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentu k langsung dan pengalihan (direct aggression dan displaced aggression). Agresi langsung
adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang
merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam
bentuk verbal ketimbang fisikal-si korban yang terseinggung biasanya akan
merespon. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun
tidak dapat mengungakpakan secara puas kepada suber frustasi tersebut karena
tidak jelas atau tersentu. Penyerangan kadang-kadang tertuju kepada orang yang
tidak bersalah atau mencari kambing hitam. Sedangkan, apatasis adalah bentuk
lain dari reaksi terhadap frustasi,
yaitu sikap apatis (apathy) dengan
cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah. (Minderop, 2013: 38)
9. Fantasi
dan Stereotype
Fantasi
merupakan pelarian atas masalah yang demikian bertumpuk dengan mencari solusi
masuk ke dalam dunia khayal. Contoh para serdadu perang yang kerap menempelkan
gambar-gambar pin-up girls di barak mereka yang melambangakan gantasi kehidupan
tetap berlangsung pada saat kehidupan seksualnya terganggu. Sterotype adalah
konsekuensi lain dari frustasi, yaitu perilaku sterotype---memperlihatkan
perilaku pengulangan-pengulan terus-menerus. Individu selalu mengulangi
perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh. Hilgard dalam (Minderop, 2013:
39).
BAB III.
PEMBAHASAN
Pada bab III pembahasan akan dibahas unsur intrinsik
novel “Temui Aku di Surga” meliputi unsur latar dan
pelataran, tokoh dan penokohan, serta plot dan pemplotan. Berdasarkan
pengamatan terhadap novel ini, keempat unsur tersebutlah yang paling kuat dan
paling berpengaruh dalam keseluruhan isi novel.
Selain itu, akan
terdapat pembahasan mengenai aspek-aspek kejiwaan tokoh utama, yaitu
konflik-konflik batin dan solusi untuk menghadapi atau mengatasi konflik
batinnya. Untuk menganalisis konflik-konflik batin dan cara-cara mengatasi yang
dilakukan tokoh utama pembahasan gunakan prinsip-prinsip id, ego, superego, dan
mekanisme pertahanan dan konflik. Adapun yang menjadi pembahasan analisis
adalah tokoh “Yudho”. Namun, tidak menutup kemungkinan analisis terhadap
tokoh-tokoh penting lainnya, seperti Malik, Hesti, Solikin, dan Pak Thamrin.
3. 1 Struktur Novel “Temui Aku di
Surga”
3.1.1
Latar
Menurut Nurgiantoro latar memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana terterntu yang seolah-olah
sungguh ada dan terjadi.
Selain itu, latar juga akan membuat
pembaca mendapatkan informasi baru yang
berguna dan menambah pengalaman hidup.
Hal ini dikarenakan, penginformasian tentang latar tertentu melalui
sarana cerita-fiksi adakalanya lebih efektif daripada sarana informasi yang
lain. Oleh karena itu, latar dalam fiksi langsung dalam kaitannya dengan sikap,
pandangan, dan perlakuan tokoh, sedang tokoh itu sendiri diidentifikasi oleh
pembaca.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
1.
Latar Tempat
Latar tempat
menayaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, insial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Penggunaan latar
tempat dalam novel “Temui Aku di Surga” menggunakan unsur tempat berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu. Adapun latar tempatnya di gambarkan pada
kutipan berikut:
a. Jepara
Malik menghentikan sepeda motor tepat di
depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu
adalah perkumpulan anak muda yang cukup punya nama di Jepara. (Temui Aku di
Surga: 1)
Dua Minggu sejak masuk di RS. RA.
Kartini, Malik sudah kembali di rumah. (Temui Aku di Surga:7)
Desa itu sebagian permukaan tanahnya
masih terselimuti oleh permadani hijau tumbuhan padi yang bersanding dengan
gemericik aliran sungai irigasi. Tiap paginya masih disemarakkan oleh koloni
burung-burung kecil yang terbang serta hinggap silih berganti. Lokasi desa itu
jauh dari keramaian kota, serta masih sering kali dituju oleh jiwa-jiwa perindu
sejuknya embun dan udara bersih di pagi hari. Nama desa itu Randuasri. Terletak
di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
(Temui Aku di Surga: 11)
Yudho terkesiap mendengar suara nyaring
dan bening itu. Ia mencari sumber suara
di antara banyaknya manusia yang lalu-lalang di halaman depan kampus STIENU
Jepara.
(Temui Aku di Surga: 269)
Pada empat kutipan di atas menunjukkan
jika latar tempat novel Tersesat di Surga adalah Jepara. Hal ini dikarenakan,
Jepara merupakan latar yang paling dominan dalam novel. Seperti kutipan pertama
yang menjelaskan Geng Topanx yang cukup memiliki nama di Jepara, lalu RS. RA.
Kutipan kedua dan keempat menunjukkan suatu lokasi atau tempat yang terdapat di
Jepara yakni RS. RA Kartini dan kampus STIENU. Sementara, kutipan ketiga yang menjelaskan situasi desa yang masih asri
bernama Randuasri, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
b. Pesantren
Tremas atau Attarmasy di Pacitan
“Hampir
tiga tahun ini Malik tinggal dan menjalani kehidupan yang tenang di Pesantren
Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan.” (Tersesat di Surga: 29)
“Lalu,
anaknya Bapak di mana sekarang, Pak?”
“Oh
... ia sedang belajar di pesantren. Di sana lho, Pacitan.” (Temui Aku di Surga:
24)
Pondok
Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan menjadi latar tempat di
beberapa bab awal novel “Temui Aku di Surga” seperti yang terdapat pada kedua
data kutipan di atas. Di mana, data pertama menunjukkan waktu hampir tiga tahun
Malik dan menjalani kehidupan di pondok pesantren tersebut. Adanya kutipan
kedua yang berisi dialog tokoh Yudho dan Pak Rohmadi mempertegas adanya latar
pondok pesantren itu.
c. Surabaya
“Whoooi!
Iya, maaf aku belum ngasih kabar. Maaf Bos, ndak masuk beberapa hari deh
kayaknya. Aku ke Surabaya....!” Malik segera memberi kabar. (Temui Aku di
Surga: 118)
Pada kutipan di atas menjelaskan tentang
keberadaan Malik yang sedang menuju Surabaya. Latar Surabaya kemudian
dipertegas pada kutipan berikut:
“Empat
hari tinggal di Griya Kebonagung, rumah kakaknya, dirasa cukup bagi Malik untuk
membasuh kekalutan dalam pikran da harinya.” (“Temui Aku di Surga”: 123)
d. Kudus
“Sementara
itu di pondok pesantren Arwaniyah, Kudus. Hesti telah aktif menghafal kembali. Ia
telah melewati masa-masa terberat!”
(Temui
Aku di Surga: 201)
Kutipan
di atas menjelaskan keberadan Hesti di pondoknya yang bernama pondok pesantren
Arwaniyah di daerah Kudus, dalam novel ini Hesti digambarkan sebagai seorang
hafidzah (penghafal Al-Quran bagi perempuan).
2.
Latar Waktu
Latar
waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah
waktu dalam novel “Temui Aku di Surga” menunjuk pada waktu dan urutan waktu
yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat
penting dilihat dari segi waktu dan penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan)
waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita. Hal ini
menunjukkan jika kejelasan masalah waktu menjadi lebih penting daripada
kejelasan unsur tempat.
Pada
novel “Temui Aku di Surga”, waktu di gambarkan dengan begitu detail dan
berurutan. Hal tersebut merujuk pada kejadian yang terjadi di tahun 2000.
a. 2000-an
Tahun demi tahun berganti. Pekerjaan demi pekerjaan
telah dilakoni oleh Yudho. Tak mudah menemukan pekerjaan yang menjanjikan bagi
masa depan. Namun Yudho tak menyerah!
Tahun demi tahun ia lakoni dengan mencoba beberapa jenis pekerjaan. (Temui Aku
di Surga: 13)
Pada kutipan selanjutnya, digambarkan
jika Yudho mendapat penawaran bekerja dengan Solikin.
Yudho
belum sepenuhnya paham apa yang dimaksud dengan bisnis kaca, apakah berjualan
kaca? Berjualan di mana? Apa Solikin punya toko kaca? Berbagai pertantanyaan
singgah di otak polosnya. (Temui Aku di Surga: 17)
Tak
terasa, Yudho telah dua tahun menyibukkan diri di dunia kaca!” (Temui Aku di
Surga: 19)
b. 2012
12
Juni 2012
Sepucuk surat
telah kukirim untuk dia, Ya Allah. Maafkanlah aku. (Temui Aku di Surga: 90)
13 Juli 2012
Bagaimana kabar
Mas Malik hari ini, YA Allah? Walau hati kami saling terpaut, namun aku tak
pernah melihatnya secara langsung sejak pertemuan di pasar bersama Ibu. (Temui
Aku di Surga: 93)
13 Desember 2012
Jika disuruh memilih, aku ingin
memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu
bagiku.(Temui Aku di Surga: 99)
Pada
kutipan di atas menunjukkan tulisan Hesti dalam suratnya kepada Malik, juga
keresahaannya yang dialami selama beberapa bulan setelah mengetahui jika Malik
memiliki rasa padanya.
c. 2013
Yudho,
03 Januari 2013
Kehidupan
...
Makin
kujalani, makin berwarna
Yang
datang, yang hilang, yang pergi ...
Yang
sedih, yang perih, yang luka....
(“Temui
Aku di Surga”: 160)
Pada
kutipan tersebut menunjukan situasi Yudho yang sedang menulis catatan pribadinya
tertanggal 3 Januari 2013.
Pada
tahun 2013 juga terjadi serangkaian masalah-masalah dalam novel, seperti tokoh
Yudho yang baru mendaftar menjadi calon petinggi. Hal ini digambarkan pada
kutipan berikut:
Perjuangan baru
dimulai dengan mendaftar jadi calon petinggi. Ia tahu, di saat-saat seperti ini
tak ada yang hendak ia lakukan kecuali mendekat dan mendekat selalu kepada Sang
Khalik, meminta petunjuk agar diberi hasil terbaik pada saat pemilihan nanti.
(Temui Aku di Suga: 173)
Selamat
Datang pada
Pemilihan kepala Desa Randuasri
04
Agustus 2013
Semoga
Pilihan Anda Tepat
(Temui
Aku di Surga: 195)
Kutipan
di atas menunjukan adanya peristiwa pemilihan kepala desa Randuasri di mana
Yudho merupakan lawan politik dari Pak Thamrin- petinggi petahanan.
3.
Latar Sosial
Latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Pada novel
“Temui Aku di Surga” latar sosial digambarkan tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Seperti digambarkan pada kutipan
berikut:
Yudho
tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar para sabetan melapor, ada
indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain curang!
“Mereka
ke dukun.” kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia
berkeliling desa. (Temui Aku di Surga: 176)
Pada kutipan di
atas, digambarkan pihak lawan politik Yudho yang tak lain adalah Pak Thamrin
melakukan tindakan percaya akan dukun. Dukun atau orang pintar di novel
tersebut dijadikan kebiasaan hidup tokoh Pak Thamrin.
Seperti diungkap dalam
kutipan berikut.
“Para
pendukung Pak Petinggi itu ... dari dulu memang begitu tho, Pak, iya kan? Makanya jadi saudaranya dlu, ynag pemilihan
sebelum Pak petinggi juga pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu
...,” Pak Salim menyahut berapi-api. (“emui Aku di Surga: 178)
Thamrin
merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (“Temui
Aku di Surga”: 194)
Tokoh Pak Thamrin berbanding terbalik
dengan Yudho, hal ini dikarenakan Yudho memiliki pandangan hidup yang tak
percaya akan kekuatan dari dukun. Caranya bersikap menunjukkan kedekatannya
akan Tuhan. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ya
Allah .. aku datang pada-Mu, meminta belas kasih-Mu, meminta kekuatan dari-Mu,
meminta perlindungan-Mu, meminta kekuatan dari-Mu, meminta perlindungan-Mu,
meminta hasil terbaik dari-MU. Aku hanya ingin dekat dan dekat ... agar aku
yakni bahwa aku tak pernah sendiri menghadapi semua ini. Para pendukungku
sedang gelisah, apakah aku harus gelisah juga Tuhan? Untuk menenangkan mereka,
maka satu-satunya tempatku mencari kekuatan dan bersandar adalah Kau, ya Allah
...” (Temui Aku di Surga: 178).
3.1.2
Tokoh dan Penokohan
Tokoh memiliki peranan yang penting
dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah
pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita.
Sudjiman (dalam Pradani 2012: 64) memaparkan bahwa
penokohan ditampilkan pengarang melalui dua metode. Metode yang pertama adalah
dengan metode langsung. Metode ini sangat sederhana dan hemat, tetapi tidak
membangun imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang imajinasinya untuk
membentuk gambaran tentang tokoh. Metode yang kedua adalah metode tak langsung
atau yang biasa disebut juga sebagai metode ragaan atau metode dramatik. Watak
tokoh dapat disimpulkan oleh pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh
yang disajikan pengarang. Novel “Temui
Aku di Surga” ini pun tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang
berlakuan di dalamnya dengan cara penggambaran tokohnya yang sebagian besar
menggunakan metode tak langsung atau metode dramatik.
Pembagian tokoh dalam novel “Temui Aku
di Surga” cukup jelas. Ada tokoh “Yudho” yang menjadi central cerita, juga
memiliki watak protagonis.
Pembagian tokoh di dalam novel ini cukup jelas. Ada
tokoh “Yudho”yang menjadi tokoh sentral di dalam cerita. Tokoh “Yudho” pun
menjadi pusat dari segala penceritaan yang terdapat di dalam novel ini. Tokoh
“Yudho” ini juga dapat dikatakan sebagai tokoh yang protagonis karena
keterlibatannya dengan tokoh-tokoh yang lainnya. “Yudho” juga lebih banyak
terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Rangkaian peristiwa
yang terdapat di dalam novel ini hampir keseluruhannya dialami oleh tokoh
“Yudho”.
Terdapat satu orang tokoh yang dianggap sebagai tokoh
antagonis karena pemikiran-pemikirannya dianggap sering bertentangan dengan
pemikiran dari tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita, hal ini dikarenakan cerita
yang terdapat di dalam novel ini merupakan perang antara kejahatan melawan
kebaikan.
Selain itu, ada pula tokoh-tokoh tambahan yang turut
berlakuan di dalamnya. Tokoh-tokoh tambahan ini ada yang tetap di setiap
belahan cerita, ada pula yang berganti-ganti. Pada pembahasan makalah ini,
penulis hanya akan memaparkan tokoh tambahan yang dianggap berkontribusi banyak
dalam keseluruhan jalan cerita di setiap belahannya. Belahan pertama terdapat
beberapa tokoh tambahan, yaitu Malik, Hesti, dan Solikin. Belahan kedua ada Pak
Rohmadi, Bu Rohmadi, Pak Zaenuri, dan Emak. Belahan keempat ada Yayuk, serta di
belahan kelima ada Bu Marisah dan Zaki. Kesemua tokoh yang disebutkan itu
adalah tokoh yang mengambil banyak peranan di dalam masing-masing bagian.
Walaupun masih banyak tokoh lainnya yang juga berlakuan di dalam masing-masing
bagian, tetapi tidak semua tokoh tersebut mengambil peranan penting.
Tokoh-tokoh tersebut hanya disajikan untuk melengkapi latar yang ada pada
cerita dan tokoh yang seperti itu disebut sebagai tokoh lataran.
1.
Analisis Tokoh Utama pada Novel “Temui Aku di
Surga”
Tokoh “Yudho” digambarkan pengarang melalui
pemikiran-pemikirannya dan juga melalui lakuan yang sering dilakukannya. Tokoh
“Yudho” sebagai tokoh sentral juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya di
dalam cerita. Penggambaran dilakukan melalui sudut pandang orang ketiga. Pengarang cukup banyak menggambarkan tokoh
“Yudho”. “Yudho” digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki pemikiran
kritis, pekerja keras, dan pemberani.
Mobil pick-up
yang disetri Yudho memasuki Desa Randuasri, desanya sendiri. Jalan yang dilalui
mulai agak terjal. Aspal jalan berlubang di sana-sini. Sebenarnya agak
menghawatirkan bagi barang yang sedang diangkutnya. Yudho khawatir terjadi
guncangan yang keras yang akan membuat etalase itu oleng. Lalu kalau ada yang
pecah? Wah...! Jangan sampai! Harapnya. Ia menyetir dengan hati-hati.
Sebenarnya ia
heran, dari dulu jalan-jalan di desanya selalu begini! Entah sudah berapa kali
diaspal ulang. Tapi hampir setiap tahun mengalami kerusakan-kerusakan.
Kereusakan jalan-jalan aspal selalu parah! Berbahaya jika musim hujan tiba.
Yudho pikir ini pasti karena kualitas aspal yang tidak bagus.
(Temui Aku di
Surga: 20-21)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang
memiliki pemikiran kritis mengingat ia bisa membuat kesimpulan jika jalan asal
selalu rusak, padahal setiap tahun diaspal ulang, hal ini dikarenakan kualitas
aspal yang tidak bagus.
Hari itu Yudho
mengerjakan dua pesanan dan mengantarkan satu pesanan lagi. Pukul setengah
empat sore ia telah tiba di kios lagi.
(Temui Aku di
Surga: 26)
Pada kutipan di atas digambarkan kegiatan pekerjaan
tokoh “Yudho”, hal tersebut menunjukan jika “Yudho” merupakan seorang pekerja
keras.
KRIEKK! Suara pintu berderit saat Yudho
memberanikan diri memasuki sebuah ruangan di kantor desa untuk menemui
seseorang. Yudho kalem namun berusaha tegas. Seakan tak peduli bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang yang paling disegani warga Randuasri.
(Temui Aku di
Surga: 184)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang
sedang menemui tokoh “Pak Thamrin” hal tersebut guna membicarakan kabar tentang
kecurangan yang dilakukan oleh petinggi petahanan itu. Hal tersebut dipertegas
dengan kutipan berikut.
“... Yudho sadar
sedang berhadapan dengan siapa. Jiwa licik yang tadi seakan tak kelihatan kini
mulai muncul ke permukaan, menampakkan keasliannya.
Darah Yudho
berdesir, hawa mereinding menjalari seluruh permukaan kulitnya membayangkan
satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak, serta
adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun
ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini...”
(Temui Aku di
Surga: 189)
Selain tokoh “Yudho” ada tokoh “Pak Thamrin” juga
termasuk tokoh utama dalam novel ini. Perbedaanya sifat dan watak “Pak Thamrin”
yang antagonis memiliki sifat licik. Hal ini bisa digambarkan pada kutipan
berikut:
“Begini Dik ya,
ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan
memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian
warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan
itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung...!” Pak Thamrin tak
meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya.
(Temui Aku di
Surga: 187-188)
“Dik Yudho tahu
yang terbaik seperti apa. Kalau mau pilih aman, ada jalan yang paling aman.
Jagan halangi jalan saya, maka Dik Yudho seratus persen aman!” Pak Thamrin
menyerngai licik.
(Temui Aku di
Surga: 190)
Pada dua kutipan di atas menunjukkan kelicikan yang
dilakukan tokoh “Thamrin” untuk menjadi petinggi kembali ia menggunakan banyak
cara, bahkan smpai mengancam orang-orang yang bisa menjadi penghalang dalam
pemilihan kepala desa termasuk Yudho dan keluarganya.
“Keterangan yang
diberikan Solikin, Paijo, dan Patkur dirasa sangat cukup bagi polisi untuk
menangkap Pak Thamin.”
(Tersesat di
Surga: 259-260)
Kutipan di atas menunjukkan akhir dari kelicikan
yang dilaksanakan tokoh “Pak Thamrin” di mana ia ditangkap oleh polisi.
2.
Analisis Tokoh Tambahan dalam Novel “Temui Aku
di Surga”
a)
Belahan
Pertama Yaitu Malik, Hesti, dan Solikin.
Tokoh “Malik” dalam novel ini digambarkan sebagai
sahabat “Yudho” di mana, setiap kegelisahan dan masalah yang membalut tokoh ini
diceritakan pada “Yudho.” Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Aku ingin
menjadi kepala desa ...”
“Jadi petinggi?”
Yudho mengernyitkan dahinya. Petinggi adalah istilah untuk kepala desa di
tempat mereka.”
(Temui Aku di
Surga”: 76)
Pada kutipan
lain dijelaskan tentang cerita masa lalu tokoh “Malik”.
“Wahaha! Pernah
sampai di penjara? Ceritanya gimana?” Yudho sangat penasaran dengan bagian ini.
“Waktu itu ...
aku masih di Topanx. Biasa ... nge-geng, kelayapan ke sana kemari ndak karuan.
Nah, waktu itu ada tawuran dan aku ikut untuk pertama kalinya. Ya ... sekedar
menunjukkan solidaritas dalam genglah. Tapi, mungkin karena lagi apes juga sih
... saat itu perutku kena tendang. Karena sedang menahan rasa sakit, aku ndak
sadar kalau anak-anak yang lain sudah pada bubar, lari karena polisi datang.
Aku baru sadar dengan situasi saat seseorang menyentuh punggungku. Saat itu aku
masih berjoongkok memegangi perutku. Ketika aku menoleh, aku kaget sekali
karena ternyata dua orang polisi telah berada di belakangku dengan borgol yang
siap dipakaikan ke lenganku,” cerita Malik panjang lebar. (45)
“Trus ... jaket
yang robek itu?” tanya Yudho makin penasaran dengan kehidupan Malik.
“Yang kena
clurit?”
“Hmmh...,” Malik
menarik napas panjang, tersenyum, matanya menerawang seolah mengingat-ingat
sesuatu. Lalu tiba-tiba bibirnya bergerak memulaik isahnya. Yudho menyimak
dengan khidmatnya.” (46-47)
Pada kutipan tersebut terdapat dialog antara tokoh
Malik dan Yudho, di mana Malik menceritakan masa lalunya yang termasuk ke dalam
anggota geng Topanx yang membuatnya pernah dipenjara, juga melalukan tawuran
hingga jaketnya robek.
Tiba-tiba Malik
menyorongkan selembar kertas yang telah kusut, sangat kusuk bahkan terdapat
robekan-robekan kecil di beberapa bagian. Yudho segera menerima kertas itu.
(Temui Aku di
Surga: 109)
Kutipan di atas menunjukan situasi di mana Malik merasa
tak bersemengat sejak menerima surat dari tokoh Hesti. Di mana dalam surat
tersebut menyatakan jika lebih baik cinta antara keduanya tak terjalin sebelum
ada kehalalan dari Allah.
Tokoh “Hesti”
pada novel ini digambarkan sebagai seorang muslimah yang sedang berusaha
menghafal Al-Qur’an atau biasa disebut sebagai hafizah.
“Jika disuruh
memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak
semudah itu bagiku. Aku bukan wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan
asrama sekaligus lancar dalam menghafal ayat-ayatsuci. Inikah kekhawatiran para
pembimbing pada anak didiknya jika mereka menjalin hubungan hati pada saat yang
belum tepat? Dan itu terbukti padaku ...”
(Temui Aku di
Surga: 99)
Pada kutipan tersebut, tokoh “Hesti” mengalami
kegelisahan yang dalam jiwanya. Rasa cintanya pada tokoh “Malik” membuatnya
kurang berkonsentrasi dalam menghafal ayat-Nya.
Tokoh “Solikin” dalam novel ini digambarkan sebagai mantan
bos Malik di bisnis perkacaan, perangainya pendendam dan pelit. Namun, di suatu
sisi ia memiliki sifat yang mudah bertobat akan kesalahan yang dibuatnya.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Tapi,
Yuk ... ah! Apa karena aku ngasih gaji kurang ya?” tiba-tiba Solikin terpikir
hal itu juga.
“Memangnya
berapa? Berapa kali naik gaji sih?” Yayuk mengernyitkan dahinya.
“Tapi
tetap saja ini sebuah pengkhianatan...,” sahut Solikin.
“Seebntar
... jadi, gaji Yudho belum pernah Sampeyan naikkin tho?”
“Sudah
lumayan lho dia itu penghasialn segt. Bisa beli hape, nyicil sepeda. Kalau
bukan karena aku, nggak punya penghasilan dia,” Solikin masih bersikukuh.
“Jadi
memang tak pernah naik?” ulang istrinya lagi,
“Ya
memang ndak ada kenaikan ... nyari untung ndak gampang Yuk, sayang jika harus
dikasih orang lain. Kupikit apa yang kuberi sudah banyak ...” akhirnya keluar
juga pengakuan itu.
(“Temui
Aku di Surga”: 62)
Pada kutipan tersebut dijelaskan percakapan antara
tokoh “Solikin” dan “Yayuk” di mana, tokoh “Yayuk” menyimpulkan jika alasan
“Yudho” berhenti kerja salah satunya karena kurangnya gaji yang diterima.
Padahal, “Yudho” bekerja sudah dua tahun lebih.
“Di sebuah
tempat lain. Solikin penasaran juga, siapa teman Yudho yang diajaknya kerja
sama dalam bisnis kaca? Bagaimanapun, perasaan tak terima atas pengunduran diri
Yudho membawa efek ketidaktengangan dalam keseharian Solikin.
Walau sedikit
nurani kebaikan hati saat ini masih bisa mengimbangi rasa bencinya, namun rasa
penasaran masih saja mengganggunya. Walaupun juga istrinya sering kali
mewanti-wanit agar berusaha ikhlas.
(“Temui Aku di
Surga”: 88)
“Bagaimana, Dik
Kin? Aman kan?” Pak Thamrin menyambut kedatangan Solikin dengan penuh makna
bagi mereka berdua.
Solikin tak
berkata apa-apa, hanya tersenyum setengah terpaksa. Ada ganjalan yang masih
mengganggu hatinya.
(“Temui Aku di
Surga”: 218)
“Iya Pak. Ee...
saya, disuruh Pak Thamrin membayar panitia acara pemilihan, untuk ...
mengupayakan agar hasil pemilihan dimenangkan beliau, gitu Pak...”
“Lalu? Anda
yakin hasil terakhir itu memang tidak asli?”
“Saya sih tidak
berani menjamin. Sepertinya pendukung Yudho sangat banyak, ya bisa saja Yudho
yang harusnya menang. Tapi ... saya bersumpa telah disuruh Pak Tahmrin, dan
sudah menyerahkan uang itu pada mereka! Jadi ....”
(“Temui Aku di
Surga”: 240)
“Memang ... aku
sempat membenci kalian berdua. Tapi aku juga tak senekat itu, aku masih waras!
Waktu itu, aku mengetahui kalu Malik pulang dari Surabaya. Kebetulan aku sedang
lewat di belakang rumahmu. Aku mencuri dengar pembicaraan bapakmu sama Ibumu.:
“Lalu?” sahut
Yudho.
“Lalu ...
kebetulan beberapa jam setelah itu aku ditemui seseorang, suruhan Pak Thamrin.
Ia mau membayaku mahal asal mau melakukan sedikit hal pada Malik, yang akan
menjadi lawan Pak Thamrin pada pemilihan petinggi.”
(“Temui Aku di
Surga”: 242)
Pada kutipan tersebut, diceritakan pengungkapan
misteri kematian Malik, bahwasanya Pak Thamrin menyuruh Solikin untuk melakukan
suatu hal kepada Malik yang akan menjadi lawan poliriknya. Namun, tokoh
“Solikin” tak memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut, sebab ia
memiliki rasa takut dan tak tegah melakukan hal-hal yang diluar batas kewajaran
seperti menyelakakan orang. Hal itu kemudian diperjelas pada kutipan berikut:
“Demi Allah ...
semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi melakukannya!
Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya, tulisannya
Junkpret.”
(“Temui Aku di
Surga”: 243)
b)
Belahan
Kedua Yaitu Pak Rohmadi, Bu Rohmadi, Pak Zaenuri, dan Emak.
Tokoh “Pak Rohmadi” digambarkan sebagai orang tua
lelaki Malik sekaligus orang tua angkat Yudho. Seperti orang tua pada umumnya,
tokoh “Pak Rohmadi” memiliki sifat kebapakan dan rela berkorban apapun demi
anaknya. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Pak
Rohmadi beserta ketiga temannya akhirnya sepakat menanggung semua biaya yang
akan dikeluarkan untuk pencalonan Yudho...”
(Temui
Aku di Surga: 171)
Pada kutipan tersebut dijelaskan sifat rela berkorban
yang dimiliki tokoh “Pak Rohmadi” yang menanggung semua biaya yang dikeluarkan
untuk pencalonan Yudho menjadi petinggi.
Tokoh “Bu Rohmadi” digambarkan sebagai sosok Ibu
yang begitu perasa, peka, penuh kasih sayang pada anaknya. Hal ini dibuktikan
dengan kutipan ketika Malik wafat.
“Bu Rohmadi
pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu lain. Mereka menyediakan diri jadi tempat
rebah dan bersandar bagi beliau. Sesaat kemudian Bu Rohmadi bangkit, lalu
menangais keras sambil memanggil-manggil nama Malik. “Maliiiiiiik! Maliiik!”
satu menit kemudian pingsan lagi, lalu terbangun dan memanggil-manggil nama
anaknya lgai. Begitu berulang-ulang!”
(“Temui Aku di
Surga”: 132).
Pada kutipan di atas dijelaskan tokoh “Bu Rohmadi”
yang begitu menyayangi tokoh “Malik” sampai dia mengalami rasa keterpukulan
yang teramat dalam ketika mengetahui Malik sudah meninggal.
Tokoh Pak Zaenuri atau Bapak Yudho memiliki sifat
yang nyaris sama dengan tokoh “Pak Rohmadi” yakni rela berkorban untuk anaknya,
seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Sementara Bapak
Yudho sanggup menjual sepetak sawah sempitnya untuk dana cadangan seandainya
nanti dana yang telah disiapkan kurang.”
(Temui Aku di
Surga: 171)
Sedangkan, tokoh
Emak atau Bu Zaenuri memiliki sifat yang belas asih.
Bu Zaenuri mendekat, mendekap,
mengelus-elus kepala yang kini berada di pangkuannya. “Emak ngerti, Nang ..,
Ibu tahu sedihmu. Sabar ya... minta tolong sama Gusti Allah..”
Pada kutipan di atas dijelaskan
tentang tokoh Emak atau Bu Zaenuri sedang menenangkan Yudho akibat kekalahan
dalam pilkades. Hal tersebut menunjukan rasa sayang yang ada pada diri seorang
Ibu kepada anaknya.
c)
Belahan
Ketiga Yakni Yayuk
Tokoh “Yayuk” digambarkan sebagai seorang perempuan
yang taat dalam beribadah, juga menenangkan “Solikin” di setiap menghadapi
persoalan hidup. Kehadirannya di novel ini memiliki peran untuk menguak teka-teki
kecurangan yang dilakukan oleh suaminya demi memenangkan tokoh “Pak Thamrin”
dalam pilkades. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Mas Likin,
Yudho kalah ya?”
“Iya...,”
sahut laki-laki itu tampak kurang senang dengan pertanyaan istrinya.
“Mas,
sampeyan tidak terlibat kan?” tanya si istri lagi.
(“Temui
Aku di Surga”: 216)
“Aku
yakin sampeyan tahu sesuatu, yang busuk, licik, tentang pemilihan itu... Aku
ingin sampeyan jujur, jadi saksi, dan kita tak akan dilaknat Allah karena sudah
menipu banyak orang... Apa Mas Solikin ndak takut? Aku sayang sama sampeyang,
aki ingin kita samasama masuk surga nanti, bukan neraka. Aku takut Mas ...!”
(Temui
Aku di Surga: 225)
Pada dua kutipan di atas menjelaskan rasa penasaran
Yayuk akan kalahnya tokoh “Yudho” dalam pemilihan kepala desa dan hal tersebut
terjawab, ketika suaminya mengakui kesalahannya.
Dilihatnya
Solikin masih larut dalam sujud dan tangisnya. Tiba-tiba ia bangkit dari sujud.
Ditatapnya mata Yayuk penuh makna. “Kita ke kantor polisi besok, kita ajak
Yudho.”
(Temui
Aku di Surga: 239)
d)
Belahan
Keempat Yaitu Bu Marisah dan Zaki.
Tokoh “Bu Marisah” dalam novel ini digambarkan
sebagai Ibu dari tokoh “Hesti”, selain itu dia juga rekan kerja Bu Rohmadi.
Sosoknya penuh perhatian kepada anaknya yang juga menjadi penghafal Al-Qur’an
itu. Hal tersebut tercermin pada kutipan berikut:
“Yah, Ibu malah gitu. Justru harusnya
senang anak gadisnya pengin belajar masak!” sahut Hesti sambil manyun.
“Siapa tahu...”
“Apa?!”
Bu Marisah tak meneruskan kalimatnya. Terhenti
oleh ingatanyna sendiri pada peristiwa yang telah dialami anaknya dengan Malik.
“Ya
.. kamu ndak bosen menghafal, kan?” Bu Marisah mencoba mengalihkan percakapan.
Untung dapat topik yang sedikit nyambung!
(Temui
Aku di Surga: 232)
Pada kutipan tersebut dijelaskan perhatian Bu
Marisah pada Hesti. Di mana dulunya, Hesti pernah menyimpan rasa kepada Malik
hingga membuat Hesti kurang konsentrasi dalam menghafal Al-Qur’an. Kegiatan
Hesti yang ingin belajar masak membuat Bu Marisah bertanya, apakah anaknya itu
sudah bosen menghafal dan ingin cepat melepas masa lajang.
Tokoh “Zaki” merupakan kakak kandung Malik. Wataknya
baik dan penuh perhatian kepada orang tua. Seperti tergambar pada kutipan
berikut:
“Nanti
malam aku akan berangkat ke Surabaya bersama anak an istriku. Aku harus masuk
kerja, istriku juga harus kuliah. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Bapak
dan Ibu, dengan keadaan yang sudah berbeda seperti ini. Tapi, bagaimana lagi?
Pekerjaanku juga tak mungkin kutinggalkan begitu saja. Justru saat ini aku
harus mempersiapkan jatah kiriman lebih untuk orang tua, karena kelihatannya
Ibu belum siap untuk ke pasar dalam jangka waktu lama. Kamu paham kami?”
(Temui
Aku di Surga: 135)
Kutipan di atas merupakan dialog antar tokoh Zaki
dan Yudho. Berdasar kutipan tersebut menunjukan sifat Zaki yang peka terhadap
keadaan orang tua yang mungkin akan lama memulai pekerjaan mengingat Malik yang
baru wafat. Hal tersebut yang membuat Zaki memiliki tanggung jawab mengirim
jatah kiriman lebih banyak kepada kedua orang tuanya.
3.1.3
Plot dan Pemplotan
Nurgiantoro (2000: 141) mengemukakan
mengenai penahapan plot menjadi dua macam yakni: (a) tahapan plot:
awal-tengah-akhir, (b) tahapan plot rincian lain.
Pada pembahasan makalah ini dipilih
tahapan plot rincian lain. Hal ini dikarenakan tahapan plot tersebut lebih
rinci dibanding tahapan plot: awal-tengah-akhir. Rincian yang dimaksud yaitu
membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai
berikut:
1.
Tahap
Penyituasian
Tahap ini
merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian
informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui
cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
Penyituasian
dalam novel ini diawali dengan penggambaran tokoh “Malik” yang baru tiba di
tempat geng-nya. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik
menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah
diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang punya
nama di Jepara. Malik melaju ke sana tanpa helm, SIM, dan STNK. Nekat!
Gara-gara ia emosi karena tak juga dibelikan sepeda motor Kawasaki Ninja.
(Temui
Aku di Surga: 1)
Penyituasain
Malik yang baru tiba di tempat geng-nya itu berlanjut hingga membuat Malik
nekat melakukan tindakan tawuran antar geng. Akibatnya, ia pun terkena tusukan
celurit dan dibawa ke rumah sakit.
Ketika sadar
dari pingsannya, barulah muncul tokoh-tokoh tambahan dalam novel ini. Seperti
pada kutipan berikut:
“Ini
di mana, Mas?” tanya Malik.
“Ya
rumah sakit!” sahut Zaki.
“Ya
iya, rumah sakit apa?”
“Oh
... Rumah Sakit RA. Kartini, Senenan...”
“Kupikir
aku langsung ke surga, Mas. Eh ... nggak jadi.”
“Becanda
saja kamu, bisa saja nih anak,” kata Zaki gemas. Ia mengacak rambut adiknya
dengan lembut. “Nanti, kalau sembuh... kita cari sepeda motor betulan, ya?”
“Jangan
becanda, Mas...!”
“Bener...
Bapak yang bilang.”
“Ndak
Mas... aku ndak nuntut apa-apa lagi. Masih hidup sudah syukur... Oh ya Bapak sama
Ibu?”
“Ibu
pingsan, masih di rumah. Nanti kalau Ibu udah baikan, pasti mereka ke sini.
Kalau ke sini sekarang, takut Ibu malah kenapa-kenapa?”
(“Temui
Aku di Surga”: 5-6)
Pada kutipan
tersebut terjadi pengembaraan akan tokoh-tokoh seperti Zaki, Ibu, dan Bapak.
Sementara itu,
penggambaran atau penyituasian tokoh “Yudho” berada di bab selanjutnya. Yakni
tergambar pada kutipan berikut:
Desa
itu sebagian permukaan tanahnya masih terselimuti oleh permadani hijau tumbuhan
padi yang bersanding dengan gemericik aliran air sungai iragasi. Tiap paginya
masih disemarakkan oleh koloni-kolongi burung-burung kecil yang terbang sera
hinggap silih berganti. Lokasi desa itu jauh dari keramaian kota, serta masih
sering kali dituju oleh jiwa-jiwa perindu sejuknya embun dan udara bersih di
pagi hari. Nama desa itu Randuasri. Terletak di wilayah Kecamatan Kalinyamatan,
Kabupaten Jepara.
Di
antara rumah-rumah yang berjajar berselang-seling dengan pepohonan pisang itu
berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh pasangan suami istri, Pak
Zaenuri dan Bu Zaenuri, yang jatuh bangun membesarkan anak-anaknya.
Salah
satu anak mereka bernama Yudho Marzuki, yaitu anak yang ketiga.
(Temui Aku di
Surga: 11-12)
Pada
penggambaran selanjutnya, terdapat pengenalan tokoh yang nantinya akan
memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
“Assalamualaikum!”
terdengat suara salam dari halaman rumah bersamaan dengan datangnya seseorang.
Seorang tetangga. Ia bernama Solikin. Perawakannya lebih pendek dan lebar
daripada tubuh Yudho, berkulit sawo matang dengan wajah mirip Rano Karno.
Solikin berumur lebih tua dari Yudho, beda sekitar delapan tahun. Ia sudah
punya istri dan seorang anak. Rumahnya tak jauh dari rumah Yudho, yaitu
sembilan rumah ke kiri dari rumahnya.
(“Temui
Aku di Surga”: 15)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan penggambaran tubuh Solikin. Di mana, yang nantinya
tokoh bernama Solikin itu akan memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan
Malik.
2.
Tahap
Pemunculah Konflik
Pada tahap ini
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa mulai dimunculkan, jadi tahap ini
merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik itu pada tahap
berikutnya.
Pada novel ini
pemunculan konflik dimulai dengan Yudho yang berhenti bekerja pada Solikin,
lalu hubungan Malik dan Hesti yang tak sesuai dengan harapan Malik, dan Malik
yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Seperti digambarkan pada kutipan
berikut:
“Sementara
itu, di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah Yudho,
seseorang merasa kecewa. Ia tak menduga Yudho akan keluar kerja! Apalagi dengan
jujur mengatakan bahwa ia akan membuka usaha sendiri bersama seorang teman. Ia
merasa kebaikannya selama ini terkhianati!
“Kurang
ajar anak kemarin sore itu!” sungut lelaki yang mirip Rano Karno itu kesal.
(Temui
Aku di Surga: 53)
Pada kutipan tersebut
digambarkan tokoh Yudho yang berhenti kerja kepada tokoh “Solikin” hal ini
membuat tokoh “Solikin tak terima, sehingga mencari tahu dengan siapa tokoh
“Yudho” membuka usaha. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Seperti orang
kurang kerjaan, ia berusaha memata-matai gerak-gerik Yudho. Pagi itu ia sengaja
menunggu Yudho bersama sepeda motornya lewat depan rumah. Setelah berlalu
beberapa puluh meter, ia langsung menghidupkan sepeda motornya dan mengikuti
sarah laju sepeda Yudho. Hingga pada saatnya sepeda motor Yudho berbelok ke
sebuah rumah, ia pun mangut-mangut.
“Mungkin dengan
anaknya Pak Rohmadi...” Ia tersenyum sinis, lalu tetap melanjutkan sepeda
motornya dengan tarikan lebih kencang.
(Temui Aku di
Surga: 88)
Konflik
lain muncul dalam kehidupan Malik sebagai tokoh utama yakni ketika datang
sebuah surat berisi jika lebih baik Malik dan Hesti tak memiliki ikatan dalam
bentuk apapun. Selain itu, ada isi hati Hesti yang membutuhkan konsentrasi
penuh untuk menghafal Al-Qur’an dan hal tersebut tidak akan bisa jika hubungan
yang tidak halal meski hanya sebatas kirim-mengirim surat itu tetap terjadi.
Situasi
konflik batin Malik ini tergambar pada kutipan berikut:
Malik tak tahu
harus bagaiaman bersikap saat ini. Ada rasa menyakitkan yang serasa menusuk ulu
hatinya, menyesakkan dada. Ada rasa tak percaya, tak mengerti. Napasnya turun
naik menahan gejolak hati yang ia rasakan. Ada seseuratu yang ia rasa akan
hilang, atau ... memang telah hilang!
(Temui Aku di
Surga: 108)
Pemuncul
konflik Malik yang ingin menjadi petinggi pun muncul seperti digambarkan pada
kutipan berikut:
“Aku ingin
mencalonkan diri jadi kepala desa...”
“Jadi petinggi?”
Yudho mengernyitkan dahinya...
(Temui Aku di
Surga: 76)
“Terus, sejauh
mana kesiapann Malik, Pak? Dia masa bisa serius tho!”
“Ssst! Diam-diam
aku sama teman-temanku sudah ngomongin hal ini lho!”
“Aku tanya
tentang Malik, dia mau apa tidak?” Bu Rohmadi mengulang pertanyaannya.
“Dia mau. Insya
Allah dia mau. Sudah ngomong sama aku. Dan kata Yudho sih ... sekrang sedang
dalam rangka meluruskan niat!” jawab Pak Rohmadi mantap. Bu Rohmadi makin
ternganga.
“Oalah...!”
Sementara itu
sepasang teling ikut mendengarkan pembicaraan suami istri yang sudah setengah
tua itu. Sepasang telinga milik seseorang yang sosoknya tersembunyi dari
pandangan mata manusia lain. Kemudian bibir pemilik sepasang telinga itu
tersenyum sinis seraya meninggalkan persembunyiannya, cepat-cepat!
(Temui Aku di
Surga: 128)
Pada
dua kutipan tersebut dijelaskan keinginan Malik yang ingin menjadi petinggi. Di
mana kutipan pertama adalah dialog Malik dan Yudho dan kutipan kedua dialog
antara orang tua Malik. Berdasar dialog kedualah muncul konflik bahwasanya ada
seseorang yang mencuri dengar pembicaraan tersebut dan berdampak pada
peningkatan konflik.
3.
Tahap
Peningkatan Konflik
Pada tahap ini
konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar instensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi
inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi,
internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke
klimaks semakin tak dapat dihindari.
Konflik yang
sudah terjadi semakin meningkat. Pada konflik Malik yang ingin menjadi petinggi terjawab dengan ia yang
ditabrak seseorang. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Bus
pun berhenti. Setelah membayar ongkos, Malik turun dengan tergesa karena tak
sabat ingin sampai di rumah. Sesaat kemudian ia sibuk dengan ponselnya,
menelpon Bapak minta dijemput. Jalan di seberang tempatnya berdiri sekarang
adalah jalan raya menuju Desa Randuasri. Tak ada angkudes, dan untuk naik becak
pun dirasa terlalu lama. Ia memutuskan menyebarng langsung di pertigaan itu.
Tiba-tiba
...
DESS!
Sebuah
benturan keras santara sepeda motor yang dilarikan begtu kencang oleh
pengemudinya, dengan tubuh seseorang yang sedang menyeberang di pertigaan itu.
Tubuh Malik!
(“Temui
Aku di Surga”: 130)
“Innalillahi
wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi
wainnaalillahi raajiuun, telah meninggal dunia Malik Julian Santosa...”
Ia
tak perlu mendengarkan kelanjutan pengumuman dengan pengeras suara itu lagi.
Telah jelas kini apa yang sedang terjadi. Lemas rasanya seluruh raga, jiwa, dan
hatinya.
“Malik...,”
gumamnya tertahan. “Innalillahi
wainnaalillahi raajiuun ..”
(Temui
Aku di Surga: 132)
Pada dua kutipan
tersebut menjelaskan kematian “Malik” yang membuat konflik dalam novel ini
semakin meningkat. Konflik lain muncul menimpa tokoh “Hesti” yang tak percaya
dengan kabar kematian “Malik”, ia juga merasa bersalah atas keputusan yang
telah diambilnya. Seperti tergambar dari kutipan berikut:
“Ibu
... Mas Malik ..., Mas Malik ...,” Hesti tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya
ingin tenggelam dalam dekapan wanita yang selalu mengasihinya itu dalam tangis
yang sedari tadi ia tahan.
“Sabar
... belum jodohmu...,” ucap Bu Marisah.
Kalimat
itu nyaris menyindir keputusannya beberapa waktu lalu. Entahlah, baginya
keputusan untuk tak lagi memberi harap pada Malik saat itu memang membuatnya
damai. Tapi, ia tak mengerti, mengapa justru jawaban tentang jodoh tidaknya
mereka harus ia terima secepat itu? Dengan kematian Malik? Allah mempunyai
rahasia yang benar-benar takp pernah ia perkiraan sebelumnya.
(Temui
Aku di Surga: 143-144)
“Oh
ya Yud, ada berita tentang pencalonan petinggi, petinggi...!” kata Pak Rohmadi.
“Oh
ya Pak? Kenapa Pak?” sahut Yudho sambil mengecilkan suara televisi dengan remote.
“Hmmmh...,”
tiba-tiba Yudho menarik napas panjang.
“Kenapa?”
“Nggak
Pak, saya jadi ingat...”
“Malik
kan?” tebak Pak Rohmadi.
“Gimana
kalau kamu yang mencalonkan diri, Yud?”
Sebaris kata
yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak. Remote
control yang digenggamnya sampai terlepas! Seakan ia tak percaya mendengarkan
kalimat itu.
(Temui
Aku di Surga: 148)
Pada kutipan di atas dijelaskan keinginan Pak Rohmadi
agar Yudho menjadi calon petinggi, sekaligus melanjutkan cita-cita Malik.
4.
Tahap
Klimaks
Pada tahap ini
konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui, dan atau
ditimpakkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks
sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang beperan sebagai pelaku
dan penderita terjadinya konflik utama.
Tahap klimaks
pada novel “Temui Aku di Surga” ini muncul ketika Yudho menerima tawaran Pak
Rohmadi untuk mendaftarkan diri menjadi petinggi. Berbagai peristiwa aneh pun
terjadi dalam pencalonan Yudho, mulai dari ancaman dari pihak Pak Thamrin
sampai kegagalan dalam pemilihan. Seperti diungkap pada kutipan berikut:
“Begini
Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok
abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa
sebagian warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ...
kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung..!” Pak
Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua
pundaknya.
(Temui
Aku di Surga: 188)
Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang
ancaman Pak Thamrin kepada Yudho jika memang kelompok abangan yang menakuti
calon pemilih memang ada, bahkan ancaman
itu juga berlaku pada keluarga Yudho. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
“Darah
Yudho berdesir, hawa merinding menjelajari seluruh permukaan kulitnya
membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak serta
adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun
ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini.”
(Temui
Aku di Surga: 189)
Puncak klimaks dalam novel ini tergambar
tatkala Yudho kalah dalam pemilihan kepala desa. Seperti tergambar pada kutipan
berikut:
“Astaghfirulahaladziem ...,” Yudho
berkaca-kaca. Pak Rohmadi langsung bergegas menyongsong tubuh Yudho di antara
riuh suara dan tubuh-tubuh manusia yang berjejal ingin memberi salam pada Pak
Thamrin.
(Temui
Aku di Surga: 210)
5.
Tahap
Penyelesaian
Pada tahap ini
konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik
tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
Kekalahan yang
menimpa Yudho di novel ini diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Seperti
tergambar pada kutipan berikut:
“Anu
... Pak. Saya ingin bersaksi... bahwa... bahwa pemilihan petnggi di desa
Randuasri sebulan lalu itu... tidak fair, Pak ...”
“Oh
ya? Maksud Pak ... siapa?”
“Solikin,
Pak...”
“Maksud
Pak Solikin?”
“Iya,
sebenarnya itu bukan hasil pemilihan yang asli. Eh, karena ... Pak Thamrin
sudah memalsukan suara.”
(Temui
Aku di Surga: 239)
Berdasar kutipan
tersebut diketahui jika pihak Pak Thamrin melakukan tindakan curang dalam
pemilihan kepala desa. Apalagi tokoh “Solikin” mengakui hal tersebut bersama
Yudho di depan polisi. Hal tersebut kemudian diperjelas pada pekerjaan polisi
yang tergambar pada kutipan berikut:
Perkara
kejahatan yang telah direncakan dan dilakukan oleh Pak Thamrin diusut oleh
pihak kepolisian. Hari itu juga, Paijo dan Patkur diciduk, dan diinterogasi di
kepolisian. Tentu saja mereka tak kuasa mengelak tuduhan! Karena ada Solikin
yang telah lebih dulu memberi kesaksian.
Dari
penyedikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak
Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan
sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar
hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal
tersebut.
(Temui
Aku di Surga: 251)
Pada kutipan
tersebutlah, akhirnya terjawab teka-teki kekalahan Yudho, dan karena mengingat
kecurangan yang dilakukan pihak Pak Thamrin. Akhirnya, Yudho diangkat menjadi
petinggi. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho bersiap-siap berangkat ke balai
desa. Seragam setelah warna cokelat kekuningan ia kenakan bersama peci hitam di
kepala. Tak lupa sepatu hitam klimis ia kenakan bersama kaus kakinya. Ia telah
menghabiskan sarapan tahu pecel yang disediakan khusus oleh Emak.
(“Temui Aku di Surga”: 265)
Kutipan di atas
menjelaskan aktivitas Yudho sebelum berangkat ke balai desa sebagai petinggi.
Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwasanya kelicikan atau kebusukan yang
dilakukan Pak Thamrin tak akan menang melawan kebaikan.
Selain,
permasalahan kekalahan Yudho dalam pemilihan kepala desa. Pada tahap ini juga
terkuak teka-teki meninggalnya Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ketika
Bus Indonesia itu datang. Aku memutuskan urung menabrak Malik. Aku juga tak mau
nanti dikejar-kejar polisi. Tapi...”
“Tapi
apa?!!” sahut Yudho.
“Sebuah
sepeda motor keluar dari belakang tokoh di seberang tempat aku sembunyi. Sepeda
itu melaju tak begitu kencang ke arah yang berlawanan dengan Bus Indonesia.
Lalu bus itu perdi dan kulihat Malik sudah berada di seberang. Aku makin mantap
tak akan melakukan kejahatan pada Malik. Tapi begitu Malik menyeberang, sepada
motor yang baru keluar tadi berbalik arah, melaju sangat kencang dan ...
menabrak tubuh Malik. Aku ... akan melihat semuanya..”
“Bagaimana
Anda bisa yakin itu sepada motor yang baru keluar dari belakang tokoh tadi?”
“Ya,
saya yakin sekali. Karena bentuknya agak aneh, dan terutama ada tulisan ini...”
sejenak kalimat Solikin terhenti. Ia memejamkan mata seakan ingin
mengingat-ingat sesuatu.
“Junkpret!”
“Bisa
diulang?” sahut Pak Polisi.
“J
... U ... N ... K ... P ... R ... E ..T,” Solikinn menyebutkan susunan huruf
yang membentuk kata yang ia lihat.
(“Temui
Aku di Surga”: 243-244)
Pada kutipan tersebut,
tokoh “Solikin” mengaku jika ada niatan untuk menabrak tokoh “Malik” namun
tidak jadi dilakukan karena tokoh “Solikin” takut berurusan dengan polisi.
Kemudian, ada sepeda motor yang memiliki tulisan JUNKPRET menabrak tokoh
“Malik” hingga menyebabkannya meninggal.
Mengetahui hal
tersebut, Yudho segera mencari tahu arti dari kata Junkpret itu. Ia pun
menemukan tulisan tersebut dalam buku agenda Malik.
“Mungkin
ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba
hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu
itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepada motor yang nabrak Malik
ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,”
kata Yudho akhirnya.
“Oalah...,
yang katamu... dulunya Malik ikut geng-geng itu toh?”
“Iya
... dulu sebelum ia tobat dan masuk pesanteren.”
“Jadi
... yang nabrak ... anak geng lain? Di situ ... di buku Malik disebut junkpret
adalah nama geng musuh bebuyutan?”
“Sementara
yang bisa saya simpulakn itu, Pak. Benar-benar tidak terduga. Saya tak sempat
berpikir ke arah situ..”
“Kamu
akan beritahukan ke Pak Rohmadi?”
Yudho
tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang. Kembali ia bertanya, perlukah
kiranya kasus ini diungkap kembali di saat keluarga Pak Rohmadi sudah tak
mengalami trauma lagi? Bermanfaatkah?
(“Temui
Aku di Surga”: 258)
Pada kutipan
tersebut menjelaskan tentang misteri kematian Malik, sekalipun begitu Yudho tak
mengungkap permasalahan itu kepada orang lain. Cukup dirinya dan bapaknya saja
yang mengetahui hal tersebut. Mengingat dilihat dari segi kemanfaatan menguak
misteri ini kecil. Apalagi, keluarga Pak Rohmadi sudah menjalani kehidupan
lebih tenang dan damai. Selain itu, mengungkap misteri itu akan menambah
masalah baru. Semisal permasalahan antargeng yang mungkin timbul kembali.
3.1.4
Tema
Nurgiantoro membagi tema menjadi
beberapa hal, namun dalam pembahasan makalah ini akan mengakaji tema
berdasarkan tema utama dan tema tambahan. Sebelum menemukan tema utama dalam
novel ini akan dipaparkan beberapa tema yang ditemukan.
1. Kehidupan
Geng Motor
Malik
menuju tempat tawuran. Dari balik tembok sebuah bangunan di sekitar lapangan,
mata Malik menyaksikan mereka yang sedang beradu otot. Bahkan ada yang membawa
senjata tajam! Mendadak Malik menadi ngeri sendiri
(Temui
Aku di Surga: 2)
Pada kutipan di atas menjelaskan tokoh “Malik” yang
mengikuti geng motor di Jepara sedang menuju tempat tawuran. Tawuran sendiri
begitu akrab dikaitkan dengan geng. Bahkan, hal tersebut terjadi dalam
kehidupan nyata.
2. Kisah
Cinta
“Jika disuruh memilih,
aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah
itu bagiku. Aku bukan wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan asrama
sekaligus lancar dalam menghafal ayat-ayatsuci. Inikah kekhawatiran para
pembimbing pada anak didiknya jika mereka menjalin hubungan hati pada saat yang
belum tepat? Dan itu terbukti padaku ...”
(Temui Aku di
Surga: 99)
Pada kutipan tersebut menjelaskan tentang kisah
cinta antara tokoh Malik dan Hesti yang belum saatnya. Kisah percintaan antara kedua
remaja itu berbeda dengan remaja pada umumnya. Hesti sebagai penghafal
ayat-ayat suci menerima rasa galau tiada tara akan sang Maha Cinta yang
mengawasinya hingga memberi rasa cinta pada orang yang belum tiba saatnya.
3. Sistem
Politik di Desa Randuasri
“Ya... begini ini
kalau sistem sudah terlanjur ndak baik tapi jalan terus. Mau mencalonkan diri
saja harus bingung cari modal. Ndak hanya calon dewan saja yang butuh uang
banyak, calon petinggi di desa juga ndak kalah berat di ongkos...”
“Iya Pak ya... gimana kalau kita nekat maju tanpa ongkos,
Pak, jadi kalau kalah pun ... ndak akan sia-sia uangnya...” Tiba-tiba Yudho
melontarkan ide itu.
Ia juga heran, kenapa harus bingung masalah modal yang
berpuluh-puluh juta? Sebenarnya untuk apa? Yang resmi kan hanya uang
pendaftaran saja kan? Bahkan kabar terbaru biaya pendaftaran digratiskan.
(Temui Aku di Surga: 164)
Kutipan di atas menjelaskan tentang pemilihan kepala desa yang identik
dengan uang atau yang dinamakan money
politic. Padahal untuk melakukan pendaftaran sebenarnya itu digratiskan.
Hanya saja, untuk mendapatkan hati calon pemilih cara money politic digunakan.
4. Sistem Kepercayaan Atas Kekuatan Magis atau
Dukun
Yudho tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar
para sabetan melapor, ada indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain
curang!
“Mereka ke dukun.” Kata seorang sabetan bernama Salim
yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Tersesat di Surga: 176)
“Para
pendukung Pak Petinggi itu ... dari dulu memang begitu tho, Pak, iya kan? Makanya jadi saudaranya dlu, ynag pemilihan
sebelum Pak petinggi juga pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu
...,” Pak Salim menyahut berapi-api. (“Temui Aku di Surga”: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit
bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo
dan keris saktinya. (“Temui Aku di Surga”: 194)
Pada kutipan di atas menjelaskan jika ilmu perdukunan di Indonesia
jelas-jelas ada, begitu banyak orang yang percaya akan kekuatan dukun dibanding
kekuatan dari Tuhan. Padahal, jika terlalu mempercayai dukun membuat seseorang
itu musyrik. Namun, bagaimana pun kepercayaan akan kekuatan dukun tak bisa
dihilangkan begitu saja. Sekalipun zaman telah banyak berubah.
Pada novel “Temui Aku di Surga”, kepercayaan akan kekuatan dukun begitu
tergambar jelas. Seperti pada tokoh “Pak Thamrin” yang menggunakan jas ontokusumo dan keris untuk
memudahkan ia menduduki kursi sebagai petinggi.
3.2
Beberapa Konflik Batin Tokoh Utama
3.2.1
Konflik Batin yang Dipicu Keinginan Berhenti Bekerja Pada Solikin
Mencari dan mendapatkan
pekerjaan pada dewasa ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi, jika skill atau keterampilan tak dimiliki
seseorang dan pendidikan pas-pasan. Hal tersebut terjadi pada tokoh “Yudho” di
mana pemuda pintar yang tak bisa melanjutkan kuliah lantaran biaya ini
melakukan pekerjaan demi pekerjaan untuk menyambung kehidupannya, sekaligus
menunjukkan bakti sebagai balas budi kepada orang tuanya.
Walaupun begitu,
berbagai pekerjaan telah dilakoni Yudho. Namun, ia tak menemukan pekerjaan yang
menjajikan bagi masa depan. Mulai dari menjadi kerent, buruh tani, dan
pengrajin emas. Ketika Yudho enak bekerja di toko emas. Nasib buntung
menghampirinya, tokoh emas tersebut tutup lantaran sepi pesanan.
Setelah cukup banyak
pengalaman di bidang pekerjaan, tiba-tiba tawaran bekerja datang dari tokoh
“Solikin” yang menekuni bisnis perkacaan. Yudho pun terus giat belajar dan
bekerja melayani pesanan kaca. Selain kaca untuk bufet atau lemari, kios
Solikin juga melayani pemasangan kaca untuk jendela rumah, kaca untuk mebel
kayu, kaca untuk etalase, dan segala yang memerlukan kaca. Biasanya, pesanan
terbanyak itu berupa pemasangan kaca pada mebel kayu, mengingat daerah Jepara
memang identik dengan kerajian kayu ukirnya.
Pekerjaan bisnis
perkacaan ini dilakoni Yudho hampir dua tahun. Ia pun menemukan titik jenuh,
apalagi ketika menerima gaji ke-25 ia mengalami kenaikan gaji. Padahal, pesanan
kaca semakin bertambah. Di tengah permasalahan tersebut, Yudho menceritakan hal
ini pada tokoh “Malik”. Peristiwa keresahan tokoh “Yudho” bisa digambarkan pada
kutipan berikut:
“Aku
... ingin perubahan suasana, sudah agak bosan. Sudah tiga mau tiga tahun!
Begini-begini ... saja. Aku ingin sesuatu yang baru.”
“Maksudmu?
Apakah gajimu kurang?
“Tidak,
e... ya selama ini belum ada kenaikan sih. Tapi yang pasti, aku ndak ingin
selamanya jadi pesuruh.”
“Oh
... jadi, selama tiga tahun pekerjaan itu-itu saja ya, disuruh-suruh saja.”
“Iya...
tentang jenis pekerjaan mungkin ndak masalah, aku menikmati saja sih... Hanya
saja aku merasa jenuh, tiga tahun dengan pola kerja yang seperti itu-itu saja.
yah... ingin sedikit kemajuanlah!”
“Oh...”
Mereka
terdiam. Yudho merenungi kembali kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
Sedangkan Malik mulai asyik dengan pikirannya sendiri yang membayangkan sebuah
kegiatan baru, bisnis. Tetapi ia belum tahu bisnis apa yang akan dijalaninya.
Selama ini ia memang belum pernah bekerja cari uang sendiri. Hanya saja
ayahnya, Pak Rohmadi sudah sanggup menyediakan modal seandainya ia siap dengan
ide usaha.
Tiba-tiba
Malik menemukan ide cemerlang. Ia punya modal, Yudho punya keahlian. Bila
mereka bersimbiosis, bekerja sama, bukankah itu suatu hal yang baik? Pikirnya.
(Temui
Aku di Surga: 51-52)
Pada kutipan tersebut
dijelaskan cara penyelesaian atas konflik batin Yudho yang ingin berhenti
bekerja yakni dengan penawaran dari Malik untuk membuat usaha baru. Di mana
Malik menjadi pemberi modal sedangkan Yudho yang memiliki keahlian.
3.2.2
Konflik Batin yang Dipicu Kematian Malik
Novel
“Temui Aku di Surga” selain menceritakan kisah politik di Desa Randuasri juga
memiliki cerita tentang persahabatan erat antara tokoh “Yudho” dan “Malik”.
Dikisahkan persahabatan mereka tulus, sehati, saling membutuhkan satu sama
lain. Mereka merasa menemukan tempat berbagi yang pas. Selama menjalin
persahabatan dengan tokoh “Malik”, tokoh “Yudho” lebih banyak menyimak kisah
hidup tokoh “Malik”. Seperti masa kelam ketika bergabung dengan geng Topanx,
rasa cinta akan tokoh “Hesti”, keinginan mencalonkan diri sebagai petinggi,
serta keresahaan yang dialami tokoh “Malik” tatkala hubungannya dengan tokoh
“Hesti” harus berakhir mengingat dalam agama hubungan mereka belum halal.
Di
tengah itu, semua tiba-tiba tokoh “Malik” pergi ke Surabaya untuk menemui kakaknya
yakni tokoh “Zaki”. Selain menenangkan diri, tokoh “Malik” juga ingin
memantapkan niat ketika ia nantinya mencalonkan diri. Sayangnya, sekembalinya
dari Surabaya. Tokoh “Malik” ditabrak oleh seseorang yang membuatnya merenggang
nyawa. Tokoh “Yudho” mengalami rasa sedih yang luar biasa. Seperti digambarkan
pada kutipan berikut:
Tiba-tiba ia seperti orang yang kehilangan
setengah kesadaran. Antara percaya dan tidak, antara mimpi dan kenyataan.
Bingung harus bagaimana. Menangis pun ia tak mampu.
“Aku pengin ketemu Mas Zaki secepatnya,
takut ndak sempet..!” kata-kata itu tergiang-ngiang di telinga Yudho.
“Jadi inikah jawaban semua keanehanmu,
Lik?”
Untuk sejenak ia terduduk di teras rumah
Pak Rohmadi. Napasnya naik turun tak beraturan. Setengah kesadarannya yang tadi
seakan-akan hilang kini kembali lagi perlahan-lahan.
Yudhi mencoba menghirup napas panjang.
“Ya ... Allah...,” desahnya.
“Innalillahi wainnaailaihi raajiuun,”
bisiknya lagi sambil menguatkan hati.
Lalu, setelah ni tak akan ada dia lagi?
Malik benar-benar telah pergi? Siapa yang menabraknya? Seribu tanya muncul di
hati Yudho, sama dengan seribu kesedihan yang rasakan. Ia masih benar-benar tak
percaya!
Kini, air matanya mulai merebak di bingakai
mata, seakan ingin tumpah ke bumi. Ingin rasanya ia mengangis meraung. Ingin ia
berteriak, “Tidaaaak!!”
Namun ia tak melakukannya demi melihat
pemandangan di dalam ruan tamu. Bu Rohmadi pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu
lain.
(Temui Aku di Surga: 132-133)
Pada
kutipan tersebut dijelaskan konflik batin “Yudho” yang tak percaya atas
kematian “Malik”, namun di tengah ketidakpercayaan dan ingin berteriak kencang.
Ia melihat Bu Rohmadi pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu lain membuatnya
menguatkan diri sendiri atas kematian sahabatnya itu.
3.2.3
Konflik Batin yang Dipicu Pencalonan Petinggi
Usai
kematian tokoh “Malik” menandakan bahwa cita-cita tokoh “Malik” tak bisa
menjadi petinggi. Padahal, pemilihan petinggi tinggal satu tahun lagi. Tokoh
“Yudho” mendapat tawaran untuk menjadi calon petinggi oleh Pak Rohmadi dan
teman-temannya.
Awalnya,
Yudho menolak karena merasa belum punya pengalaman. Apalagi, usianya masih
tergolong sangat muda. Ia juga merasa, bahwa yang pantas menjadi calon petinggi
adalah Pak Rohmadi atau bapak-bapak lain yang termasuk ke dalam tokoh
masyarakat di Desa Randuasri.
Namun,
penguatan atas pencalonan Yudho terus berdatangan. Akhirnya, Yudho pun menerima
tawaran menjadi petinggi. Bahkan, tak tanggung-tanggung Pak Rohmadi dan
bapak-bapak yang mendukungnya itu menyokong dana untuk membantu pencalonan
Yudho. Selain itu, bapak Yudho sendiri menjual sawah untuk dana cadangan.
Konflik
demi konflik berdatangan pada diri Yudho, mulai dari laporan seorang sabetan
bahwasanya pihak lawan menggunakan tindakan curang, seperti menggunakan jasa
dukun, bahkan menyuruh kelompok abangan
untuk memaksa warga agar memilih Pak Thamrin sebagai pihak lawan politik Yudho.
Yudho tak tinggal diam menghadapi
permasalahan tersebut, ia pun mendatangi tokoh “Thamrin” untuk membuat
kesepakatan.
“Saya tidak ingin ada yang menagtur
gerak langkah saya,” lanjut Pak Thamrin.
Tiba-tiba ia teringat tentang keseakatan
uang amplop. “Apakah ini tentang amplop?” Yudho mencoba mencari kejelasan.
“Benar. Jika Dik Yudho masih ingin
melangkah juga di jalan yang ingin saya lewati, maka jika tak ingin mendengar
adanya kelompok abangan beraksi, maka tak perlu ada kesepakatan penyamaan uang
amplop,” kata-kata Pak Thamrin mengarah pada satu titik terang.
(Temui Aku di Surga: 191)
Pada
kutipan tersebut dijelaskan tentang tokoh “Pak Thamrin” yang membuat
kesepakatan agar tidak ada penyaman uang amplop. Uang amplop yang dimaksud
adalah uang untuk para calon pemilih, dalam novel ini uang amplop dijadikan ukuran
pelit atau tidaknya seorang calon petinggi. Selain itu, sebagai upah kepada
warga yang telah memilihnya, dan biasanya setiap calon yang mengikuti pemilihan
petinggi membuat kesepakatan uang amplop yang sama.
3.2.4
Konflik Batin yang Dipicu Kekalahan dalam Pemilihan Petinggi
Setelah
mengikuti proses pemilihan petinggi, tokoh “Yudho” mengalami kekalahan.
Pasalnya, sewaktu penghitungan suara Pak Thamrin memeroleh suara 3021,
sedangkan Yudho memiliki suara berjumlah 2450. Hal ini membuat penghitungan
suara dihentikan, sebab pemilih berjumlah 5504. Jika, perhitungan suara tetap
dilakukan akan membuat hasil semakin tinggi suara di pihak Pak Thamrin.
Akibat
kekalahan tersebut, Yudho disalahkan oleh tokoh sabetan “Warno” karena tidak mau menerima usul ke orang pintar.
Selain itu, tokoh “Yudho” merasa mengecewakan pihak pendukung apalagi Pak
Rohmadi dan teman-temannya itu mendukung “Yudho” dengan uang jutaan rupiah.
Bahkan, dari pihak masyarakat yang awalnya tak mendukung “Yudho” malah menjadi
bahan cibiran dan tertawa di atas kekalahan Yudho. Peristiwa tersebut
digambarkan pada kutipan berikut:
Hari-hari selanjutnya adalah pembelajaran
besar bagi Yudho serta keluarganya. Tak mudah! Mereka yang semula tak
mendukung, kini makin mencibir pada mereka, lalu tertawa senang atas kekalahan
mereka. Sungguhpun begitu banyak juga yang justru prihatin dan memberi mereka
sumbangan uang sebagai rasa welas asih.
Tak terasa keadaan tak menentu itu telah
berlangsung selama sebulan lebih. Lama-lama Yudho sekeluarga, serta Bapak dan
Ibu Zaenuri mulai terbiasa dengan kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa sebuah
kekalahan adalah hal biasa, dan siapa saja bisa mengalaminya, termasuk mereka.
(Temui Aku di Surga: 220-221)
Pada
kutipan tersebut dijelaskan jika tokoh “Yudho” mendapat cibiran dari
orang-orang yang tak mendukungnya, namun di sisi lain ia mendapat sumbangan
uang sebagai tanda kasihan. Kekalahan yang menimpa Yudho memberi pelajaran
untuk menerima kenyataan. Bahwasanya di setiap kompetesi, pasti ada pihak yang
kalah dan menang.
3.2.5
Konflik Batin yang Dipicu Kesaksian Solikin
Ternyata
kasus kekalahan tokoh “Yudho” dalam pemilihan petinggi adalah suatu kecurangan.
Hal tersebut diakui Solikin, bahwasanya dirinya menjadi orang suruhan Pak
Thamrin. Peristiwa tersebut bisa digambarkan pada kutipan berikut:
“Iya,
sebenarnya itu bukan hasil pemilihan yang asli. Eh ... karena... karena Pak
Thamrin sudah memalsukan suara.”
“Oya?
Dari mana Anda bisa tahu hal itu? Lebih detail lagi Pak!”
“Iya
Pak. Ee... saya, disuruh Pak Thamrin membayar panitia acara pemilihan, untuk
... mengupayakan agar hasil pemilihan dimenangkan beliau, gitu Pak...”
....
“Jadi, saya menyerahkan uang itu pada dua
panitia pemilihan... Nah, saya sendiri kurang tahu bagaimana mereka
melakukannya. Tapi mereka janji pasti Pak Thamrin yang menang.”
“Bisa menunjukkan siapa mereka?”
“Bisa, Pak!
Paijo dan Patkur. Mereka yang bertugas ngitung suara, juga salah satunya
yang mempersiapkan kotak suara. Jadi sebelum acara, malamnya kotak-kotak itu
nginep di rumah Patkur. Ya, lebih jelasnya bisa Bapak usut mereka.”
(Temui Aku di Surga: 240-241)
Pada
kutipan diatas tokoh “Solikin” menceritakan kepada pihak berwajib jika tokoh
“Pak Thamrin” melakukan kecurangan dalam pemilihan dengan cara memberi suap
kepada dua panitia pemilihan yakni Paijo dan Patkur.
Selain, kesaksian tokoh
“Solikin” akan kecurangan yang dilakukan oleh tokoh “Pak Thamrin”. Yudho juga
memiliki konflik batin akan kematian tokoh “Malik” di mana tokoh “Solikin” juga
memberi tahu jika awalnya ia disuruh tokoh “Pak Thamrin” untuk menabrak tokoh
“Malik” namun tidak jadi dilakukan karena rasa takut. Namun, ternyata tokoh
“Malik ditabrak oleh sebuah sepeda motor bertulis Junkpret.
Peristiwa
konflik batin tokoh “Yudho” akibat kesaksian tokoh “Solikin” itu digambarkan
pada kutipan berikut:
“Mungkin
ini jawabannya, Pak... Masa lalu Malik tiba-tiba hadir di saat ia telah
berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu itu telah menjemputnya dari
indahnya kehidupan. Sepeda motor yang nabrak Malik ada tulisan junkpret. Begitu
kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu...,” kata Yudho akhirnya.
(Temui Aku di Surga: 258)
Pada
kutipan tersebut digambarkan tokoh “Yudho” yang sedang memikirkan kasus
kematian tokoh “Malik” dibanding permasalahan pemalsuan suara.
3.3
Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batinnya
Berbagai
peristiwa yang selalu menimpa Yudho memunculkan berbagai konflik batin. Konflik
batin terjadi karena ketidakselarasan antara keinginan dalam dirinya dengan
realitas sosial. Yudho tidak mampu menghadapi realitas di luar dirinya,
sehingga muncu kecemasan berupa ketegangan-ketegangan. Cara-cara Yudho untuk
menghadapi dan mengatasi kecemasan-kecemasan atau meruduksi
tegangan-tegangannya adalah:
3.3.1
Pengalihan (Displacement)
Ketika mengetahui rasa bosan yang menimpa tokoh
“Yudho” karena telah lama bekerja di Solikin. Selain itu, juga tidak menerima
kenaikan gaji selama dua tahun. Yudho akhirnya, mengutarahkan perasaanya
tersebut kepada Malik. Sahabat Yudho tersebut pun mengajak Yudho bekerja sama
untuk membuat usaha bersama.
Awalnya Yudho menolak
namun akhirnya ia menerima tawaran Malik. Konflik batin yang dipicu keinginan
berhenti kerja di Solikin pun terselesaikan dengan adanya pengalihan. Di mana
pengalihan yang dimaksud adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu
objek ke objek lainnya yang memungkinkan.
Peristiwa keinginan
berhenti kerja di tempat Solikin adalah objek yang kemudian berganti objek
bekerja sama dengan Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku tahu Yud! Ndak usah sungkan
sama aku. Aku kan sahabatmu ... Hemm begini, aku sebagai pemilik modal, kamu
pelaksananya. Layaknya sebuah PT, aku yang punya saham, kamu pengelolanya.
Jadi, kamu punya kekuasaan penuh mengelola usaha kita nanti. Nah, karena
seorang bos butuh anak buah, maka aku sebagai seorang pencari kerja melamar
menjadi anak buahm. Aku menjadi pekerjamu, juga belajar keterampilan menggarap
dan memasarkan kaca darimu. Gimana?” Malik menjelaskan dengan panjang lebar.
(Temui Aku di Surga: 52)
Kutipan di atas
menjelaskan keinginan bekerja sama Malik dengan Yudho dalam berbisnis
perkacaan. Yudho pun menerima usulan Malik, apalagi usaha yang akan mereka
kerjakan bersama merupakan pengalihan perasaan tidak senang Yudho terhadap
objek (dalam hal ini bekerja pada Solikin yang membuatnya tidak menerima gaji,
sekaligus Yudho yang kurang berkembang) ke objek lainnya (dalam hal ini bekerja
sama dengan Malik) yang memungkinkan Yudho bisa lebih mengembangkan dirinya.
Baik dari segi pendapatan ataupun pengalaman.
3.3.2
Sublimasi
Kematian yang menimpa
Malik, membuat konflik batin tersendiri bagi Yudho. Apalagi Malik adalah
sahabatnya yang sudah seperti saudara. Di tengah kematian tersebut, awalnya
Yudho mengalami rasa sedih yang luar biasa. Namun, tidak lama setelah itu ia
tersadar jika hidup harus berjalan.
Adapun
solusi yang digunakan Yudho untuk mengatasi konflik batinnya tersebut adalah
sublimasi. Di mana sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat
secara sosial menggantikan perasan tidak nyaman.
Hal
ini dijelaskan pada kutipan berikut:
“Iya
Mas, tentu saja. jangan khawatir, saya ... saya akan di sini sementara menemani
mereka sampai mereka siap...,” jawab Yudho terbata-bata.
Iya, Yudho merasa ada satu tugas yang harus dilakukannya, yaitu menjaga
dan menemani orangtua Malik yang sudah seperti orangtuanya sendiri selama ini.
Tidak mungkin ia berlenggang tangan dan kaki dengan berlagak tidak terjadi
apa-apa. Dalam hati, Yudho berjanji akan selalu ada di rumah itu, demi mereka
berdua. Ia pun telah banyak berutang jasa pada mereka.
“Mas,
saya akan tidur di sini tiap malam. Saya akan bantu mengurus burung-burung
milik Bapak, saya akan bersedia bila disuruhsuruh mengerjakan apa yang
diperintah Ibu. Saya juga tak tega memberiarkan mereka berdua sendiri di sini
ya... saya akan bolak-balik dari sini ke rumah saya sendiri, begitu...”
Mendengar ucapan Malik, Zaki merasa lega.
Ada satu beban di hatinya yagn sekarang terasa agak ringan.
(Temui Aku di Surga: 136)
Pada kutipan tersebut terjadi
tindakan-tindakan yang bermanfaat yang akan dilakukan tokoh “Yudho” di mana ia
berjanji untuk membantu keluarga Yudho yang telah meninggal itu. Hal tersebut
merupakan tindakan untuk menggantikan perasaan tidak nyaman atas meninggalnya
Malik.
3.3.3
Reaksi Formasi dan Agresi
Pencalonan Yudho yang awalnya berupa tawaran dari
Pak Rohmadi membuat Yudho benar-benar mencalonkan diri, apalagi ia kemudian
didukung orang-orang penting di desa Randuasri. Seperti dijelaskan pada kutipan
berikut:
“Gimana kalau kamu yang mencalonakan
diri, Yud?”
Sebaris kata yang baru saja
keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak.
(Temui Aku di Surga: 148)
... Yudho tampak tidak sabar menunggu
ungkapan maksud sesungguhnya bapak-bapak tersebut. Tiba-tiba debaran itu muncul
kembali, namun ia coba menetralkannya. Mungkin suatu rencana yang lain,
harapnya.
“To
the point ya? Oke...! Kami mengusulkan kamu mencalonkan diri menjadi
petinggi, jadi petinggi di desa ini,” Pak Jazuli langsung pada inti percakapan.
(Temui
Aku di Surga: 156-157)
Pada kutipan
di atas dijelaskan, Yudho bisa menjadi calon petinggi karena adanya perasan di
bawah alam sadar yang berhubungan dengan dirinya dicalonkan beberapa orang
penting di desa Randuasri, selain itu ia juga memanifestasi kepedulian yang
berlebihan terhadap tokoh “Malik” dapat merupakan paya menutupi perassaanya
yang tidak nyaman terhadap sahabatnya; jika tidak meneruskan perjuangan atau
cita-cita sahabatnya itu. Hal yang dilakukan Yudho dan dijelaskan pada kutipan
di atas merupakan suatu reaksi formasi.
Selain, peristiwa awal pencalonan. Yudho juga
mengalami serangkaian masalah pelik ketika usai mencalonkan. Terlebih dari
tokoh “Pak Thamrin” di mana ia mengalami proses ancaman seperti adanya kelompok
abangan yang kabarnya memaksa warga dan juga penggunaan orang pintar yang
dilakukan Pak Thamrin. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut:
Yudho menggeleng-gelengkan kepala.
Ia makin memahami apa yang sedang dihadapinya. Tapi yang penting, sekarang ia
telah berhasil membuat Pak Petinggi sepakat untuk tak menyewa orang-orang ganas
yang entah mengapa tak juga terjangkau oleh aparat itu.
Yudho keluar dari balai desa dengan
langkah lebih ringan. Baginya ini lebih baik. Ia tak ingin mendengar ada
desas-desus lagi tentang kelompok abangan yang nyatanya memang ada dan telah
menjadi bagian strategi Pak Thamrin untuk menggertak warga agar memilihnya
kelak.
(Temui Aku di Surga: 192)
Pada
kutipan di atas menjelaskan kisah Yudho yang telah mengalami kesepakatan dengan
Pak Petinggi untuk tak menyewa orang-orang ganas yang biasa disebut kelompok
abangan itu. Hal yang dilakukan Yudho tersebut termasuk ke dalam agresi. Di
mana agresi yang dimaksud adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada
seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi yang dilakukan
Yudho berkaitan dengan perasan marah terkait dengan konflik batin yang
dialaminya, namun tidak menjurus kepada pengurasakan atau penyerangan. Hanya,
kesepakatan dan kesepahaman yang dilakukan Yudho.
3.3.4
Rasionalisasi
Peristiwa
yang kemudian menjadi konflik besar atau biasa disebut klimaks dalam suatu
struktur karya sastra terjadi tatkala tokoh Yudho mengalami kekalahan dalam
pemilihan petinggi. Padahal, untuk pencalonan dan segala hal yang dikeluarkan
selama sebelum pemilihan begitu banyak rupiah yang dikeluarkan. Mulai pinjaman
dari orang-orang yang berpengaruh, hingga penjualan sawah yang dimiliki orang
tua Yudho.
Berdasar
hal tersebut, Yudho mencari upaya penyelesaian konfliknya. Seperti digambarkan
pada kutipan berikut:
Sementara itu di dalam kamar orangtuanya,
Yudho bersujud di kaki Bapaknya, bergantian dengan kaki Ibunya. Yudho menangis
meminta maaf telah membuat mereka kecewa. Yudho berjanji akan mencari cara
mengembalikan modal yang akhirnya hilang bersama kekalahannya. Sesungguhnya ia
ingin rubuh, ingin ingsan, ingin melupakan kejadian yang baru saja dialaminya.
Jika mungkin ia bisa tertidur lagi, untuk kemudian bangun dan mendapati
semuanya hanya mimpi. Bahwa pilihan petinggi itu tak jadi ia ikuti. Bahwa ia tak
punya beban tanggungan uang sebanyak itu! Namun, ia tahu ini kenyataan pahit
yang benar-benar ia alami!
(Temui Aku di Surga: 213)
Pada
kutipan tersebut dijelaskan aktivitas Yudho yang mengurangi sedikit
kecemasannya dengan bersujud di bawah kaki kedua orangtuanya. Hal yang
dilakukan Yudho termasuk rasionalisasi. Mengingat rasionalisasi menurut Hilgard
dalam Minderop memiliki dua tujuan; pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika
kita gagal mencapai tujuan; dan kedua, memberikan kita motif yang dapat diterima
atas perilaku. Rasionalisasi Yudho yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
ini adalah rasionalasi yang pertama.
Sementara
itu, rasionalisasi jenis kedua digunakan dalam penyelesaian tentang konflik
batin yang dipicu atas kesaksian Solikin. Di mana tokoh Solikin mengaku berada
di balik semua kekalahan Yudho dengan menjadi orang suruhan Pak Thamrin
sehingga terjadilah penggelembungan suara, selain itu Solikin juga mengakui
pernah memiliki niatan mencelakakan Malik, namun tidak jadi dilakukan lantaran
takut, apalagi setelah itu Malik benar-benar ditabrak oleh pengendara sepeda
motor bertulis Junkpret.
Yudho
dalam mendengar kesaksian Solikin membuat konflik dalam batinnya semakin
bertambah. Namun, akhirnya ia bisa menerima sebuah kesaksian Solikin. Seperti
digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho terpekur dalam sujudnya yang lama,
dalam mushollah kecil di kompleks kantor Kepolisian Sektor wilayah
Kalinyamatan. Ia ingin mencari jawaban dan petunjuk pada Yang di Atas. Hatinya
terasa damai sekarang. Ia hanya mengandalkan rasa percaya pada Allah, bahwa
segala kerumitan yang ia hadapai akan membawa pada satu hikamh dan akhir yang
indah nantinya. Ia hanya ingin pasrah.
Beberapa saat kemudian ia merasa mendapat
jawaban akan pertanyaan besar dalam hatinya. Tiba-tiba ia teringat saat dulu,
setelah pamit mengundurkan diri dari kios Solikin, jarang sekali ia
berkomunikasi lagi dengan Solikin! Ia terlalu sibuk dengan kios barunya bersama
Malik. Mungkin ada yang tertinggal sejak kepergiannya dari kios itu. Ya, rasa
kecewa yang tak segera teratasi tertinggal hingga menjadi benih kebencian dan
tumbuh menjadi pohon dendam di hati Solikin.
(Temui Aku di Surga: 248)
Pada kutipan
di atas menggambarkan tokoh “Yudho” yang awalnya kebingungan dan tak percaya
akan kesaksian Solikin. Namun, tiba-tiba Yudho tersadar jika mungkin saja
kepergiannya dari kios Solikin membuatnya kehilangan silaturahmi dengan mantan
bosnya. Sehingga, menyebabkan dendam yang berkepanjangan. Sampai membuat
Solikin bekerja sama dengan Pak Thamrin untuk mengalalkan segala cara agar
Yudho kalah dalam pemilihan petinggi.
3.4
Kepribadian Tokoh Utama
Berdasar
analisis konflik-konflik batin dan solusi-solusi yang dilakukan tokoh utama,
maka gambaran tentang kepribadian tokoh utama dapat diungkapkan. Berbagai
peristiwa yang terjadi selalu menciptakan konflik-konflik dan
pertentangan-pertentangan batin yang dahsyat sehingga muncul dalam ketaksadaran
berupa kecemasan-kecemasan dalam batin Yudho. Terjadinya kecemasan-kecemasan
menandai perkembangan atau perubahan-perubahan kepribadian Yudho yang dinamis.
Unsur-unsur kepribadiannya-id, ego, dan superego selalu terjadi
pertentangan-pertentangan dan konflik; pertentangan-pertentangan antara
keinginan-keinginan dengan kenyataan; antara dorongan dari id, ego, dan superego
dengan tekanan-tekanan dari ego dan superego. Adanya kekuatan-kekuatan yang
saling berkonflik itulah Yudho termotivasi untuk menentukan langkahnya.
Berawal dari sejak
Madrasah Aliyah, terbentuklah kepribadian Yudho. Kepribadian itulah yang
kemudian menjadi dasar-dasar pemikiran-pemikiran dalam menentukan langkah. Hal
ini dapat dilihat dari dorongan-dorongan yang mempengaruhi struktur pikir
Yudho. Adapun dorongan yang sangat kuat dalam stuktur pikir Yudho adalah
dorongan untuk mempetahankan hidup.
Peran id dalam
kepribadian Yudho dapat diamati lewat berbagai peristiwa yang berkaitan dengan
tokoh tersebut. Dorongan-dorongan id tergambar pada keinginan-keinginan dalam
berbagai hal, misalnya keinginan untuk memperbaiki hidup atau mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak, keinginan untuk memperoleh rasa aman atas gertakkan
Pak Thamrin, dan keinginan untuk mengubah desa Randuasri menjadi lebih baik
atau keinginan menjadi pemimpin. Dorongan id Yudho yang sangat kuat adalah
naluri pemimpin.
Naluri keinginan untuk
memperbaiki hidup atau mendapatkan pekerjaan yang lebih layak Yudho muncul
ketika Yudho mulai lulus Madrasah Aliyah di mana Yudho mengalami serangkaian
pergantian pekerjaan karena beberapa hal. Sementara itu, ia tak mendemukan
pekerjaan yang menjajikan bagi masa depan. (h. 13). Selain itu, tiba-tiba ia
mendapat tawaran dari Solikin untuk bekerja sama di bidang perkacaan. Namun,
setelah lebih dari dua tahun bekerja pada pemilik wajah yang mirip Rano Karno
itu. Yudho dihinggapi rasa bosan, apalgi selama bekerja ia tak mengalami proses
naik gaji. Hal tersebutlah yang membawa Yudho untuk bercerita kepada Malik, tak
disangka mereka malah membuat bisnis bersama. Di mana Yudho sebagai bos-nya,
sedang Malik sebagai pemilik modal sekaligus karyawan Yudho.
Naluri keinginan untuk
memperoleh rasa aman atas gertakkan Pak Thamrin muncul ketika Yudho menemui
petinggi incumbent itu untuk memperoleh kesepakatan, dan mereka pun membuat
kesepakatan jika tidak akan lagi ada kelompok abangan, dengan syarat tidak ada
penyamaan uang amplop. (h. 192)
Naluri kepimpinan yang
dimiliki Yudho tergambar sangat jelas di novel ini, hal ini diawali dari Yudho
yang begitu kritis memerhatikan aspal yang tiap taun diperbaiki, namun tiap
tahun juga rusak. Hal tersebut menandakan bentuk perhatian kecil dari Yudho
atas desa Randuasri. Selain itu, naluri kepimpinan Yudho muncul ketika ia mau
mencalonkan diri menjadi petinggi, sekaligus menerima ketika dirinya
diberitakan kalah. Serta, memaafkan kesalahan Solikin yang membuat konflik
batin semakin memuncak bagi Yudho.
Konflik batin yang
dialami Yudho lumayan kompleks. Di satu sisi ia ingin memperbaiki jalan desa,
menjadi pemimpin, namun modal tak ada. Di sini kekuatan ego sangat diperlukan.
Ego harus mampu berperan dalam mengambil keputusan-keputusan. Keputausan untuk
mengikuti pemilihan petinggi karena adanya kesadaran bahwa hidup butuh
perubahan, apalagi desa Randuasri tempat tinggla Yudho telah mengalami banyak
kejanggaan selama Pak Thamrin menjadi petinggi.
Kesadaran untuk maju
dalam pemilihan petinggi juga didasari pertimbangan historis. Awalnya, Malik
sahabat Yudho berencana menjadi petinggi. Namun, ia malah wafat terlebih dahulu
sebelum pendalonan ada. Yudho sebagai manusia biasa, merasa membutuhkan bantuan
banyak orang untuk menjalalankan kemulusan dalam menjalankan sistem pemilihan
petinggi di desanya.
Peran superego dalam
kepribadian Yudho dapat dipahami melalui cara-cara yang dilakukan Yudho untuk
mencegah terjadinya konflik antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Usaha-usaha untuk mendapatkan keselarasan dalam hidup yaitu keselrasana antara
keinginan untuk mempertahanakan hidup, keinginan mendapat rasa aman, dan
keinginan untuk menjadi pemimpin, menunjukkan adanya konflik id, ego, dan
superego. Niat baik Yudho untuk menempatkan dirinya sebagai manusia bisa
diterima oleh lingkungan, menunjukkan kemenangan superegonya.
Cara-cara yang
dilakukan Yudho dalam menghadapi atau mengatasi konflik-konflik batinnya,
antara lain dengan melakukan pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan
rasionalisasi. Cara-cara tersebut merupakan keputusan atas dasar
pemikiran-pemikirannya yang dipertimbangkan dengan nilai-nilai moral, sosial,
kultural, dan agama. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa dorongan untuk
mempertahankan hidup dan dorongan rasa aman menjadi sebuah kekuatan yang
mempengaruhi struktur pikirannya. Peristiwa tersebut dapat disimpulkan jika
superego lebih mendominasi kepribadian Yudho. Superegonya selalu berhasil
menggalakan keinginan primitif dari id untuk memperoleh kebutuhan untuk memenangkan
pemilihan petinggi dengan berbagai cara. Apalagi, sabetan-sabetan Yudho
menawarkan untuk ke orang pintar agar memiliki jas ontokusomo dan keris, serta
mengontrol ego agar tidak melanggar aturan moral dari superego dan dunia luar.
Hal tersebut menggambarkan bahwa ego melaksanakan keinginan superego, yakni
memperoleh kepuasan sebagai manusia yang hidup berdasarkan norma-norma yang
berlaku pada masyarakat umum dan norma-norma agama yang telah menjadi ketentuan
Tuhan.
Oleh karena itu, Yudho
mampu bertahan hidup dengan kenyataan ia mampu mengubah sesuai dengan keinginan
ego-idealnya melalui pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan
rasionalisasi, maka ia memperoleh sebuah keberhasilan yaitu mencapai tujuannya
menjadi pemimpin di desanya atau petinggi. Keberhasilan yang diraih Yudho
menempatkannya sebagai lelaki yang memiliki harga diri tinggi.
BAB IV. KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis struktur yang meliputi plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan, latar,
dan tema, dan analisis psikologis yang meliputi konflik batin tokoh utama,
solusi yang digunakan tokoh utama untuk mengatasi konflik batin, dan
kepribadian tokoh utama, novel Temui Aku di Surga dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pemplotan
dalam novel ini yang menggunakan rincian lain, membuat cerita semakin seru,
dimulai dari penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, tahap
klimaks, dan pelaraian. Penokohan dalam novel ini menggunakan teknik dramatik
melalui dialog, percakapan batin, dan lakuan. Pikiran dan cakapan tokoh utama,
juga peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh utama dan tokoh didukung oleh
latar. Tokoh utama memiliki watak statis. Latar sosial didominasi oleh kepercayaan
masyarakat Jepara atas kekuatan dukun atau orang pinar. Selain itu, latar
tempat dan latar waktu tidak hanya sebagai latar belakang, namun menyatu dengan
peristiwa dan penokohan sehingga latar yang dilukiskan dalam novel Temui Aku di
Surga adalah latar sejalan.
2. Konflik
batin yang dimiliki tokoh “Yudho” berawal dari dia yang ingin berhenti bekerja
pada Solikin apalagi gajinya selama dua tahun tidak mengalami perubahan, lalu
kematian malik, pencalonan petinggi, kekalahan dalam pencalonana, serta
pengkauan Solikin atas misteri kekalahan Yudho dan kematian Malik.
3. Solusi
yang digunakan Yudho dalam menghadapi konflik batinnya dengan menggunakan
pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan rasionalisasi.
4. Kepribadian
Yudho didominasi oleh superego, peran superego dalam kepribadiannya dapat
dipahami melalui cara-cara yang dilakukan Yudho untuk mencegah terjadinya
konflik antara dirinya dengan lingkungan sosial. Usaha-usaha untuk mendapatkan
keselarasan dalam hidup yaitu keselarasan antara keinginan untuk
mempertahanakan hidup, keinginan mendapat rasa aman, dan keinginan untuk
menjadi pemimpin, menunjukkan adanya konflik id, ego, dan superego.
DAFTAR
PUSTAKA
Minderop,
Albertine. 2013. Psikologi Sastra.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurgiantoro,
Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Madjah Press.
Nurjanah, Rachma.
2011. Konflik Batin Tokoh Utama dalam
Cerpen “Perempuan” Karya Syarif Hidayatullah Kumpulan Cerpen Pemenang Lomba
Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2009-2010 Kajian Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Sofa,
Ella. 2013. Temui Aku di Surga.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Windiyarti,
Dara. 2005. Konflik Batin Tokoh Utama
dalam Novel Kenanga Karya Oka Rusmini: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud.
Semarang: Univesitas Diponogoro.
LAMPIRAN
A. SINOPSIS
Demi
kepentingan agar tidak spoiler isi cerita dalam novel ini, jadi saya hapus. J
Jika penasaran, silakan dibaca novelnya ya. Bisa pesan ke penulisnya. J
B. Biografi Penulis
Ella Sofa adalah seorang ibu rumah tangga yang gemar
menulis. Karyanya telah terbit pada 20 buku antologi dan dua novel yaitu Rena,
Masih ada Cahaya (pemenang lomba Leutika Prio) dan Temui Aku di Surga (Quanta,
Elex Media Komputindo).
Ibu yang satu ini juga sangat senang mempelajari
seluk-beluk dunia pendidikan serta pernah berkecimpung sebagai tenaga pengajar
di sebuah SD swasta. Kini ia juga menjadi pembina ekstrakurikuler menulis untuk
anak-anak SD.
Ia menuangkan ide-idenya dalam blog sederhana:
http://ellasofa.blogspot.com dan http://anakanakkehidupan.blogspot.com. Jika
ingin menghubunginya, bisa via FB Ella Sofa atau e-mail irkhamna.ela@gmail.com.
Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel "Temui Aku di Surga" Karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud
Reviewed by Dunia Trisno
on
7:38:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment