Dokpri: Pembimbing Skripsi yang Rasa Ibu Sendiri |
Berbicara
tentang kuliah, tak lepas dari kata menunggu. Proses menunggu itu dimulai sejak
mendaftar kuliah. Sebagai calon mahasiswa kita diharapkan sabar menunggu
pengumuman diterima. Begitu diterima sebagai mahasiswa kita masih menunggu
proses daftar ulang yang sungguh butuh perjuangan yang tak mudah.
Lalu, memasuki dunia
kuliah yang sesungguhnya. Kita kembali menungggu, semisal menunggu dosen memasuki
kelas dan menunggu hati ia memasuki hati kita. #eh. Di balik itu semua,
proses menunggu yang paling membutuhkan kesabaran ekstra terjadi saat mau
menyelesaikan perkuliahan.
Itu pula yang terjadi pada
saya. Tetapi, proses menunggu yang terjadi ternyata membuat kerinduan pada
kalbu. Mulai dari suara yang berisi
kritikan serta revisi, juga rindu akan pertemuan intens demi menyelesaikan
skripsi.
Sebelumnya, saya ingin
bercerita. Perkenalan saya dengan perempuan itu dimulai sejak semester tiga. Waktu
itu, siang mengundang kabut sehingga membuat saya malas kembali ke kost-an. Bagaimana
tidak jam di tangan menunjukkan pukul 12:20, saya yang baru selesai menempuh
suatu matakuliah harus kembali ke kampus jam 14:10 untuk mengikuti matakuliah
selanjutnya. Sementara, langit seakan menumpahkan air matanya. Mengingat keadaan
yang demikian dramatisir itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengisi waktu dengan
mengikuti matakuliah teman.
Dari sana, saya mengenal
perempuan berkacamata itu. Beliau sedang memberi matakuliah Menulis. Di tengah
matakuliah itu, perempuan yang ulang tahun disetiap 12 Maret itu langsung
berkata, “Wah, ada penyusup ya!” ucapnya, diselingi senyum terbaiknya.
Saya hanya menanggapi dengan
senyum pula. Sebab apa, memang waktu itu saya sebagai penyusup. Tapi, penyusup
untuk mendapatkan ilmu lebih kan tak ada salahnya?
***
Waktu pun berjalan, setelah tiga semester
tak ada satu pun matakuliah yang diampuh dosen tersebut. Barulah semester
empat, saya sering mendengar petuahnya lewat matakuliah Teori Belajar Bahasa,
Analisis Buku Teks, dan Penulisan Karya Ilmiah.
Selama perkuliahan,
beliau selalu memberikan materi yang ciamik. Tak lupa disertai pertanyaan yang
menggelitik. Sehingga selalu menuntut mahasiswa berpikir ekstra dan belajar
lebih.
Saya masih ingat, kala
ujian Teori Belajar Bahasa.
“Bahasa pertama itu apa?”
tanya beliau.
Dari ketiga saya menjawab
jika bahasa pertama itu adalah bahasa ibu seperti bahasa Madura, bahasa Jawa, dan
bahasa daerah. Sementara yang lain menjawab bahasa Indonesia.
Beliau tak puas akan
jawaban ujian lisan itu dan kembali mengulang pertanyaan pada saya.
“Semua bahasa bisa menjadi
bahasa pertama, Bu. Bergantung keluarga dan lingkungan membentuk bahasa anak.” Simpul
saya setelah mendengar jawaban ketiga teman.
Beliau langsung
tersenyum. Setelah itu, usai sudah ujian semester secara lisan itu. Pertemuan-pertemuan
selanjutnya terjadi dengan dosen itu. saya termasuk senang ketika beliau
mengutarahkan materi di kelas. Tak hanya di kelas, saat saya sharing mengenai berbagai hal di ruangan
beliau. Beliau selalu menyambut hangat.
***
Apalagi dengan berjalannya waktu, tepatnya
semester enam para mahasiswa dituntut untuk memiliki judul penelitian. Maka di
pagi yang segar itu, saya mendatangi ruangan beliau. Dan mengalirlah dialog
rasa curhat itu.
“Bu, Trisno bingung
memilih judul penelitian. Awalnya ya, ingin penelitian pembelajaran sastra di
sekolah. Mengenai resepsi pembaca siswa. Dosen pembimbingnya sudah ditentukan. Pembimbingnya
Bu Endang dan Bu Ida. Tetapi, ketika pertama kali bimbingan sama Bu Endang. Beliau
sebenarnya tidak bermasalah dengan topik yang Trisno ambil. Hanya saja merasa eman, sebab Trisno dipandang memiliki
keterampilan menulis. Yang lebih bermanfaat ketika diterapkan pada siswa. Kalau
soal menulis ya, Bu. Memang bermanfaat sih, tapi tetap saja bingung, yang jelas
saya tidak ingin PTK.”
“Loh? Saya rasa Mas
Trisno memang konsennya di sastra. Tetapi, saran pembimbing memang perlu dipertimbangkan.
Atau begini sajaa, kenapa tidak membuat penelitian pengembangan bahan ajar
saja. Mas suka nulis cerpen kan?”
Saya langsung mengangguk.
“Coba dalam kurikulum
2013 menempatkan setiap teks terdiri atas struktur, isi, dan kebahasaan. Mas
ingat strukturnya apa saja?”
Saya langsung menjawab dengan
cepat. Dimulai dari abstrak, orientasi, komplikasi, resolusi, evaluasi, dan koda.
“Nah, dari sana struktur
teks cerpen dekat ke unsur apa dalam teks cerpen?”
“Alur.”
“Kira-kira siswa bingung
tidak membedakan alur dan struktur?”
Saya langsung tersenyum
mendengar pertanyaan itu. dari sana saja sebenarnya sudah terdapat masalah yang
bisa diselesaikan. Setelah itu, kami terus diskusi hingga saya merasa perlu diadakan
pengembangan bahan ajar menulis teks cerita pendek.
Pada hari itu pula, saya
langsung berburu referensi berupa penelitian sejenis yang terdapat di internet dan
Permendikbud terbaru. Tak hanya itu, pencarian buku di perpustakaan langsung dilaksanakan.
Setelah membaca semua
referensi, saya ramu kembali menjadi sebuah proposal judul. Barulah, pada Jumat
pagi. Saya menghadap Bu Endang.
“Bu, Trisno sudah
mempertimbangkan saran Ibu.”
“Jadi?”
“Trisno akan ambil
skripsi tentang menulis cerpen, tetapi bukan PTK. Judulnya Pengembangan Bahan
Ajar Menulis Cerpen Berdasarkan Pengalaman Orang Lain. Jadi begini ...”
Saya langsung
menceritakan kondisi bahan ajar menulis teks cerita pendek, seperti dibutuhkannya
konsep perbedaan antara alur dan struktur teks cerita pendek dan pembahasan
gaya bahasa yang lebih rinci.
“Lalu, berdasarkan
pengalaman orang lain maksudnya apa?”
“Tema dalam buku teks itu
kan Menemukan Solusi atas Masalah Kewirausahaan. Jadi, Trisno ingin tetap
mempertahankan tema itu. Lalu, teknik menulisnya nanti memakai ATM (Amati,
Tiru, dan Modifikasi) caranya dengan menyaksikan sebuah video tentang mahasiswa
bidikmisi yang juga sukses berwirausaha, sampai ia diundang Kick Andy. Dari sana
unsur motivasi siswa bisa turut bertambah.”
“Saya setuju, tetapi
kalau judulnya seperti itu. Coba minta ke Bu Ida selaku kombi untuk mengubah
susunan pembimbing. Saya jadi pembimbing dua, lalu Bu Arju menjadi pembimbing
satu.”
Ya, nama beliau Bu Arju. Sejak
saat itulah saya menantikan ibu dosen itu disetiap hari yang saya punya.
Tetapi, masalah belum
berakhir.
“Aku emoh jadi pembimbing satu Mas Trisno. Aku bukan dosen sastra. Jadi,
pembimbing dua saja ya, Mas.”
Mendengar itu, semangat
yang menjalar membara langsung sirna seketika. Akhirnya, saya kembali menemui
Bu Endang keesokan harinya.
“Begini loh, Mas. Yang ngajar
matakuliah Penulisan Buku Ajar siapa?”
“Bu Arju.”
“Jadi, yang kuat teorinya
siapa?”
“Bu Arju.”
“Ya sudah, Bu Arju
pembimbing satu. Saya kok nggak pede jadi pembimbing satu, Mas.”
Saya kembali bingung. Sehingga
memutuskan kembali curhat ke Bu Ida.
“Duh, Trisno jangan
pernah mengawali sesuatu dengan kebingungan.”
Perkataan Bu Ida itu bak
cambuk yang membuat luka di tubuh saya. Tetapi, memang ada benarnya sih. Selama
ini, saya selalu bingung. Dan untungnya, setelah curhat dengan Bu Ida. Bu Arju
kembali ke ruangannya.
“Kasihan Trisno, Bu. Jika
Ibu nggak mau jadi pembimbing utama, Bu Endang juga nggak mau. Kapan dia mulai
penelitian?”
Bu Arju pun langsung
menyetujui saran Bu Ida. Sejak saat itu pula, saya benar-benar mulai menunggu
beliau. Tepatnya, seminggu setelah saya bertarung di ajang Peksiminal (Pekan
Seni Mahasiswa Regional Jawa Timur).
Perempuan yang Kutunggu Disetiap Hari yang Kupunya (Bagian Pertama)
Reviewed by Dunia Trisno
on
9:41:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment