Umumnya
masyarakat di luar kota tak mengetahui letak Situbondo ada di mana. Mereka,
lebih mengenal Panarukan dibandingkan Situbondo sendiri. Tapi, bukan itu yang
akan dibahas dari kota yang katanya masuk dalam daerah tertinggal mantan.
Kini,
kota yang dihiasi oleh batik khas Situbondo baik di sudut gedung bahkan jalan
rayanya ini semakin gemerlap dengan penulis-penulis yang turut serta
mengenalkan Situbondo. Sebelum melangkah jauh, tentu nama-nama semacam Sungging
Raga, Ahmad Sufiatur Rahman, dan Rusdian Matahari tak asing di telinga dan
hati kalian.
Sungging
Raga, lelaki pemilik blog Surga Kata itu dikenal piawai menulis cerpen. Bahkan,
cerpen lelaki yang pernah kuliah di jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada
ini sudah pernah dimuat di Kompas, Media Indonesia, Republika, dan masih banyak
koran-koran nasional atau lokal lainnya. Tak hanya itu, buku kumpulan cerpennya
pun sudah banyak, seperti Simbiosa Alina
(Gramedia Pustaka Utama), Sarlegas dan
cerita-cerita lainnya (Indie Book Corner), dan yang terbaru Reruntungan Musim Dingin (Diva Press).
Lalu, Ahmad Sufiatur Rahman terkenal
setelah melejitkan novelnya mengenai kiprah Kiai As’ad dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Novel tersebut diberi judul Kesatria Kuda Putih. Selain menulis
novel, karya Sufi sudah banyak melintang di berbagai penerbit nasional, bahkan
dua novelnya diterbitkan di Malaysia.
Sementara,
Rusdian Matahari lebih berfokus kepada dunia essay. Tulisan-tulisannya yang bernas,
menggelitik, dan unik selalu menjadi ciri khas lelaki itu. diluar tiga nama
tersebut, sesungguhnya Situbondo memiliki segudang penulis potensial yang tidak
akan habis untuk diceritakan.
Perlu
diketahui, perkembangan literasi di kota santri ini dimulai dengan perjuangan
yang berdarah-darah. Seperti kisah Moh. Imron yang berharap bisa balikan dengan
mantannya. Penuh perjuangan, Le’!
Walaupun
begitu, rintangan apa pun yang menerjang pergerakan literasi di kota ini lambat
laun menunjukkan hasil. Tak hanya dikenal dengan kota yang melahirkan nama-nama
potensial, kota ini juga menjadi kota paling produktif dalam berkarya di antara
kota-kota lain di wilayah Karasidenan Eks-Besuki. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil penelitian Bu Hat Pujiati (salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jember).
Pergerakan
dan perkembangan literasi itu sendiri tak luput dari peran komunitas. Komunitas
tersebut bernama Komunitas Penulis Muda Situbondo. Diawali dengan media
jejaring sosial Facebook, grup pecinta literasi ini pun ada di dunia nyata. Karya-karya
anggota komunitas pun mulai dikenal massa. Salah satunya adalah Antologi Cerpen
Dermaga Patah Hati. Lewat buku antologi terselenggaralah berbagai event yang
turut menyatukan berbagai penulis.
Antologi
yang bertajuk Situbondo Kita itu tak menjadi akhir dari pergerakan literasi
Situbondo. Mereka para pecinta literasi seolah masih bernafsu untuk menggalakan
pentingnya dunia membaca dan menulis. Karena kebutuhan akan buku yang lumayan
tinggi. Moh. Imron, dkk pun mendobrak alun-alun Situbondo dengan Lesehan Baca. Di
mana lewat acara yang diselenggarakan per malam Minggu itu buku digelar dan
bisa dibaca gratis oleh para penghunjung alun-alun. Sekalipun, entah karena
kesibukan atau pun apa. Kini, kegiatan Lesehan Baca berakhir tanpa jejak.
Tapi,
para pembaca tak perlu khawatir. Bukan pegiat Situbondo namanya jika tidak ada
gebrakan nyata. Komunitas Penulis Muda Situbondo bersinergi dengan Gerakan Situbondo
Membaca membuat terobosan yang sungguh istimewa. Jika Komunitas Penulis Muda
Situbondo bergerak ke arah dunia menulis, Gerakan Situbondo Membaca lebih berfokus
pada membaca. Bak pasangan suami-istri kedua komunitas pecinta literasi itu sedemikian
mesra.
Bagaimana
tidak Pekan Literasik Situbondo tercipta untuk pertama kali. Tak cukup satu
hari, acara yang diawali dengan peluncuran buku Museum Ibu hingga pembahasan
mengenai review penelitian Hat Pujiati itu berlangsung selama empat hari. Lewat
acara itu pula, Ahmad Sufiatur berbagi pengalaman dalam menulis novel.
Tak
cukup sampai di sana, kegelisahan para punggawa-punggawa pegiat literasi tampak
nyata. Setelah hadirnya sebuah portal online bernama Takanta.id. Mereka
mencermati perkembangan arus informasi di kota sendiri yang berfokus kepada
hal-hal negatif, semisal kasus kriminal, dan lain-lain. sementara, konten
ke-Situbondo-an yang sangat kurang. Akhirnya, lewat portal online itu, kita akan
mendapatkan informasi yang disajikan secara menarik tanpa perlu khawatir ada
tendensi akan tulisan pesanan.
Terakhir,
mengutip kata-kata dosen saya bernama Pak Siswanto yang menyatakan bahwa arus
literasi di Jember adalah dampak dari kampus, sementara arus literasi Situbondo
karena kesadaran masyarakatnya. Maka sangat tepat sekali jika perkembangan
Literasi Situbondo kini sungguh kurang ajar!
Perkembangan Literasi Situbondo yang Sungguh Kurang Ajar
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:55:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment