UNSUR DIMENSI
RELIGIUSITAS DALAM NOVEL “KUBAH” KARYA AHMAD TOHARI
Sutrisno Gustiraja Alfarizi/130210402039/Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Sinopsis
Dua
belas tahun selama di Pulau Buru, Karman akhirnya bebas. Tetapi dibalik itu
semua, ia bingung tiada tara. Pasalnya semua dunianya telah berubah, istrinya
telah memiliki suami baru. Sawahnya telah terjual. Dan ia takut untuk kembali
ke Desa Pegaten, takut akan masyarakat tidak menerima keberadaannya.
Tanpa tujuan yang jelas, Karman
kemudian melangkakan kaki berjalan ke arah selatan. Di pojok alun-alun sebelah
sana ia kembali behenti, gamang. Namun akhirnya ia bergerak lagi membelok ke
barat. Dan sekali lagi, kebimbangan mengepungnya. Maka ia hanya mengikuti
pembawaan kaki dan berbelok lalu melangkah ke utara. Hingga ia memutuskan utnuk
makan, lalu mengelilingi alun-alun kota, dan ia menyempatkan untuk sholat.
Sholat. Sebuah hal yang membuat
airmatanya meleleh. Dan akhirnya ia pun memutuskan untuk ke rumah
Gono-Saudaranya.
Di rumah Gono, ia bertemu dengan
Rudio-anak pertamanya, Rudio pun memberi tahu jika anak ketiga Karman-Tono
telah meninggal, pertemuan haru pun terjadi. Pun ketika Bu Gono melihat
saudaranya. Hingga Bu Gono memeluk erat Karman. Kabar kedatangan Karman
menyeruak ke Pegaten. Tini, anak Karman yang tinggal bersama ibunya pun tahu
akan hal tersebut. Ia memutuskan untuk melihat ayahnya bersama Jabir. Ia takjub
dengan pewarakan ayahnya yang gagah.
Karman lahir di pegaten pada tahun
1935. Ayahnya adalah seorang mantri pasar. Waktu itu gaji seorang mantri pasar
bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Namun, masa sulit pun
menyerang mantri pasar tersebut. Ketika masa pendudukan Jepang datang,
orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat sulit. Kurang pangan terjadi
dimana-mana. Karena Ayah Karman memiliki sifat kepriyayiannya, ia tak sudi
makan ubi rebus. Maka ia pun memutuskan untuk melakukan transaksi barter dengan
Haji Bakir. Satu ton beras ditukar satu
setengah hektar sawah. Ayahnya Karman pun wafat karena sifat kepriyayiannya,
pasalnya ia tidak mengikuti barisan Republik malah mendukung pihak penjajah.
Oleh karena itu, para pejuang membawanya ke hutan. Sepeninggal ayahnya, Karman
hidup dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Setelah datang
masa aman, Karman dan ibunya pulang ke Pegaten. Walaupun tidak memiliki
apa-apa, Karman bersyukur karena masih bisa mengumpulkan singkong dari ladang
orang dan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Padahal usianya masih bocah, pun
ia bekerja pada haji Bakir dan ia juga di sekolahkan di sebuah Sekolah Rakyat.
Ketika Hasyim-Paman Karman kembali
ke kampung halaman, ia melihat kecerdasan yang dimiliki Karman. Akhirnya mantan
anggota Laskar Hisbullah ini memutuskan untuk menyekolakan Karman ke tingkat
SMP. Haji Bakir yang memperkejakan Karman di kediamannya pun setuju akan keputusan
Hasyim. Karman merupakan pemuda satu-satunya di kampungnya yang bisa menamatkan
SMP. Sayang, ketika ia telah lulus. Ia bingung dengan pencarian kerja.
Beruntung Haji Bakir masih menerimanya. Dalam kondisi ini, Margo yang sangat
aktif menambah jumlah anggota partainya mengincar Karman untuk dijadikan kader
pilihan. Ia pun membicarakan hal tersebut kepada Triman. Dengan taktik yang
disusun rapi, perlahan mereka mendapatkan mangsanya. Karman bekerja di kantor
kecamatan karena bantuan mereka. Dalam kondisi seperti itulah, Triman dan Margo
sering memberi buku-buku berupa doktrin-doktrin komunis dan pikiran-pikiran
Lenin.
Karman tidak sadar akan hal
tersebut. Masalah dalam hidupnya pun bertambah ketika ia mengetahui, Ifah-anak
Haji Bakir dilamar oleh orang lain. Maka ia memutuskan untuk menemui Haji Bakir
dan hendak melamar juga. Sayang, Haji Bakir membuat bara dalam hatinya. Dan
ketika suami Ifah meninggal, Karman pun berusaha melamarnya. Tapi kembali ditolak
oleh Haji Bakir dengan alasan perubahan sikap Karman yang tak seperti dulu,
kini Karman sering terlihat bersama Suti, perempuan yang sering memuaskan nafsu
orang partai dan ia pun telah tak sholat.
Di tengah masalah yang membalut
hidupnya, Karman mengenal Marni yang kemudian menjadi istrinya. Meskipun Karman
terang-terangan mengakui dirinya Komunis, tapi ia tak pernah melarang
peribadatan yang dilakukan istrinya.
Pegaten kembali memasuki masa-masa
sulit, kepahitan hidup melanda masyarakatnya tepatnya pada awal tahun enam
puluhan. Ironisnya, mereka lebih sering meninggalkan perkerjaan guna menghadiri
rapat-rapat umum. Pada suatu rapat yang penuh hiruk-pikuk, Margo menganjurkan
semua orang makan tikus. Memang, saat itu jumlah tikus di sawah-sawah Pegaten
puluhan kali lebih banyak daripada jumlah penduduk desa itu. sesungguhnya margo
tidak bermaksud mengotori gizi masyarakat, tapi ia ingin mengancurkan nilai
mapan yang ada di tengah masyarakat Pegaten tersebut.
Sesuatu yang dasyhat terjadi di
Pegaten pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965. Marni baru tiga bulan
melahirkan Tono, anaknya yang ketiga. Ia tidak mau tahu bahwa kabar yang besar
dan membingungkan telah tersebar ke mana-mana, tak terkecuali di Pegaten. Ia
hanya ingin pagi-pagi menyediakan sarapan, lalu melepas suaminya di pintu.
Setelah menyiapkan makan siang enam jam kemudian, ia akan duduk membopong Tono
sambil menunggu Karman pulang. Biasanya Karman lebih dulu menyentil si Buyung
sebelum menaruh sepeda di tempat. Atau Karman akan mencubit tengkuk ibu si
Buyung.
Tetapi keinginan Marni tinggal
menjadi harapan khayali. Sejak tersiar kabar yang dahsyat itu Karman berubah
menjadi pendiam. Bahkan senyum Marni pun tak pernah dibalas Karman, begitupun
ia tidak pernah tertarik lagi untuk membopong Tono.
Marni berpikir. Memang sudah banyak
orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga
orang lainnya dikubur di dekat jembatan kali Benfs. “Lalu mengapa suamiku
begitu ketakutan?” pikir Marni.
Marni teringat beberapa bulan
sebelum terjadi peruabahan pada Karman, suaminya itu pernah membuat
poster-poster. Merah, dan ada gambar palu arit. Setahu Marni suaminya menjadi
anggota Partindo. Marni pun menanyakan hal tersebut pada Karman.
“Itulah. Semua kekuatan revolusioner
mesti bersatu. Meskipun aku jelas anggota Partindo, tetapi aku juga seorang
revolusioner. Jadi aku wajib membantu orang-orang yang secita-cita. Yang sedang
kukerjakan itu tidak lain kecuali poster-poster revolusioner.”
Marni percaya dengan penjelasan
Karman. Ia berpikir jika Karman tidak tersangkut paut dengan penyebab
huru-hara. Sementara penangkapan terhadap orang-orang komunis yang telah
mendalangi makar berdarah berlanjut. Kegelisahan menimpa Karman, ia pun
berpamitan kepada Marni untuk pergi ke rumah Triman. Sebelum pegi, ia
menitipkan ketiga anaknya kepada istrinya. Rumah Triman satu kilometer jauhnya.
Di tengah perjalanan menuju rumah Triman, ia terbelalak. Dari jauh, ia melihat
empat–lima lampu senter menyala berganti-ganti. Laki-laki yang berjalan paling
depan membawa lampu pompa.
Cepat Karman menuntun sepedanya ke
sebuah perkarangan kosong, lalu mencari tempat yang baik untuk bersembunyi
sambil mengintip rombangan kecil itu lewat. Bunyi langkah sepatu lars. Telinga
Karman berdenging. Sesudah dekat benar, Karman melihat jelas siapa yang
berjalan di belakang lampu pompa itu. kepalanya tertuunduk. Tangannya terikat
ke belakang. Bajunya bergaris-garing, jalannya bungkuk. Triman!
Seketika ia memikirkan istrinya, ia takut
jika istrinya dianinyaya oleh polisi dan
tentara yang memburu dirinya. Ia berharap Marni memberi tahu keberadaannya.
Karman lebih suka tertembak dibanding
melihat Marni disiksa. Dengan langkah gontai, ia pun berusaha sembunyi. Tempat
pertama yang menjadi Lubuk Waru. Di tempat tersebut, Karman bertemu
Kastaghetek. Seorang tukang bambu yang sederhana dan memiliki kegemaran
menangkap ikan. Kastagethek pun memberi Karman lima ekor ikan. Ia meminta
Kastaghetek untuk merahasiakan pertemuannya dengan alasan tak pantas seorang
priyayi ke tempat hening tersebut. Setelah Lubuk Waru, Karman menemukan tempat
persembunyian selanjutnya. Astana Lopanjang. Sayang, di tempat tersebut ia
ditemukan warga dalam keadaan tubuh yang mengenaskan, pasalnya keadaan Karman
sedang sakit parah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega
menghabisi nyawanya.
Sejak dulu desa itu bernama Pegaten,
juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan
walaupun sebentar. Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru
menjemput Karman dari Kota. Ayah Tini yang baru pulang dari pulau Buru itu
sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.
“Pantas ada gadis manis di Pegatan
ini,” kata Jabir memulai urakannya. “Ternyata ayahmu gagah juga.”
Sepanjang perjalanan pulang menuju
rumahnya, Tini menceritakan keadaan ibunya yang sedang dilema menghadapi kabar
kedatangan Ayahnya. Jabir pun menyuruh Tini untuk tidak terlalu ikut campur,
apalagi meminta ibunya rujuk kembali dengan ayahnya. Sebaliknya menurut Tini,
mereka berdua harus belajar dari pengalaman kedua orangtuanya.
Rumah Bu Mantri kedatangan banyak
tamu, mereka semua berniat menjenguk Karman. Pun Haji Bakir menjenguk Karman.
Ternyata masyarakat Pegaten memiliki sifat yang masih sama seperti dulu: mudah
memaafkan kesalahan orang. Di kesempatan
yang berbeda, Haji Bakir kembali silaturahmi menuju rumah Bu Mantri. Ia berniat
melamar Tini untuk Jabir. Kesepakatan pun terjadi. Karman dan keluarganya
menerima lamaran tersebut.
Karman kembali menemukan seberkas
sinar kasih satang. Dia dipercayai oleh Pak Haji Bakir, orang terkemuka di
desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan,
untuk membangun kubah masjid. Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu terus
mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi pada setiap manusia yang sadar
akan kemanusiannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.
Tini adalah anak Karman.
Dalam novel Kubah “Tini” digambarkan sebagai sosok perempuan yang rendah diri.
Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan berikut:
“Rasa rendah diri itu tumbuh ketika Tini tahu
bahwa Parta bukan ayah kandungnya. Pada saat yang sama pula ia tahu di mana dan
bagaimana ayahnya yang sejati.” (Kubah: 40)
Sifat rendah diri yang
ada dalam diri Tini ini diakibatkan adanya gambaran-gambaran buruk tentang
tahanan politik dari orang-orang yang berada di sekelilingnya.
e. Triman, Margo dan Gigi Baja
Dalam novel ini tokoh
antogis digambarkan pada sosok tiga orang komunis ini. Hal ini tergambar pada
kutipan berikut:
”Margo merasa puas. Ia
bersandar ke belakang, lalu menyalakan rokok. Atasannya membuka
lembaran-lembaran kertas berisi data tentang Karman. Tiba-tiba Margo berkata,
“Bila pekerjaan kita pada taraf pertama telah berhasil, apa yang selanjutnya
bisa saya lakukan?”
Laki-laki bergigi baja
putih itu tersenyum kembali. Tanpa mengalihkan perhatiannya dati kertas-kertas
yang sedang dibaca ia menjawab. Nadanya pasti.
“Jauhkan Karman dari
Haji Bakir, dari masjidnya. Harus ditemukan cara untuk memisahkan Karman dan
tuan tanah dan masjidnya itu.” (Kubah: 88)
Pada kutipan tersebut
dijelaskan tentang siasat licik dua komunis tersebut yakni Lelaki Gigi Baja dan
Margo untuk mendapatkan kader yang sedang diincarnya: Karman. Selanjutnya,
penggambaran sosok Triman dijelaskan pada kutipan berikut:
“Margo pulang ke
Pegaten. Bersama Triman ia memantangkan siasat lebih jauh.” (Kubah: 88-89)
f. Tokoh lataran
Tokoh yang terakhir
adalah tokoh lataran. Tokoh ini hanya berfungsi sebagai latar cerita saja. Di
novel “Kubah” terdapat beberapa tokoh lataran, yaitu Komandan, Ajudan, Parta,
Birin, Asep, Kapten Somad, Mayor Darius, Rudio, Gono, Jabir, Paman Hasyim, Bu
Mantri, prajurit berbaret merah, Pak Mantri, Bu Haji Bakir, Rifah, Pohing,
Kinah, Abdul Rahman, Suto dan Kastagethek.
3.
Latar
Latar dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
a. Latar
Tempat
Latar
tempat merupakan latar yang menggambarkan tempat atau lokasi sebuah peristiwa
itu terjadi.
Tempat
yang menjadi latar dalam novel ini sebagai berikut:
1.
Desa Pegaten
Dalam novel “Kubah” karya Ahmad Tohari. Desa Pegaten
merupakan tempat yang sering dibicarakan atau dijelaskan, dari semua tokoh yang
ada. Seperti dijelaskan pada kutipan berikut:
“Sesudah pengakuan kedaulatan
pada tahun 1949, banyak anggota Laskar Hisbullah meletakkan senjata. Mereka
kembali ke kampung halaman setelah empat tahun ikut mempertahankan kemerdekaan
Republik yang masih muda. Salah seorang di antaranya mereka pulang ke Pegaten.
Dia adalah Hasyim, adik Bu Mantri.” (Kubah: 80)
Pada kutipan di atas menjelaskan tentang situasi
pasca kemerdekaan tahun 1949 banyak laskar Hisbullah yang pulang ke kampung
halamannya. Hal itu juga dilakukan oleh Hasyim, adik Bu Mantri atau Paman
Karman.
2.
Pulau Buru
Dalam
novel “Kubah” karya Ahmad Tohari. Pulau Buru merupakan tempat tinggal Karman
selama 12 tahun menjadi tahanan politik. Hal ini dapat dijelaskan pada kutipan
berikut.
“Waktu menerima surat Marni itu
di Pulau Buru, mula-mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang
terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tak ternilai harganya bagi
seorang suami yang sedang jauh terbuang.” (Kubah: 13)
Pada
kutipan di atas menjelaskan tentang situasi Karman yang tengah menerima surat
dari istrinya, Marni.
b. Latar Waktu
Latar
waktu merupakan latar yang menggambarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi.
Adapun latar waktu yang digunakan dalam novel “Kubah” Karya Ahmad Tohari adalah
sebagai berikut:
1. Oktober
1965
“Geger Oktober 1965 sudah dilupakan
orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa
itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang
taat...” (Kubah : 38)
2. Permulaan
tahun ajaran baru, tahun 1950.
“Karman menjadi anak yang paling
berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baru tahun1950, Karman sudah
menjadi murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak
Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.” (Kubah :
81)
3. Awal
tahun enam puluhan.
“Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun
enam puluhan, sama seperti yang terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang
tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi
waktu itu.” (Kubah : 146)
4. Bulan
Agustus tahun 1977.
“Dari dulu, desa itu bernama Pegaten
juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai
kapan lagi. Tadi malam ada hujan
walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan.
Tanah berwarna coklat kembali setelah beberapa bulan memutih karena tiada
kandungan air.” (Kubah : 186)
c.
Latar
Suasana
Latar suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang
berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan
dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung dalam
suasana tertentu. Misalnya gembira, menegangkan, menyeramkan dan lain-lain.
Adapun
latar suasana dalam novel “Kubah” sebagai berikut:
1.
Gembira dan Sedih
“Waktu
menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula-mula Karman merasa sangat
gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang
tidak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum
membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang
bagus; suaranya yang lebut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni
adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca
surat itu, Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang
dan penuh kerikil seakan mendadak tergelak di hadapannya. Padang yang sangat
mengerikan, asing, dan Karman merasa seorang diri. Keseimbangan batin Karman
terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.” (Kubah : 13)
Pada kutipan di atas
menjelaskan tentang rasa senang yang ada dalam diri Karman ketika menerima
surat dari istrinya, Marni. Tapi kegembiraan berganti suasana sedih tatkala Karman
membaca isi surat tersebut.
2.
Mendebarkan
“Kambing
Pohing tidak bertahan lama. Kibas berbulu putih itu lari. Kambing Haji Bakir
penasaran, lalu mengamuk. Matanya jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-ancang
hendak menyerang seorang gadis kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang itu mengira
Rifah adalah lawannya yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah yang
menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena
tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu.
Tapi Karman bertahan sampai beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih
menggigil ketakutan ketika diangkat oleh Haji Bakir.” (Kubah : 66-67)
3. Menegangkan
“Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati
Karman. Akibatnya, ia mendendam dan membenci Haji Bakir. Karman memulai dengan
enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah.
Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat yang lain bila
menunaikan sembahyang Jumat.” (Kubah : 101)
4.
Menyeramkan
“Ah terserah sampean yang jelas kemarin malam
saya melihatnya. Kemarin ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan
mendarat di rakit ini. Saya kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa
melompat-lompat seperti itu. Eh, Pak Karman ingin tahu ternyata apa,” “Apa?”
“Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya.” (Kubah :
173)
5.
Mengharukan
“Orang
tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang
sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak.
Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana mendadak bisu tetapi penuh
haru-biru.” (Kubah : 196)
Unsur
Dimensi Religiusitas
Lima
Dimensi Keberagamaan
Salah satu kenyataan
yang terjadi dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia adalah fenomena
keberagamaan (religiosity). Untuk
menerangkan fonemena ini secara ilmiah, bermuncullah beberapa konsep
religiusitas. Salah satu konsep yang akhir-akhir ini dianut banyak ahli
Psikologi dan Sosiologi adalah konsep religiusitas rumusan C.Y Glock dan R.
Stark.
Menurut
Glock dan Stark (Robertson, 1988) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu
dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik),
dimensi penghayatan (ekspresiansial), dimensi pengalaman (konsekuensial),
dimensi pengetahuan agama (intelektual).
Dalam
novel Kubah terdapat dimensi-dimensi tersebut.
a.
Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi
pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada pandangan
teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
Hal tersebut
seperti diungkap pada kutipan berikut:
“Dan begitu. Karman tidak pernah
melarang istirnya beribadah, meskipun hal yang demikian bertentangan dengan
ajaran partainya. Bukan Karman juga tidak ingin mengajak istrinya ingkar,
bukan! Karman tidak berani melakukannya! Dari kepribadian Marni, ketenangannya,
terpancar wibawa. Seorang revolusioner muda seperti Karman ternyata mandul
ketika berhadapan dengan keanggunan istrinya.” (Kubah: 143)
Dalam kutipan tersebut
dijelaskan kondisi Karman yang sebenarnya ingin mengajak istrinya ingkar. Tapi,
ia tak memiliki kekuatan untuk itu. Padahal sebelumnya Karman adalah sosok yang
digambarkan memiliki keyakinan teguh pada agamanya. Namun perubahan drastis
dialaminya tatkala pinangannya untuk Rifah ditolak oleh Haji Bakir. Ia pun
tidak melakukan rutinitas peribadatan seperti sebelumnya.
b.
Dimensi praktik agama
Dimensi ini mencakup
perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang yang menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri
atas dua kelas penting, yaitu:
-Ritual,
mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik
suci, baptis, perkawinan dan semacamnya.
Dalam Novel Kubah,
praktik agama kelas ritual ini digambarkan pada kutipan berikut:
“Sering, Bu.
Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan ...”) (Kubah: 47)
Pada kutipan diatas
kata Mauludan menunjukkan ritual keagamaan yang ada dalam Islam. Selain itu
masih ada ritual-ritual yang seperti menjadi budaya di Indonesia seperti
Peringatan Isro’ Mi’raj dan peringatan hari besar Islam lainnya.
-Ketaatan.
Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air. Meski ada perbedaan penting.
Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama
yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahaan dan kontemplasi
personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan di lingkungan
penganut Kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca Injil, dan
barangkali menyayi himne bersama-sama.
Dalam novel Kubah,
ketaatan digambarkan pada beberapa tokoh. Seperti misalnya Rifah.
“Tidak gampang menemukan kalimat yang
pantas untuk melukiskan perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam
sana. Seorang perempuan muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar
di lantai. Rifah masih dalam pakaian sembayang.
Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang
melingkari wajahnya dengan ketat. Mata itu setengah terpejam. Bibir kecil itu
meruncing di kedua ujungnya, bergerak-gerak menggetarkan doa. Wajah yang damai,
alami, nyaris tanpa eksperis apa pun. Tetapi ada sepasang intan airmata yang
membiaskan sinar lampu di depannya” (Kubah: 126)
Pada kutipan tersebut,
tokoh Karman sedang melihat Rifah yang tengah menjalankan sholat malamnya. Dan
Rifah pun juga memohon doa pada Allah usai melalukan sholat. Dalam Islam,
sholat merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Dan ibadah yang
dilakukan Rifah itu pun sangat khusus karena Rifah melakukannya di sepertiga
malam terakhir-Nya.
c.
Dimensi Pengalaman
Dimensi
ini berisikan dan memperhatikan fakta-fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa
seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencpai pengetahuan
subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia
akan mencapai suatu kontrak dengan kekuatan supernatural). Seperti telah
dikemukakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagaamaan,
perasaan-perasaan persepsi-persepsi dan sensansi-sensasi yang dialami seseorang
atau didefnisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang
melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan
Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas trasendental.
Dalam
novel “Kubah” karya Ahmad Tohari. Dimensi pengalaman ini dapat digambarkan pada
tokoh Karman. Hal ini dapat tergambar pada kutipan berikut:
“Tetapi Karman mendadak berhenti gagap.
Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melewatinya tanpa peduli. Namun
akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. “Mari, Pak,
sudah hampir ikamah.”
Dan seperti ada sesuatu yang
mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki halaman masjid.”(Kubah: 30)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan tentang Karman yang akan melakukan ritual sholat.
Padahal ia telah lama meninggalkan salah satu rukun Islam tersebut. Sejarah
kelamnya yang menjadi antek PKI membuatnya melupakan Tuhan-nya. Tapi ketika
terbebas dari Pulau Buru ia pun melaksanakan sholat kembali.
d.
Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu
kepada harapan-harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki
sejumlah minimal pengetahuan mengenai asar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab
suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
“Dan kini mereka memerlukan waktu tiga
bulan lagi untuk memberi Karman bacaan-bacaan yang berisi doktrin-doktrin
partai komunis dan pikiran-pikiran Lenin.” (Kubah: 97)
Pada kutipan tersebut
menjelaskan ketidaktahuan Karman akan doktrin-doktrin yang secara eksplisit
diberikan oleh Kelompok Margo yang jelas-jelas komunis. Hal ini menggambarkan
jika pengetahuan agama Karman tidak terlalu besar. Karena ia mudah goyah
terhadap keyakinan yang dianutnya. Atau dalam Islam disebut Murtad (keluar dari
Islam)
e.
Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi
Konsekuensi berkomitmen
agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan di atas. Dimensi
ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “Kerja” dalam
pengertian teologis yang digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan
bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan
sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama
merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
Dalam novel Kubah, dimensi
pengamalan atau konsekuensi ini digambarkan pada tokoh Karman. Seperti
dijelaskan pada kutipan berikut:
“Pengecut atau bukan, kini bukan saat
yang pantas untuk memikirkannya. Aku, Karman, adalah manusia seperti
manusia-manusia lain di dunia. Selain punya keyakinan ideologis, aku juga unya
rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri dan akal budi. Ya, akal budi. Kini
aku ingin mendengar suara akal budiku sendiri.
“Kini jelas, kamu seorang kader partai
yang munafik.”
“Aku tidak peduli.”
“Tetapi sejarah terlanjur mencataat,
kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa begitu?”
“Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel
karena Haji Bakir tak rela anaknya kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah
orangtuaku dikuasai oleh haji Bakir dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke
lingkaran Margo, aku bermaksud membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku
mendapatkan kembali sawah itu. Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus
terbawa dakan situasi-situasi yang sangat menakutkan ini. aku tak mengerti.
Atau kamu bisa menerkanya?” (Kubah: 160-161)
Pada kutipan diatas
menggambarkan keadaan kalut Karman akibat ia masuk menjadi anggota Margo. Dan
antek PKI. Percakapan antara suara hati dan dirinya itu adalah konsekuensi
terhadap nilai-nilai agama Islam yang telah ia lupakan.
Perspektif
Islam tentang Religiusitas
Islam
menyuruh umatnya untuk beragama (atau berislam) secara menyeluruh (QS 2:208).
Setiap Muslim, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan
untuk berislam. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, sosial, politik atau
aktivitas apa pun, si Muslim diperintahkan untuk melakukannya dalam rangka
beribadah kepada Allah. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, setiap Muslim
hendaknya berislam.
Esensi
Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah
sebagai Yang Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang
Ada. Tidak ada satu pun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari Tauhid.
Seluruh agama itu sendiri, kewajiban untuk menyembah Tuhan untuk mematuhi
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, akan hancur begitu
tauhid dilanggar (Ismail R. Al-Faruqi, 1988). Dapat disimpulkan bahwa Tauhid
adalah intisari Islam dan suatu tindakan tak dapat disebut sebagai bernilai
Islam tanpa dilandasi oleh kepercayaan kepada Allah.
Konsep
religiusitas versi Glock & Stark adalah rumusan brilian. Konsep tersebut
mencoba melihat keberagaman seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi. Keberagamaan
dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga
dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh pula.
Karena itu, hanya konsep yang mampu memberi penjelasan tentang kemenyeluruhan
yang mampu memahami keberagaman umat Islam.
Walaupun
tak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah,
dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan
disejarkan dengan akhlak.
Dimensi
keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan Muslim
terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di
dalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah,
para malaikat, Nabi atau Rasul,
kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha
dan qadar.
Dalam
novel Kubah, dimensi keyakinan tokoh Karman tingkatannya bisa dikatakan tidak
terlalu tinggi. Sebab ia begitu tidak sadar jika keyakinan atau akidahnya telah
dirusak oleh Margo. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Haji
Bakir mempunyai masjid, dan bagi Karman, orangtua itu adalah tokoh agama. Dan
wujud nyata agama di desa Pegaten adalah Haji Bakir itulah! Maka makin sering
meninggalkan peribadatan, Karman merasa makin merasa puas.
Pemberontakan jiwa anak muda itu segera
diketahui oleh Triman dan Margo. Mereka tahu apa yang sedang dibutuhkan Karman
dalam rangka pemberontakannya itu; sokongan dan tepuk tangan! Orang-orang
partai itu dengan senang hati akan memberikannya. Mereka berbuat seolah-olah
menolong si anak malang. Bukan hendak menentramkan jiwa Karman, melainkan
sebaliknya. Melihat ada dua orang yang memberikan dukungan, Karman bersikap
seperti anak kecil yang menangis karena berkelahi dengan teman sepermainan.”(Kubah:
101-102)
Lalu kemudian pada kutipan
“Hanya
setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada
diri Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji
Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani
berterus terang meninggalkan masjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang
agama, Karman sudah pandai menguntip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu
untuk kaum tertindas. (Kubah: 103)
Dimensi
peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat
kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh
dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan
menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa,
dzikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di bulan puasa dan sebagainya.
Dalam
novel Kubah karya Ahmad Tohari dimensi peribadatan sangat tergambar jelas.
Seperti pada beberapa kutipan berikut:
“Haji
Bakir membeli seekor kambing jantan besar. Idul Qurban hampir tiba. Kambing itu
berwarna hitam bersurai dan berjanggut panjang. Sepasang tanduknya sebesar
lengan Karman.” (Kubah: 66)
“Demikian sumur masjid itu selalu ramai
oleh gurau anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir
apabila sembahyang subuh sudah di mulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih
berzikir, anak-anak sudah bubar berhamburan. Mereka kembali ke rumah
masing-masing gurauan gembira.”(Kubah: 70)
Dimensi
pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan Muslim berperilaku
dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi
dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini
meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterahkan dan
menumbuhkembangkan oranglain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berperilaku
jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri,
tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman yang
memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk
hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.
Dimensi pengalaman ini pun terdapat
dalam novel Kubah, yakni digambarkan dengan keadaan Karman yang seperti
menemukan sesuatu yang hilang dibalik dirinya. Seperti pada kutipan berikut:
“Tetapi Karman
menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Se-sen
pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin
memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang
hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila
ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia
berharap memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa
membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti seperti dia masih
dapat diharapkan sesuatu!” (Kubah : 209-210).
Dan yang terakhir : “Karman mendengar
pujian-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua
pujian itu. Tetapi wajah-wajah orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka
yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat
jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga
hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu!
Dalam kebisuannya, mahkota masjid itu terus mengumandangkan janji akan
memberikan hak asasi kepada setiap manusia yang sadar kemanusiaannya. Dan
Karman merasa tidak terkecuali.” (Kubah : 211)
Pada
kutipan di atas digambarkan tokoh Karman yang memiliki sifat menderma. Ia
membangun kubah tanpa mengharap upah se-sen pun.
Hubungan
Antar Dimensi
Akidah sendiri pada dasarnya sudah
tertanam sejak manusia ada dalam alam azali (pra kelahiran). Akidah akan
terpelihara dengan baik apabila perjalanan hidup seseorang diwarnai dengan
penanaman tauhid secara memadai. Sebaliknya, bila perjalanan hidup seseorang
diwarnai pengingkaran terhadap apa yang telah Allah ajarkan pada zaman azali,
maka ketauhidan seseorang bisa rusak. Oleh karena itu, agar akidah seseorang
terpelihara, maka ia harus mendapatkan penjelasan tentang akidah itu dari
sumber-sumber formal Islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Dimensi pengetahuan atau ilmu
menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap
ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari
keberislamanan.
Dimensi
pengetahuan atau ilmu mutlak diperlukan oleh seorang Muslim jangan sampai kita
sebagai ummat Islam menjadi ingkar (murtad) seperti yang dijelaskan pada sosok
tokoh Karman. Oleh karena itu, pengetahuan itu sangat diperlukan. Agar kita
senantiasa eling pada-Nya.
Dimensi pengalaman atau pengahayatan
adalah dimensi yang menyertai keyakinan, pengalaman, dan peribadatan. Dimensi
penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam meraskan dan
mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam
keberislaman, dimensi itu terwujud dengan dekat/akrab dengan Allah, perasaan
doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah,
perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk
ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar
adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan
mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
Dalam
novel “Kubah” karya Ahmad Tohari. Dimensi pengalaman ini dapat digambarkan pada
tokoh Karman. Hal ini dapat tergambar pada kutipan berikut:
“Tetapi Karman mendadak berhenti gagap.
Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melawatinya tanpa peduli. Namun
akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. “Mari, Pak,
sudah hampir ikamah.”
Dan seperti ada sesuatu yang
mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki halaman masjid.”(Kubah: 30)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan tentang Karman yang akan melakukan ritual sholat.
Padahal ia telah lama meninggalkan salah satu rukun Islam tersebut. Sejarah
kelamnya yang menjadi antek PKI membuatnya melupakan Tuhan-nya. Tapi ketika
terbebas dari Pulau Buru ia pun melaksanakan sholat kembali.
Atau bisa juga digambarkan pada
sosok Kastaghetek sebagai tokoh lataran dalam novel ini. Hal ini dpat
digambarkan pada kutipan berikut:
“Dari kampung, jauh di seberang sungai
terdengar kentongan dipukul dua kali. Fajar akan menejalang dua jam lagi. Bulan
hampir tenggelam. Bumi dan seisinya seakan sedang tidur. Langit pun sepi, tak
ada sesuatu yang bergerak. Tetapi di atas rakitnya, Kastaghetek masih sibuk.
Setelah berganti pakaian, Kasta menggelar tikar kecil, lalu berdiri menghadap
ke barat. Di puncak malam yang amat hening, seorang diri Kastaghetek menegakkan
shalat. Zikirnya khusuk. Dipandang dari ketinggian langit, Kasta larut dalam
tasbih semesta. (Kubah: 166)
Ketika rasa takut masih mencengkram hatinya,
Karman sempat berpikir tentang Kastaghetek. Ketenangannya. Dan keikhlasannya
menjalani hidup. Karman Iri. (Kubah: 170)
Ketika seseorang menghadirkan empat
dimensi di atas dalam kehidupannya, sering pengalaman-pengalaman batin yang
sangat individual terjadi. Ketika seseorang melakukan ibadah ritual haji
(dimensi peribadatan/syariah), pengalaman-pengalaman batin yang sangat aneh
terjadi. Ketika seseorang berderma kepada orang lain (dimensi
pengamalan/akhlak), maka dalam hatinya berdesir sebuah perasaan puas yang
halus. Ketika seseorang mendapat penjelasan tentang surga dan neraka (dimensi
pengetahuan/ilmu) dalam kalbunya muncul perasaan-perasaan aneh yang sulit
dipahami. Ketika seseorang sadar bahwa setan selalu menggodanya (dimensi
keyakinan/akidah) maka ada nuansa perasaan subjektif yang sangat kuat
menyelusup dalam sanubarinya.
Keempat dimensi di atas pun
tergambar dalam novel ini. ketika Kamran
meninggalkan segala bentuk peribadatannya ia pernah meninggalkan Islam (murtad)
dengan menjadi antek PKI, itu artinya dimensi pengetahuan atau ilmu yang
dimiliki Kaman bisa dikatakan tidak terlalu tinggi atau memahami. Tetapi ketika
bebas sebagai tahanan politik, Karman pun memulai hidupnya kembali menjadi
seorang Muslim, ia kembali melaksanakan sholat. Hal ini merupakan dimensi
pengalaman atau penghayatan.
Atau bisa juga dijelaskan pada sosok
Karman tatkala ia membangun sebuah kubah, ia mendapat sebuah pengalaman aneh
sebelum yakni menjadi antek PKI bahkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru.
Lalu ia membuat kubah dengan sangat hati-hati, ia niatkan menjadi sebuah
ibadah. Se-sen pun ia tidak mendapatkan upah, dan tatkala ilmu yang didapatnya
mengenai membuat kubah dan membangunnya untuk orang desa. Ia merasa sadar dan
menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Daftar Pustaka
Ancok, Djamaludin. & Suroso, F. N. 1995. Psikologi
Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tohari,
Ahmad. 2001. Kubah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
UNSUR DIMENSI RELIGIUSITAS DALAM NOVEL “KUBAH” KARYA AHMAD TOHARI
Reviewed by Dunia Trisno
on
3:13:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment