Malam membelai
Panarukan. Sebuah tempat bersejarah di masa penjajahan Hindia-Belanda. Tempat
pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang menewaskan banyak pribumi di dalamnya.
Dahulu, Panarukan adalah nama kabupaten
di Jawa Timur. Namun, kini nama kabupaten berganti menjadi Situbondo. Di tempat
yang penuh sejarah tersebut, hiduplah seorang anak remaja berusia nyaris tujuh
belas tahun. Seorang yang berusaha mewujudkan impiannya melalui menulis.
Di sela-sela waktu menghadapi ujian
nasional 2013 yang begitu ketatnya karena menggunakan sistem dua puluh paket.
Ia masih berusa untuk terus menulis di sela-sela kesibukannya belajarnya. Ia
memiliki program rutin setiap Minggu bernama: Satu Minggu Ke Warnet. Meskipun dia tidak memiliki komputer apalagi
laptop, ia tetap tak berputus asa dalam menulis. Toh, masih ada warnet yang
siap menampung tulisannya.
Mampir setiap malam Minggu ia
menghabiskan waktu malam dari jam tujuh hingga dua pagi, di waktu-waktu seperti
itu. Ia bisa menulis sebanyak mungkin, tanpa membayar terlalu banyak. Pasalnya,
warnet tempat langganannya memakai sistem paket malam, membayar lima ribu
rupiah selama enam jam, dengan aturan paket malam baru dibuka tepat jam tujuh
malam.
Hal tersebut, tak dia sia-siakan. Di
sekolah, rumah, atau di mana pun ia berada. Ia selalu menulis di kertas.
Kadang, ia hanya menulis kerangkanya saja, dan jika sampai di rumah, ia segera
menyalinnya menggunakan buku khusus.
Meskipun tangannya sakitnya minta
ampun, apalagi buku yang ia gunakan berlembar-lembar. Bahkan pernah hingga
setengah buku dan jika malam Minggu tiba. Ia segera menyalinnya. Tak peduli,
kondisi warnet yang terlalu ramai karena terlalu banyaknya yang bermain game atau kepulan rokok yang keluar dari
pengguna bilik lain. Ia terus berusaha fokus.
Ia terlalu bersemangat dalam menulis,
padahal jarak rumah ke warnet tak terlampau dekat sekitar enam ratus meter. Ia
selalu berjalan kaki, orangtua-nya yang mengetahui keinginan terpendam anak
bungsunya itu selalu mendukung langkah anak tersebut.
“Kamu kalau ke warnet menulis cerita
yang paling bagus ya? Terus kalau bagus menang dan dapat uang.” Begitu kata
Ayah anak tersebut.
Meski Ayah-nya tak begitu paham dunia
menulis seperti apa, tapi anak tersebut tak peduli. Ia masih terus menulis, dan
akan terus menulis. Pun, Ibu yang meninggalkannya menuju rantauan di bumi Bali
juga turut menyuport-nya.
“Sabar, Nak. Nanti kuliah gunakan
laptop. Insya Allah, bisa.” Ibunya
memberi motivasi.
Orang-orang disekelilingnya juga
mendukung mati-matian, salah satunya Rifki Aryadi. Meski perawakan dan sifatnya
berbeda jauh dengan anak lelaki itu, tapi Rifki jika tidak sibuk selalu
menyempatkan untuk menemani anak tersebut untuk menulis. Serta menjadi pembaca
pertama.
Tak terhitung betapa banyak langkah
yang mereka berdua gapai menuju warnet. Tak terhitung berapa banyak uang yang
keluar untuk membayar warnet setiap Minggu selama satu tahun pelajaran di kelas
dua belas.
Yang jelas, semua hal tersebut. Akan
terbayar dengan sesuatu indah. Tepat pada waktunya. Yang dibutuhkan adalah
dukungan semua pihak, untuk membantu anak lelaki itu meraih mimpinya.
Anak lelaki tersebut tak lain adalah saya.
Banyak
Membaca, Temukan Segalanya
Membaca adalah saudara kembarnya
menulis, seorang penulis jelas membutuhkan membaca. Hal tersebut berguna untuk
menambah kosakata serta hal-hal lainnya yang bersifat substansial. Saya pun
berusaha menyerap pengetahun tersebut dengan membaca.
Di sekolah, bahan bacaan sastra dan
pengetahuan populer tak terlampau banyak. Jelas saja, perpustakaan sekolah
lebih banyak mengoleksi buku-buku pelajaran. Namun, kekurangan hal tersebut
bisa diatasi dengan keberadaan Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten
Situbondo yang terletak tak terlampau jauh dari sekolah--- tempat saya
meraih ilmu.
Biasanya sepulang sekolah, saya bersama
Widit atau Zurni sering berkunjung ke perpustakaan kabupaten untuk sekadar
membaca bahkan meminjam. Masa waktu peminjaman cukup lama yakni satu Minggu dan
peraturan di perpustakaan ini maksimal meminjam dua buku. Tentunya sebelum
meminjam buku, harus mendaftar sebagai anggota terlebih dahulu dengan ketentuan
yang telah ditetapkan seperti membawa foto 2 X 3 sebanyak 3 lembar, fotocopy
kartu pelajar 2 lembar, mengisi formulir yang disediakan dengan tanda-tangan
kepala sekolah dan orangtua.
Saya sebagai anggota perpustakaan
kabupaten selalu tertarik membaca buku-buku berbau novel. Genre yang paling
saya sukai adalah hal-hal berbau remaja. Penulisnya adalah seorang ibu dengan
dua anak bernama Asma Nadia.
Awal mengenal penulis tersebut, ketika
masih berada di bangku SMP. Guru bahasa Indonesia selalu menceritakan berbagai
penulis. Alhasil karena rasa penasaran, ketika SMA di daerah kota, saya
memutuskan untuk mencari buku karangan penulis bernama Asma Nadia. Entah, apa
yang menggerakkan saya mencari buku karangan beliau. Yang jelas, sejak saya
membaca karangan pertama beliau yang kebetulan ber-series saya semakin lahap
menyantap series-series yang lain.
Series yang pertama saya baca adalah Aisyah Putri: My Pinky Moment. Menurut
pendapat saya secara pribadi terhadap tulisan tersebut, tak terlihat sedikit
pun kesan menggurui. Cara dakwah yang begitu sederhana dan mudah diterima. Pun,
dalam pemilihan kata sapaan tidak menggunakan saya (terkesan formal) tapi
menggunakan loe-gue.
Itulah yang membuat saya jatuh cinta.
Masuk di bangku kelas sebelas IPA, saya terus memperbanyak bacaan dari berbagai
penulis. Tidak hanya novel, tapi bahan bacaan umum dan agama. Seperti 10
Bersaudara Bintang Al-Qur’an, Kiat-Kiat Sholat Khusyuk, dan lain-lain. Namun
hanya ada beberapa nama yang masuk dalam kategori yang difavoritkan saya,
yakni: Asma Nadia, Pipiet Senja, dan Habiburahman El-Shirazy. Dari membaca-lah
saya menemukan ketertarikan pada dunia menulis, dengan terus ber-andai-andai,
“Kapan ya tulisanku ada di rak buku? Kapan dibaca semua orang?
Antara
Depok---Panarukan
Saya berjalan kaki menuju rumah Rully
bersama Ahmad Dariyanto --- atau yang akrab dipanggil Ndar. Jarak rumah
Rully yang cukup jauh tak pernah membuat rasa lelah.
Di rumah Rully, Mama-nya yang seorang
kepala tata administrasi di sebuah sekolah negeri di Kabupaten Situbondo selalu
saja menyiapkan banyak makanan untuk kami makan. Baik berupa snack ataupun yang lain. Setiap kami
datang, selalu saja makanan habis. Dan keesokannya selalu terganti yang baru.
Yang paling menjadi kesukaan kami adalah kripik usus ayam.
Sesampainya di rumah Rully, kami
langsung memulai pembelajaran untuk persiapan Ujian Nasional. Sejak awal masuk
kelas XII, kami sepakat membentuk kelompok belajar. Awalnya banyak yang
bergabung, mulai dari Aldi, Arief, Susi, hingga Widit. Namun, dari semua orang
tersebut. Saya dan Ndar–lah yang paling sering mengunjungi rumah Rully.
“Coba buka LKS kimia halaman ...” Rully
membuka diskusi.
Kami--- saya dan Ndar --- segera
membuka halaman tersebut, untuk mata pelajaran kimia saya begitu menyenangi,
hanya ada beberapa hal yang tidak disukai yakni hal-hal yang berbau hafalan.
Sebab dalam kimia tidak hanya ada hitung-hitungan selayaknya matematika.
Rully sering menjadi tutor sebaya kami
dalam belajar. Kadang, saya juga memberi
pendapat ini-itu padanya. Di tengah keasyikan diskusi, sebuah panggilan muncul
di layar ponsel. “Ah, pasti ini Bunda.” Begitu pikir dalam batin saya.
“Tapi kok nomornya baru.” Pikir saya
lagi.
Panggilan tersambung.
“Assalamualaikum,”
sapa seorang di ujung sana, suara seorang perempuan yang khas dan pernah saya
tahu.
“Walaikum
salam.” Jawab saya.
“Ini Bunda, Gusti.” Katanya.
Gusti? Bunda tidak pernah memanggil
dengan sebutan Gusti, tapi Trisno. Biasanya kalau sehabis Isyak, Bunda Hamidah
--- guru bahasa Indonesia sewaktu
kelas XI, sekaligus editor pribadi ketika mengikuti lomba selalu
menelpon untuk memberi semangat atau sekadar tanya sedang apa? Udah belajar belum? Udah makan belum? Selalu saja, tak
pernah bosan. Sejak dua Minggu sebelum UN.
“Bunda siapa?” tanya saya, setelah
pikiran tentang Bunda Hamidah ditepis.
“Bunda Asma Nadia, Gusti.” Jawabnya.
Saya tersentak kaget.
Allah. Benarkah Bunda Asma Nadia? Jadi
janji beliau untuk menelpon setelah tiba di Tanah Air bukan isapan jempol
belaka.
“O, Bunda.” Jawab saya pendek, antara
bingung, tak percaya, dan beberapa suasana yang sulit didefinisikan.
“Gusti sedang apa?” tanya beliau lagi.
“Sedang belajar mempersiapkan ujian
nasional, Bunda.”
“Terus semangat ya belajar dan
menulisnya!” kata beliau memotivasi.
“Makasih ya, Bunda.”
“Bunda tutup telepon dulu ya! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Muka saya berubah ekspresi menjadi rasa
senang yang begitu berlebih, langsung saja saya meminjam ponsel Ndar untuk
membuka Facebook. Dan segera memasang
status keterkejutan di telepon Asma Nadia.
Saya melirik kembali ponsel yang digunakan
untuk menerima telepon Asma Nadia. Saya perhatikan durasi panggilan, hanya
berselang sekitar satu menit sekian detik.
Ahh. Senangnya sudah minta ampun.
Apalagi kalau ketemu secara langsung? Saya tidak bisa membayangkan betapa
hebohnya diri ini?
Dan ditengah mimik ekspresi saya yang
berubah, Ndar dan Rully kompak bertanya saiapa yang nelpon. Saya langsung
bercerita dengan bangganya.
“Ciee, senang ditelepon idola?”
Saya hanya tersenyum.
Dan beberapa menit kemudian, stupid-phone saya kembali berdering.
“Assalamualaikum,
Nak? Sedang apa?”
Suara perempuan yang saya
tunggu-tunggu: Bunda Hamidah.
“Walaikumsalam,
Bunda. Ini lagi belajar dengan Ndar dan Rully, Bund. Oya, tadi idola Trisno
telepon lho.”
“Asma Nadia maksudmu?”
“Ya, benar Bund.”
“Cieeh, betapa senengnya. Ya, wis. Kamu sudah makan kan? Belajar yang
rajin, UN kian dekat.”
“Ya, siap. Trisno udah makan kok, Bunda
sampun dahar[1]?”
“Sudah. Bunda tutup teleponnya ya, yang
penting sudah denger suaramu dan tahu kalau sedang belajar. Assalamualaikum.”
Saya langsung menjawab salam.
Entah mengapa kesenangan malam ini
begitu luar biasa di telepon idola, dari jarak yang lumayan bersejarah antara
Depok- Panarukan.
Memang ada sejarah Anyer-Panarukan,
tapi berhubung Bunda Asma tinggal di Depok ya,
saya beri judul saja Antara Depok-Panarukan.
Dukungan dalam Sebuah Panggilan Telepon (Bagian Satu)
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:23:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment