Bu
Mutia (bukan nama sebenarnya) beliau adalah salah satu pejabat di lingkungan
pemerintahan di Jakarta. Sebagai seorang abdi negara, beliau pernah ditugaskan
ke wilayah pedalaman di Kalimantan selama dua tahun. Memang sebagai seorang Ibu
ada tingkat kerisihan yang menggelanyut badannya. Apalagi kedua anaknya adalah
perempuan. Sedang satu anak perempuannya yakni si Bungsu belum juga menikah.
Padahal usianya sudah pantas untuk menikah.
Masa-masa
awal hidup di Kalimantan dijalani Bu Mutia dengan penuh tantangan. Bagaimana
tidak ini adalah kali pertama beliau jauh dari keluarga. Bayang-bayang gadisnya
selalu ada dalam pikiran ketika ia beraktivitas.
Dan
setelah dua tahun menjalani kehidupan yang berbeda dengan perkotaan. Ia kembali
ke Jakarta. Perubahan di keluarga begitu langsung terasa. Sikap anak Bungsu-nya
berubah seketika. Awalnya, perempuan paruh baya ini tidak pernah memperbolehkan
anak-anaknya manja. Tapi, kelakuan si Bungsu berubah.
Bu
Mutia merasa jika hal ini wajar-wajar saja, apalagi ia telah lama tak
bercengkrama dengan si Bungsu. Lambat laun, si Bungsu minta ini-itu. Sebagai
seorang pegawai dengan gaji yang lumayan, beliau langsung membelikan barang
yang diminta anaknya. Dan keanehan semakin terasa, setiap barang yang diminta
anaknya. Selalu saja hilang tak tahu ke mana. Dan Bu Mutia mencoba
mengkonfirmasi kepada Bungsu-nya. Tak ada respon dari Bungsu-nya itu.
Bu
Mutia tak habis akal, akhirnya sebuah jawaban terlontar dari Sulung-nya.
“Ma,
Adik berubah ketika pacaran sama dia.” Anak Sulung-nya memberitahu suatu nama.
Ahh. Mereka masih berhubungan, batin Bu
Mutia.
Lelaki
yang namanya disebut oleh Si Sulung adalah lelaki yang berbeda keyakinan. Dan
kini, malah barang-barang yang dibelikan untuk Si Bungsu digunakan lelaki
tersebut.
Keterkejutan
Bu Mutia bertambah, ketika Bungsu-nya meminta dinikahkan dengan lelaki
tersebut.
Dan
dengan kebingungan yang tiada tara tersebut, untuk kali pertama Bu Mutia
menelpon saya.
“Assalamualaikum, Gusti.” Sapa beliau.
Gusti
adalah panggilan saya di dunia maya, sebab saya menggunakan nama Gusti Trisno.
Maka tak jarang beberapa orang memanggil Gusti, sedang yang lainnya memanggil
Trisno.
Kembali
ke fokus.
“Walaikum salam, Bu. Ada apa?” tanya
saya, ketika usai menjawab salam.
“Ibu
nggak ganggu Gusti?” tanya balik beliau.
“Tidak.”
“Ibu
mau cerita dan ingin meminta pendapat Gusti.” Kata beliau mengawali cerita.
Akhirnya, beliau pun bercerita sebagaimana saya kisahkan di awal. Tanpa sedikit
pun komentar, saya berusaha saksama dalam mendengar cerita.
Dan
kali pertama, beliau menelpon saya dengan berurai air mata.
“Masalahnya
begitu pelik, Bu.” Komentar saya kemudian.
“Ibu
kemarin umroh, Nak. Dan berdoa untuk Mbak Bungsu. Ya, ketika ketemu dengan dia
di rumah. Tetap saja ia ngotot dinikahkan dengan lelaki itu.”
“Sabar,
Bu. Berdoa saja. Allah tidak akan membebani masalah kepada suatu kaum, kecuali
kaum tersebut sanggup melewatinya.”
“Mungkin
Allah menegur Ibu dengan cara begini ya, itu tandanya Allah masih sayang pada
Ibu.”
“Nah,
Ibu tahu. La tahzan[1],
Bu. Allah bersama kita.”
Beliau
seperti membasuh airmatanya.
“Terima
kasih ya Gusti sudah mendengar cerita Ibu. Maaf, jika seandainya membuat beban
dalam hidup Gusti.”
“Tidak,
Bu. Sama sekali tidak. Justru Gusti senang Ibu bercerita. Oya, maaf Bu, saya
hendak bertanya. Apakah keluarga besar telah tahu kejadian ini?”
“Ibu
tidak sampai hati memberitahukannya, Nak. Ini aib keluarga dan rasanya jika
mencari titik kesalahan. Ibu-lah yang paling bersalah. Seharusnya sejak awal,
Ibu tahu Mbak Bungsu dekat dengan lelaki itu. Ibu harus melarang, hingga tidak
terjadi kejadiaan seperti ini. Ibu takut, jika Mbak Bungsu nekat hingga
berpindah agama. Apalagi perempuan itu ikut lelakinya, Nak. Jika seandainya
terjadi hal itu, tentu Ibu malu sama Allah, begitu juga ke makhluk-Nya.”
“Ayo,
jangan menangis lagi.” Saya mencoba mengalihkan kesedihan.
“Makasih
ya.” Ucap beliau lagi.
“Iya,
Bu. Insya Allah, Gusti bantu doa.
Semoga masalah ini cepat kelar ya. Dan Ibu harus sabar dalam menghadapi ujian
ini.”
Beliau
pun tersenyum dan berpindah topik bertanya seputar kuliah saya. Saya menjawab
dengan takzim setiap pertanyaannya,
tentunya diselingi dengan canda tawa khas.
Dan
sekitar lima menit kemudian, kami menutup pembicaraan. Ibu Mutia tak
menampakkan sedikit pun kesedihan.
Ditulis
pertama kali di Jember, 23 Maret 2015.
Catatan:
Setelah kejadian tersebut, saya masih menanyakan kabar Mbak Bungsu beberapa
hari. Dan alhamdulillah, Mbak Bungsu
sudah tidak ngambek dan minta nikah
lagi dengan lelaki yang berbeda agama itu. Semoga Allah senantiasa melindungi
keluarga Bu Mutia. Mengingat beliau membesarkan kedua anaknya, tanpa seorang
suami di sisi.
Dering Telepon Bu Mutia
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:16:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment