Lebih
penting mana anak atau burung?
Rasanya pertanyaan itu ingin
kutanyakan pada Bapak. Bukan tanpa sebab. Lelaki yang memiliki air mata dari
balik keringatnya itu rasanya seperti mendewakan burung ketimbang anaknya
sendiri.
Ibu yang mengetahui hal tersebut, tak
sedikit pun memberi komentar.
Ah! Benar-benar payah!
Semua kesenangan Bapak terhadap
burung bermula pada prediksi Mbah Dukun yang memuakkan!
*
Aku telah bersiap-siap menuju
sekolah. Ibu juga telah menyiapkan nasi lengkap dengan lauk kesukaanku. Tentu
sudah menjadi hukum wajib untuk menghabiskannya.
Lepas itu, rutinitas lain adalah
memberi pakan burung. Namun, karena aku sudah hampir terlambat menuju sekolah.
Kuurung melakukan hal itu.
Sesampainya di sekolah. Entah,
mengapa pikiranku menjadi tak karuan. Burung yang berbunyi “kukurunuk” itu
selalu tergiang di telingaku. Seolah-olah ada sesuatu yang mungkin terjadi.
Maka, konsentrasiku buyar. Mataku
memerah. Bu Guru yang mengetahui tingkah anehku menyuruh segera ke kamar mandi
untuk mencuci muka.
“Baik, Bu.” Jawabku sambil
membalikkan badan menuju kamar mandi.
Dan, keanehan lain kembali membayang
diri. Aku seperti melihat banyak sekali orang yang memerhatikanku. Padahal,
situasi di sekolah yang memiliki bentuk L ini masih kosong melompong tersebab
masih jam belajar. Pun, hanya ada beberapa tukang kebersihan yang tampak sibuk
mengurus taman.
“Sudahlah, jangan mikir aneh-aneh!!”
putusku dalam hatiku.
Dan, kamar mandi segera menyambutku.
Kucuci muka dengan sabun cair yang tersedia. Seketika wajahku menjadi lebih
cerah. Tapi, itu hanya sesaat. Tatkala mendengar suara Ibu yang menikam ulu
hati lewat telepon.
“Bapakmu marah besar! Burungnya
meninggal! Katanya telat memberi pakan.” Lapor Ibu.
Aku tersentak kaget. Bingung harus
menjawab apa, bukankah meninggal atau hidup seorang makhluk ada pada Tuhan.
Tapi, selain Tuhan. Rasanya aku juga cukup bersalah. Pertama, aku tidak memberi
burung perkutut itu pakan di pagi hari. Kedua, aku lupa menyampaikan hal
tersebut pada Bapak. Ketiga, aku juga malas memberi pakan burung tak berguna
itu sebagai rutinitas wajib sebelum berangkat sekolah.
“Terus?” terpaksa aku menyampaikan
kata itu.
“Bapakmu itu seperti kebangkaran
jenggot! Ibu keliyengan, mulai tadi
meracau tak jelas. Paling-paling ketika kamu sampai menjadi babak belur.” Suara
Ibu membuatku takut.
Terpikir dalam pikiranku, lelaki
kekar yang tiap hari melaut itu memberi pukulan telak dalam tubuhku. Ia dengan
tanpa ampun mencecarku dengan penuh suka cita. Huaaah. Bisa-bisa menambah daftar kekerasan yang ia tak lama
lakukan.
“Kan bisa beli lagi, Bu?” aku
bertanya kembali. Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin aku ajukan. Tapi
apalah daya, ketika seseorang merasa telah bingung. Kata-kata pun keluar tanpa
dimengerti.
Ibu terdiam. Tak menjawab. Di ujung
sana, tiba-tiba telepon mati. Dan, aku harus menjadi kebingungan itu sendiri.
*
Di kelas Bu Guru langsung menyuruhku
mengerjakan soal nomor dua. Benar-benar payah guru tersebut. Sudah tahu, aku
baru saja dari kamar mandi. Eh, malah mendapat tugas. Maka dengan berat hati.
Aku terpaksa melahap rumus-rumus matematika yang memuakkan itu. Tentu, setelah
otak ini bekerja keras untuk memahami.
“Nah, kamu sebenarnya pintar. Hanya
saja kurang mau berusaha! Besok lebih giat belajar ya!” pesan Bu Guru.
Aku terpaksa tersenyum pahit. Usai
itu, kubuang pikiran tentang burung. Sebab, jauh dalam pikiranku nanti sepulang
sekolah. Aku akan membelikan bapak burung. Burung yang indah. Dan, tentu jauh
lebih bagus dari yang kemarin.
Waktu yang kutunggu tiba. Hiruk pikuk
pasar Sabtu-an tak jauh dari sekolah segera menyambut. Banyak sekali hewan yang
dijual di sana, mulai dari kambing, sapi, dan tentu burung. Ketika memasuki
stan burung. Kucari yang memiliki karakteristik sama dengan burung Bapak yang
meninggal.
Burung perkutut yang memiliki jambul
khatulistiwa itu, eh maksudnya dengan
jambul berwarna kuning, moncong putih, dan rahang kuat itu segera kucari. Dan,
setelah tiga puluh menit mengitari pasar itu. Aku menemukan burung yang hampir
sama.
“Ini lima ratus ribu, Nak.”
Aku menahan ludah, mendengar harga
tersebut.
“Tapi, untuk kamu lima puluh ribu
saja. Pasti, kamu sedang berusaha membahagiakan bapaknya kan? Burung bapakmu
mati?”
Aku kembali menahan ludah. Dan kini
ditambah dengan mengaduk rambut kepala yang tidak gatal. Burung itu segera
dibungkus. Segera aku mengucap terima kasih.
Di rumah. Bapak sedang tidur. Maka,
kuganti burung yang mati dalam sangkar itu dengan burung baru. Burung yang sudah
mati itu segera kukubur di belakang rumah dengan kedalaman tanah setengah
meter.
Senja datang di bumi kami. Burung
bersuara merdu itu kembali berkicau. Bapak tampak heran. Ia berspekulasi
kemungkinan burungnya tadi pagi dalam keadaan istirahat. Aku yang menukar
burung baru itu hanya menyunggingkan senyum. Dan, kukerling mata nakal pada
Ibu. Agar perempuan itu memahami maksudku.
Tapi, semua tidak bisa berjalan lama.
Malam harinya, dukun berbaju hitam penuh kegelapan ke rumah.
“Mana burungmu?” tanya Mbah Dukun.
“Itu dia!” tunjuk Bapak.
“Bukan burungmu telah mati!” vonis
Mbah Dukun.
Bapak langsung menatapku, aku
menggigil, kucari ketiak Ibu. Perempuan penuh kasih itu segera memberi
perlindungan.
“Sudahlah, Pak. Kan anakmu tadi telah
menggantikan burung yang baru. Kau harusnya terima saja. Burungmu telah mati.”
Jelas Ibu.
Bapak segera menarik tanganku. Ia
memukulku dengan rotan tanpa ampun. Aku menjerit ketakutan. Ibu pun sudah
berusaha menghalangi pukulan Bapak. Tapi, apa daya. Lelaki itu malah semakin
beringas. Setelah, puas memukul anak semata wayangnya itu. Bapak pergi dengan
Mbah Dukun. Sedang, aku hanya bisa mendekap pada pelukan Ibu.
“Sudahlah, Nak. Sudah. Nanti Bapakmu
pasti memaafkanmu.”
“T... api. Bapak jauh lebih sayang
pada burung dibanding aku, Bu.” Jawabku sambil terisak. “Masak setiap pulang
melaut, ia selalu tanya burungnya sudah dipakani. Ketika kubilang, burung saja
yang ditanya. Anaknya sudah makan belum nggak ditanya. Eh, Bapak bilang, burung
itu kan tidak bisa makan kalau tidak dipakani, beda dengan kamu.”
Ibu mengusap punggungku. Kubiarkan
rasa tangis itu meluap pada diri perempuan yang mempertaruhkan nyawanya ketika
melahirkanku.
“Burung itu lebih berharga dibanding
aku ya, Bu?” tanyaku.
Ibu menggeleng lemah.
Dan, keesokan harinya. Tak, kulihat
lagi Bapak pulang ke rumah. Menurut kasak-kusuk tetangga. Lelaki itu sibuk
mencari burung lagi bersama Mbah Dukun dan lupa jalan pulang.
Malang,
15 Januari 2019.
Burung Bapak yang Membuatku Cemburu (Dimuat di Radar Banyuwangi Edisi 18 Maret 2019)
Reviewed by Dunia Trisno
on
4:45:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment