Pertemuan yang Tak
Diduga
Tahun berganti tahun, kini setelah
peristiwa di telepon Bunda Asma saya telah menginjak bangku kuliah di
Universitas Jember tepatnya semester
empat. Awal kuliah di semester ini dimulai di pertengahan Februari.
Tapi, di akhir Januari ada poster di Facebook
yang ramai membicarakan jika Asma Nadia akan ada acara talk show kepenulisan.
Saya segera menghubungi pihak panitia
yang tertera sebagai narahubung. Dan gayung pun bersambut, pendaftaran via SMS
telah selesai. Kini, hanya menunggu pembayaran secara langsung. Saya berencana
membayar ketika di Minggu perdana kuliah. Uang lima puluh ribu telah saya
sisihkan secara khusus.
Selain saya, turut pula Ocvida--- teman
kuliah--- yang juga berencana mengikuti kegiatan ini. Kami mendaftar ke
panitia bersama-sama, tempat kegiatan acara adalah Politeknik Negeri Jember.
Usai, mengontak panitia, kami berdua menunggu di beranda kampus.
Tak lama berselang, seorang perempuan
berkerudung menutupi dada mendatangi kami.
“Maaf Mbak mau tanya perbedaan tiket
VIP, gold, dan perak apa ya?” tanya saya.
“Kalau yang VIP bayar duaratus ribu
ribu dapat kesempatan foto bareng dan makan malam dengan Asma Nadia, terus
kalau tiket gold hanya dapat kesempatan foto bareng, dan perak hanya mendapat ilmu, tanpa proses foto
bareng.” Terang Mbak Panitia.
Saya melirik Ocvi, meminta pendapat.
Enaknya memilih tiket yang mana?
“Aku ingin yang seratus ribu, Gus.
Tapi, uangku hanya limapuluh ribu.” Ucap Ocvi, ceplas-ceplos.
“O gitu, ini ada ATM. Masih ada
saldonya duaratus ribu. Kita ngambil dulu ya! Mbak bisa nunggu kan?”
Mbak Panitia mengangguk.
Saya segera menstrater sepeda motor
yang digunakan Ocvi menuju ATM terdekat. Tanpa proses mengantri, akhirnya saya
menekan tombol yang mengeluarkan dua lembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai.
“Ini Mbak.” Kata saya membayar tiket.
Mbak Panitia segera mencatat nomor
kami, tiket yang saya pegang bertulis G0002, sedang punya Ocvi G0003. Tiket
tersebut berwarna kuning.
“Makasih ya Mbak.” Ucap kami bersamaan,
lalu pamit dari hadapannya.
Hari yang ditunggu tiba, tanggal 28
Februari datang. Pagi seusai kuliah leksikografi, saya mendapat kesan kesal dan
sebal terhadap panitia. Pasalnya, acara yang di-banner tertulis jam delapan pagi malah menjadi jam satu siang.
Panitia dengan sabar menjelaskan kepada
saya.
“Maaf
Mas, masalahnya ada di transportasi.”
Ahh. Mungkin dari Surabaya, Bunda Asma
menaiki pesawat kecil menuju Jember. Emang Bandara di Jember kembali
beroperasi, pikir saya.
Saya tak menjawab SMS dari Mbak
Panitia.
Waktu tersebut, segera saya gunakan
untuk menulis surat spesial untuk
Bunda Asma Nadia setibanya di kost-an.
Tiga lembar surat akhirnya selesai dibuat, tanpa ba-bi-bu saya segera menuju tempat fotocopy yang buka. Selain itu, saya juga membeli amplop untuk
membungkus surat tersebut.
Tak ada yang bisa diberikan, selain surat kepada Bunda Asma.
Apalagi, uang di dompet dan ATM sedang tak bersahabat. Hibur saya dalam batin.
Di kost-an saya dikejutkan dengan
tersingsal-nya tiket saya. Seingat saya, meletakkan kwitansi dan tiket tersebut
di novel yang sudah saya baca. Tapi, ketika dicari malah tidak ada. Saya terus mencari
di buku-buku yang lain. Tapi tak ada. Sedang jam sudah menginjak angka duabelas
lebih, saya pun berinisiatif menanyakan kepada panitia. Apakah boleh tidak
menggunakan tiket?
Mbak Panitia memperbolehkan dan
menyuruh saya untuk segera ke TKP, apalagi Asma Nadia sudah ada di tempat.
Mandi dan salat itulah yang saya lakukan sehabis menghubungi panitia. Dan
anehnya tiket yang digunakan, malah ada di buku yang sebelumnya saya cari.
Seperti kekuatan doa saja.
Dan proses ketemu Asma Nadia tidak
berhenti sampai di situ ujiannya, entah karena Ocvi berdandan terlalu lama atau
urusan lain? Membuat saya menunggu lama di depan gang kost. Jam menunjukan jam
satu lebih sedikit, tapi tak ditemukan batang hidungnya.
Dan akhirnya, setelah menunggu waktu
cukup lama. Serta dalam suasana yang dramatis, mengingat waktu Ocvi datang
hujan ikutan datang. Kami pun tanpa banyak ngobrol langsung segera menuju
tempat.
“Aula Soetrisno Widjaya.” Kata saya
menanyakan pada satpam.
Satpam tersebut menunjuk sebuah gedung
yang telah ramai dengan pengunjung. Selang beberapa menit, tentunya usai
memakirkan sepeda motor. Kami mengisi daftar hadir, Mbak Panitia dengan penuh
kebaikan mengantar kami ke kursi yang tertera di barisan kedua paling depan.
Mata elang saya bereaksi mencari sosok
tubuh penulis yang telah lama di-idolakan itu. Ah, itu dia. Sosok perempuan
berkerudung pink. Dan wajah yang
penuh keteduhan.
“Beruntung berada di barisan paling
depan Bunda Asma Nadia cantik.” Bisik saya dalam hati. Kemudian ucapan tersebut
dijadikan status di Facebook.
Entah berapa kali saya menulis status
tentang Bunda Asma Nadia hanya berbeda jarak menit. Saya terlalu gopoh bertemu
dengan idola. Usai, pembawa acara menyerahkan acara ke seorang moderator
berjenis kelamin lelaki (saya lupa namanya?). Pemberian materi segera dimulai.
Slide power point langsung terbentang,
tak banyak yang saya tulis. Tapi ada beberapa kata yang saya anggap pantas
untuk saya jadikan coretan di block note.
Yakni:
1.
Setiap
orang bisa menulis, tapi tidak semua punya pisau bedah untuk menulis.
2.
Orang
gagal berusaha mencari alasan, orang sukses berhenti mencari alasan.
3.
Penulis
dapat berkah dari Allah untuk melihat keindahan di bagian bumi-Nya yang lain.
4.
Sehebat
apa sih dia, hingga layak mendapat air matamu?
Kebiasaan grogi saya muncul di tengah
pemaparan materi dari Bunda Asma Nadia. Saya pun mencari kamar mandi di balik
gedung dan sekembalinya ke kursi. Saya kehilangan banyak waktu, pasalnya sesi
tanya-jawab sebentar lagi dimulai.
Saya berusaha menunjukan tangan,
sebelum kesempatan ini jauh-jauh menyiapkan pertanyaan untuk beliau. Sayang,
bahkan sampai sesi kedua. Saya tak mendapat kesempatan. Apalagi yang meminta
pertanyaan lumayan banyak.
Dari berbagai orang yang bertanya, saya
rasa pertanyaannya kurang spesifik. Seperti:
1.
Buku
apa yang paling berkesan?
2.
Membangun
mood ketika menulis?
3.
Mengapa
kita harus menulis dan bagaimana ketika kehilangan motivasi?
4.
Cara
mudah menjadi penulis?
5.
Apakah
boleh cerpen dijadikan novel? Apalagi cerpen tersebut telah dimuat di suatu
media?
6.
Apakah
butuh perasaan ketika menulis?
7.
Teori
menulis?
Adapun jawaban dari pertanyaan
tersebut, sebagai berikut:
1. Setiap buku yang ditulis memiliki kesan
sendiri, seperti ketika menulis Pesantren Impian. Saya merasa jika tiba-tiba
menulis menjadi lebih gampang. Di cerita Emak Ingin Naik Haji, meskipun
termasuk cerpen, tapi konfliknya banyak. Catatan Hati Seorang Istri, pembaca
dari segala usia dan agama. Surga Yang Tak Dirindukan (Istana Kedua) novel
terlama yang ditulis, Assalamualaikum Beijing menemukan kesulitan dalam sebuah setting. Dan lain-lain.
2. Jangan percaya dengan mood, yang dibutuhkan adalah perasaan.
Karena perasaan adalah kekayaan dan sebuah potensi yang luar bisa. Misal kita
patah hati, tulis saja yang berbau patah hati. Pas banget kan dengan situasi?
Dan ingat, perasaan apapun yang dilalui penulis bisa menjadi cerita.
3. Tidak ada yang namanya orang malas,
yang ada adalah orang yang tidak memiliki motivasi. Motivasi menulis, bisa dari
sosok Ibu yang tidak pernah mengeluh. Atau sebuah masalah yang menjadikan kita
sebagai pendendam positif. Pendendam positif yang dimaksud sebagai contoh
adalah Lady Gaga, ia mengubah semua luka yang diperoleh hingga menjadi terkenal
seperti ini. Menulis itu gampang dan tak perlu modal, tidak ada diskriminasi.
Karena karya yang berbicara. Saya berharap, seusai acara ini. Saudara semua
bisa menulis buku, jika sudah selesai, mohon colek di Twitter.
4. Cara mudah menulis, misal umumunya
novel itu 100-150 halaman, kita ambil jalan tengah yakni 120 halaman.
Menulislah setiap hari, selama setahun. Maka selama sehari kita hanya butuh
1/3 halaman. Lalu jadikan orangtua
sebagai motivasi. Cara pintas membahagiakan orangtua adalah menjadi penulis.
5. Bisa ditawarkan ke penerbit, tapi
hati-hati jika cerpen sudah difilmkan. Umumnya, sudah dikontrak. Maka
konsultasi dulu dengan PH terkait. Ada beberapa cerpen saya yang dikembangkan
menjadi novel, misal Rumah Tanpa Jendela dari Jendela Rara dan Cinta Di Ujung
Sajadah.
6. Bangun eksistensi dalam menulis dengan
cara, sering menulis, kirim ke media, tanpa meninggalkan pekerjaan. Karena
penulis bisa berasal dari profesi manapun.
7. Teori? Lupakan setiap teori, menulis
saja dulu dengan hati. Muntahkan yang ingin dimuntahkan. Setelah itu, lupakan
selama 2-3 hari. Dan kembali membaca, tapi dari kacamata kita sebagai seorang
editor. Dan secara umum penulis itu wajib membaca, karena membaca adalah
saudara kembar menulis, juga menambah wawasan juga. Tentu, jika kita membaca
juga bisa belajar dari penulis lain. Pilih bahan bacaan yang pas, urusan buku
kita mau menjadi bestseller, pembaca
dan waktu yang menentukan. Dalam mencari buku, carilah yang dekat dengan genre
yang kita tulis. Novel yang difilimkan wajib dibaca, karena PH mengangkatnya
menjadi film butuh uang banyak. Semua penulis itu berjuang pembedanya adalah
tekad untuk mengalahkan kesulitan yang ada. Kalau tidak menulis, kita tidak
akan menemukan kesulitan. Dan tips terakhir adalah kita butuh komunitas yang
memberikan kritikan. Karena kritikan yang bisa mengubah kita, bukan pujian.
Saya mangut-mangut mengerti mendengar
jawaban satu per satu dari Bunda Asma, usai acara tersebut. Rombongan VIP dan
gold diberi kesempatan foto bareng ditempat yang ekskulusif. Oya, saya lupa
memberitahukan, jika ternyata Bunda Asma Nadia mau berfoto dengan semua
termasuk peserta yang lima puluh ribu. Makanya, pihak panitia mengembalikan
uang lima puluh ribu saya dan Ocvi. Heheh. Beruntung ya? Tapi, meskipun begitu,
saya mendapat kesempatan foto di tempat VIP.
“Ini Gusti, Bund. Dulu Bunda pernah
telepon Gusti lho!” kata saya mengingatkan.
“Dalam rangka apa?”
Ah, waktu telah lama. Sudah hampir tiga
tahun, jelas saja beliau lupa.
“Waktu itu, Gusti komunikasi di Fanpage Bunda. Terus, Bunda janji mau
menelpon ketika sampai Indonesia. Gusti memberi nomor di Fanpage. Selang beberapa hari, Bunda menepati janji untuk telepon
Gusti. Meskipun bentar. Bunda ngasik semangat dalam menulis dan belajar.”
kenang saya sambil meminta tanda-tangan di novel Assalamualaikum Beijing.
Saya segera menyuruh Ocvi memotret saya
kalau tidak saya tiga kali. Entah posenya menjadi apa? Heheh, ora urus?
Kini gantian Ocvi yang berfoto dengan
Bunda Asma, saya gantian menjadi fotografer-nya.
Usai acara, saya bergabung dengan Mas Eric dan Mbak Nadya, penulis yang dikenal
melalui Facebook. Kami pun berbicara
dan sharing macam-macam. Tentang
naskah saya yang ditolak oleh penerbit, ternyata Mas Eric dan Mbak Nadya juga
mengalami hal yang sama.
Kami berbicara ngalor-ngidul, apalagi
hujan masih membelai di luar sana. Ketika melihat Mbak Panitia yang sedang
lewat, tanpa permisi ke Mbak Nadya, Mas Eric, dan Ocvi, saya segera mendekat
memberi bungkusan berisi surat dengan amplop surat.
“Titip ini untuk Bunda Asma Nadia ya,
Mbak.” Kata saya.
“Ya, Mas.” Jawab Mbak Panitia.
Saya langsung berterima kasih. Lalu,
langsung bergabung kembali dengan teman-teman. Dan setelah hampir Magrib, ada
sebuah adegan yang membuat saya ketemu dengan Asma Nadia lagi?
“Mas, kakiku sakit. Jadi nanti malam
nggak bisa ke acara makan malam.” Kata Mbak Nadya.
Saya prihatin, melihat kaki Mbak Nadya
yang baru kecelakaan.
“Ganti Gusti saja.” Saran Mas Eric.
“Duh, tempatnya di mana Mas? Kalau jauh
aku nggak ada kendaraan.”
“Biar Mas Eric yang jemput, Gus.” Saran
Mbak Nadya.
Mas Eric menyanggupi, Mbak Nadya segera
memberi tiketnya. Saya senang dan serasa mendapat rejeki yang menumpuk. Hujan
terus membelai, saya dan Ocvi menembusnya dengan kepalang basah. Sampai di kost-an beberapa helai baju lupa
terangkat dan ikut basah kuyup, termasuk handuk.
Saya tersenyum memandang jemuran
tersebut. Tangisan bumi kian menderu sejak saya pergi dari acara tersebut,
bahkan sampai jam tujuh hujan terus beradu. Dan, saya memutuskan untuk meminjam
jas hujan pada teman kost-an. Akhirnya, Mas Eric pun datang menjemput. Segera
saya update status.
Siap-siap makan malam dengan penulis
idola: Asma Nadia.
Tulis saya di Facebook.
Dan selang beberapa detik banyak sekali
komentar yang menghampiri. Saya tidak peduli, fokus saya adalah makan malam
dengan Asma Nadia. Jangankan di hotel berbintang, di pinggir jalan pun saya mau
(biasanya memang makan di pinggir jalan ya? Hehehe). Setibanya, di hotel.
Panitia menyambut kami. Dan memberitahukan jika acara makan malam di lantai
tiga.
Sekitar
Lima Senti dari Asma Nadia
“Gusti pernah ditelepon saya lho?”
cerita Bunda Asma Nadia sebelum kami makan malam.
Oya, peserta yang menggunakan VIP ada
tujuh orang, terdiri dari laki-laki empat orang termasuk saya yang menggantikan
Mbak Nadya, lalu tiga orang perempuan.
“Ya, cuma dua menit.” Jawab saya.
“Masih untung ditelepon, kenal saja
kagak.” Canda Bunda Asma.
“Waktu itu pas UN, aku kan belajar
bareng dengan teman-teman. Sebelumnya, aku komunikasi saya Bunda di Fanpage. Terus beliau janji setibanya di
Indonesia. Mau telepon aku. Dan ternyata Bunda benar-benar menelpon.” Kenang
saya.
Peserta VIP yang lain seperti menahan
iri. Saya hanya tersenyum menyaksikan ekspresinya. Kami terus bercerita hingga
jam menunjukan sekitar setengah delapan malam. Baru kami memulai acara makan
malam.
Prasmanan. Begitulah model makan malam
kali ini. Dengan tanpa malu, saya mengambil banyak nasi dan lauk. Maklum anak
kost? Hehehhe. Setelah itu, kami langsung duduk di meja makan. Dan betapa
beruntungnya saya, duduk di sebelah kiri Bunda Asma Nadia sekitar lima senti
meter. Sambil makan, kami terus bercerita.
Dua teman yang datang dari Lamongan
menanyakan proses pembuatan Rumah Baca AsmaNadia.
“Seharusnya Adik membuat RBA juga.”
Saran Asma Nadia pada saya.
“Untuk RBA di daerahku, sudah ada,
Bund. Namanya RBA Panarukan-Situbondo, pengelolanya Bu Faridah.” Jawab saya.
“Titip salam ya sama beliau.”
Saya mengangguk.
Sebuah panggilan telepon masuk di stupid phone saya. Panggilan dari Ayah.
Berhubung saya sedang makan, saya tidak mengangkat telepon tersebut. Begitupun
dengan panggilan kedua dan ketiga. Apalagi saya ini, begitu asyik bercerita
ini-itu dengan idola.
“Bund, kok bisa sih di novel Bunda yang
Assalamualaikum Beijing itu punya surprise seperti itu .....”
“Gusti spoiler.” Jawab Bunda, “Tuh, ada
yang belum baca. Jadi bikin penasaran.” Tunjuk Bunda, pada seorang Mbak.
“Sebenarnya di novel-novel Bunda juga
ada yang namanya surprise. Seperti di
Ummi Aminah yang dibuka dengan adegan Ummi Aminah menangis melihat seorang
lelaki yang ditangkap polisi. Lelaki itu siapa? Tidak dijelaskan itu siapa? Apa
anaknya atau suaminya? Jika anaknya, anak yang mana, kan ada tujuh. Terus di
Pesantren Impian, tokoh ditulis Si Gadis. Si Gadis yang mana? Gadis di novel
itu ada banyak? Surprise sangat
dibutuhkan dalam cerita.”
Saya mengangguk tanda setuju.
Ayah kembali menelpon.
“Bund, maaf ya, mau ngangkat telepon
Ayah.” Pamit saya.
Saya segera ke kamar mandi guna
menerima panggilan dari Ayah.
“Assalamualaikum,
Nak. Sudah makan?” suara Ibu langsung terdengar.
“Walaikum salam. Sampun, Bu.” Jawab saya.
Kemudian terjadilah dialog antar kami
sekitar tiga menitan. Lalu, saya kembali pada tempat makan. Beberapa peserta sibuk berfoto dengan Asma Nadia
secara bergantian. Saya pun melakukan sekitar tiga pose. Setelah itu, kami
beramai-ramai berfoto.
Dan tepat jam sembilan malam, Bunda
Asma Nadia minta diri guna istirahat. Saya segera mengeluarkan note book kecil untuk meminta buah
tangan dari Bunda.
“Ah. Yang tadi masih belum cukup.” Kata
beliau.
“Ya, Bund. Kata-kata yang tadi kan di
novel. Tapi sekarang, aku ingin Bunda nulis khusus untuk Gusti sebagai
motivasi. Nah, judul tulisannya itu. Dari Bunda Untuk Gusti.”
Teman-teman VIP tersenyum melihat
tingkah laku saya.
Dari Bunda Untuk Gusti
Perjuangkanlah mimpi-mimpimu. Jika bukan kamu. Siapa yang
akan memperjuangkannya.
No excuse!
Asma Nadia.
“Terima kasih, Bunda.” Ucap saya
kemudian.
Dan teman-teman VIP yang lain begitu
kreatif, mereka meminta tanda-tangan di belakang hapenya. Saya pun ikutan.
“Nanti hapenya dijual lho.” Canda
Bunda.
Beberapa diantara kami tersenyum. Dan
setelah, sekian waktu menunda Bunda istirahat. Akhirnya, kami mengalah dan
pulang. Tentu sebelum itu, peserta VIP dan panitia berfoto bersama.
Ngobrol
dengan Mas Eric
Bertemu dengan Asma Nadia merupakan
mimpi saya, selain bertemu dengan idola yang lain tentunya. Dan kejadian talk show kepenulisan merupakan hal yang
tidak saya sangka sebelumnya. Mengingat Kabupaten Jember yang termasuk kota
sedang, dikunjungi penulis ternama seperti beliau.
Dan keajaiban makan malam dengan beliau
juga datang, tanpa disangka-sangka. Selain itu, saya juga menambah link pertemanan. Mas Eric yang awalnya
hanya teman FB kini bertatap muka secara nyata. Dan berkat kenal dengan dia,
saya ikut kenal dengan Mbak Nadya yang ternyata masih satu almamater.
Sepulang dari acara, saya masih ngobrol
dengan Mas Eric di depan double way. Kami terus sharing kepenulisan sampai minuman kami habis. Dan karena sakit
perut, saya langsung meminta diri.
Renungan
dari Kejadian Bertemu Idola
Pertemuan indah dengan Asma Nadia
apalagi makan malam yang tidak disangka-sangka itu merupakan sebuah anugerah
yang tidak terkira. Namun, menambah kelebayan
saya di Facebook. Entah berapa
kali, update status tentang beliau.
Bahkan, ketika makan malam dan mendapat telepon dari orangtua, saya malah tak
segera mengangkat.
Padahal, orangtua adalah hal yang
paling utama. Sebagai anak, saya tiba-tiba tersadar. Jika mengutamakan idola
dibandingkan orangtua. Sejatinya, idola sebenarnya seorang anak itu adalah
orangtua.
Bukan maksud saya menyalakan idola sampai melupakan orangtua. Justru, di tulisan ini saya menyalakan diri sendiri. Seorang teman pun mengingatkan hal tersebut melalui telepon selang beberapa hari setelah acara.
“Gusti boleh mengidolakan seseorang.
Tapi, jangan lebay. Memang dengan adanya idola, setidaknya kamu punya motivasi
lebih maju. Maka wajar jika kamu sampai update
status dan lain-lain sampai heboh segala. Tapi yang wajib kamu ingat adalah
orangtua. Apakah kamu menempatkan idola di atas orangtua? Atau sebaliknya.
Orangtua telah berjuang hebat untuk masa depan kamu. Mereka-lah motivasi
terbesar kamu untuk maju, bukan idola.”
Ahh. Sejenak saya langsung mengingat
kejadian yang mengakibatkan saya tidak segera menjawab telepon dari orangtua.
Malu. Dan penuh penyesalan. Itulah yang
tergambar dari mimik wajah saya.
Ditulis
pertama kali di Jember, 1 Maret 2015
Catatan: Pertanyaan dan jawaban di
catatan ini tidak terlalu sama dengan apa yang ditanya oleh peserta talkshow ataupun jawaban dari Asma
Nadia. Ini adalah versi saya, yang setidaknya sama tanpa mengurangi esensi yang
ada. Dan semoga dengan catatan ini, kita bisa menempatkan diri ketika bertemu
dengan idola. Hingga kesan heboh nan lebay tidak terlalu tampak.
Inikah Rasanya Bertemu Idola? (Bagian Kedua)
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:28:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment