Mail menahan sesak saat melintasi Musala
Nurul Iman di kelurahan Iman Sekali. Sungguh, pemuda yang belum genap dua tahun
menikah itu tak mengira tempat yang harusnya ramai suara lantunan ngaji anak
kecil berubah menjadi tempat kongkow-kongkow anak muda. Dalam hatinya timbul
rasa sakit, melebihi sakitnya hati akibat istri merajuk meminta tambahan uang
belanjaan.
Langkah
kaki lelaki itu pun dijauhkan dari musala tempatnya mengajarnya dulu. Tapi,
semakin jauh melangkah. Semakin sesak merayapi dada. Sesaat ia
mengingat-ngingat kejadian beberapa lalu.
Semua
dimulai ketika ia diancam oleh sekelompok pemuda untuk berhenti mengajari ngaji.
Mail bukannya takut, ia lebih memerhatikan keamanan istrinya. Apalagi ancaman
bukan hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali ia rasakan. Mulai lemparan batu
atau tulisan-tulisan bernada ancaman di gedung rumahnya.
Tak
ada satu pun yang tetangga yang tahu mengenai hal itu. Mengingat Mail dan
istrinya begitu menutup rapat. Akhirnya, setelah berembuk dengan kekasih
hatinya itu. Mail sepakat berhenti mengajar bocah-bocah itu. Tapi,
keberhentiannya tidak langsung ia lakukan. Melainkan secara perlahan-lahan.
Dimulai dengan tidak menghadiri musala saat Ustaz Hari yang mengajar. Akibat
kejadian tersebut, Ustaz Hari yang seusia ayahnya itu menegur dan menanyakan
perihal keanehan Mail.
Anehnya,
Mail menjawab bahwa ia sudah tidak betah lagi mengajar ngaji. Sontak Ustaz Hari
marah besar, hingga membuat keduanya tak lagi akur. Pun, Mail juga tak mau
menerima zakat fitrah yang menjadi miliknya.
Masalah
kian runyam, setelah masalah dualisme ustaz itu terdengar wali santri. Mereka
pun secara perlahan menggiring anaknya belajar di TPQ Bonafite. Padahal, demi
mencapai TPQ tersebut jarak yang ditempuh lumayan jauh. Tidak hanya itu, wali
santri juga terprovokasi untuk berdemo pada Ustaz Hari. Hingga benar-benar
musala itu tutup dan tak lagi ada aktivitas.
Kecuali
kini tempat kongkow-kongkow nggak jelas.
Mail
menghentikan langkahnya sejenak, ia lalu berbalik arah menuju Musala Nurul
Iman. Di sana tampak beberapa pemuda yang pernah menyuruhnya berhenti mengajar
menyambut dengan tatapan penuh kemenangan.
“Terima
kasih, Bos. Sudah menyediakan tempat kami!” seru Pemuda A sambil menepuk bahu
Mail.
“Untungnya
kamu mengikuti arahan kami, sehingga tidak bernasib sama dengan tua bangka
itu!” Pemuda B menimpali.
Hari
tak langsung menanggapi seruan dua pemuda itu, tapi di hatinya ada bara api
yang menyala-nyala. Beruntung, lelaki itu masih bisa beristigfar sambil
memejamkan mata. Hanya saja, ketika ia membuka mata. Lelaki yang baru saja
menikah dua tahun itu menemui mata teduh perempuan yang selama ini
dihormatinya.
“Ibu,
tunggu!”
Akhirnya
hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Mail, sambil mengejar perempuan
bermata teduh itu.
*
Perempuan itu telah masuk dalam rumahnya
dengan bersimbah air mata. Mail kembali memeras rasa sabar. Ia mengucap salam
dan mengetok pintu, tapi tak ada sahutan dari pemilik rumah.
Migran
lelaki itu mendadak kumat. Seolah-olah ada kunang-kunang bertebrangan di atas
kepalanya.
Dan
ia kembali mengingat semuanya dengan lebih detail.
Saat
itu, Mail masih kecil. Ia tinggal dengan kedua orangtua tak jauh dari
lingkungan pondok pesantren. Ayahnya yang memiliki rambut gondrong itu
merupakan salah satu ustaz sebuah musala baru yang mengajar baca tulis Alquran.
Akibat hal itu, ketentraman dalam rumah selalu tercipta.
Tapi,
tak dinyana keindahan itu berlangsung sementara. Ada beberapa pejabat kabupaten
yang datang mengunjungi ayahnya. Tentu selaku tuan rumah, tamu perlu diistimewakan.
Apalagi ada sebuah pandangan jika dengan bertamu dan menerima tamu menambah
rezeki. Hal itu ternyata benar-benar terjadi.
Si
Pejabat Kabupaten itu memberikan beberapa juta demi pembangunan musala.
Sungguh, ayah Mail langsung menerima. Sekalipun Ibu Mail tak menerima akibat
takut jika uang tersebut merupakan suap demi tercapainya kepentingan Si Pejabat
Kabupaten. Tapi, Ayah Mail bersikukuh menerima pundi-pundi rupiah.
“Si
Pejabat itu memberikan hal tersebut katanya sebagai nazar ketika terpilih. Dan
bukankah pemilukada telah berakhir. Jadi, apa yang perlu ditakutkan.”
Mendengar
penjelasan itu, Mail kecil dan ibunya menjadi lega. Pembangunan musala pun
langsung dilakukan. Musala yang awalnya hanya berupa ayaman kayu berubah
menjadi bangunan permanen dengan baluran semen. Akibatnya santri di tempat
tersebut bertambah.
Selain
rezeki tersebut, Ayah Mail juga membangun rumahnya dari uang menjual tanah di
kota lain. Dan hal tersebutlah yang menjadi masalah.
Beberapa
warga ada yang berspekulasi bahwa uang Si Pejabat itu dikorupsi oleh pengajar
ngaji itu. Fitnah terus bergulir, semakin banyak masyarakat yang ingin mengusir
keluarga itu. Rumah dan musala dipenuhi coretan kata-kata kotor yang luar
biasa. Anak-anak yang terbiasa mengaji dicegat dan disuruh pulang.
Kejadian
tersebut membuat masyarakat di wilayah yang tak ingin diingat Mail itu terpecah
menjadi dua, yakni kelompok yang pro dengan keluarga Mail dan kelompok kontra.
Walaupun begitu, kelompok kontra memiliki massa yang demikian lebih banyak.
Mail
kecil sudah dihadapkan pada trauma yang sedemikian berat itu. Mengingat bukan
hanya ayahnya yang mendapatkan ancaman akan dibunuh, tetapi juga dirinya
sendiri. Si Ayah bahkan harus menabahkan Mail berkali-kali, bahwa perjalanan
yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah ujian.
Dari
Ayahnya pula, Mail belajar tersenyum sekalipun nyawa mereka selalu diancam.
Tepatnya pada malam jahanam itu, kerusuhan pecah menuntut keluarga Mail pergi
dari desa itu. Guna mengurangi amuk masa, keluarga Mail diamankan oleh
kepolisian. Sekalipun keesokannya muncul rumor bahwa keluarga tersebut dipukuli
hingga babak belur. Apalagi, sejak kejadian itu mereka tak pernah kembali ke
rumah dan musala yang dibangun dengan berdarah-darah.
Polisi
sebenarnya berupaya melakukan mediasi, tapi keluarga Mail menolak untuk hal
tersebut. Mereka lebih memilih hijrah ke tempat lain, sekalipun naas sebelum
menggapai tanah itu. Nyawa ayah dan ibu Mail dipanggil oleh Sang Pencipta.
Mail
pun merasakan kesakitan dan kehilangan yang berlipat-lipat. Untungya, ia
ditemukan oleh orang pesantren teman orangtuanya di jalan. Hingga ia bisa terus
mendoakan kedua orangtuanya. Dan satu hal yang tak disangka-sangka Mail, jalan
hidupnya kini tak jauh dari kejadian yang pernah menimpa orangtuanya.
Hanya
saja, ia memilih jalan aman untuk menuruti permintaan preman yang merasa
terganggu dengan kegiatan mengaji itu. Semua demi istrinya, juga demi
menghilangkan rasa trauma sewaktu ia masih kecil.
Kenangan
hitam itu benar-benar merasuki pikiran Mail. Bak sebuah film yang diputar jelas
di depan matanya. Sungguh, ia merasa begitu kerdil dibandingkan usaha dan
kegigihan ayahnya dalam berdakwah.
“Anakku.”
Suara
seorang lelaki yang begitu menggetarkan tubuhnya.
Mail
langsung bangkit mendengar suara itu, ia segera memeluk Ustaz Hari. Mereka
menangis sesungguhkan. Lalu, keduanya kembali bernostalgia saat membangun
Musala Nurul Iman secara bersama.
“Kamu
tidak salah.” Tegas lelaki tua itu sambil melepaskan pelukan.
“Rasa
trauma yang dialamimu sewaktu masa kecil itu membuatmu melakukan hal tersebut.”
Mail
melongo tak percaya penjelasan lelaki yang memiliki tahun lahir sama dengan
Ayahnya. Bukan apa-apa, sejauh ini tak ada satu pun yang tahu atas rasa trauma
itu. Kecuali dirinya sendiri. Lantas dari mana, Ustaz Hari mengetahui hal
tersebut.
“Waktu
kamu kecil, saya juga ada di tempat kejadian itu. Fitnah yang dialami
orangtuamu itu jauh lebih kejam dibandingkan kita. Ayahmu tak hanya melawan
preman yang merasa terganggu dengan aktivitas mengaji, ia juga melawan kelompok
kecil yang iri dengan perkembangan pengajiannya. Dalam hal ini, tempat mengaji
yang lain.”
Kening
Mail berkerut mendengar penuturan Ustaz Hari yang dirasa tak masuk akal itu.
“Tapi,
Allah membalas kelakuan mereka. Lambat laun fitnah itu hilang dengan
sendirinya. Dan mereka yang memfitnah ketahuan juga aibnya. Sayangnya,
masyarakat yang penuh penyesalan itu tak pernah bertemu keluargamu lagi.”
“Lalu,
bagaimana mungkin saya tidak mengingat Ustaz sama sekali.”
“Karena
kamu masih kecil, apalagi wajahku dulu begitu tampan dan tanpa kerutan seperti
sekarang.” Ustaz Hari menjawab penuh tawa.
Mail
sedikit lega mendengar penuturan Ustaz Hari. Ia juga sadar bahwa perjuangan
yang dialaminya belum seberapa dibandingkan ayahnya. Oleh karena itu, timbul azzam di hatinya untuk kembali ke
musala.
“Sebentar
lagi ramadhan menjelang. Mari kita sama-sama memenuhi musala dengan kalam-Nya.
Aku akan kembali ke Musala Nurul Iman.” Jelas Ustaz Hari disambut senyum
mengembang di bibir Mail.
Mail
pun segera meminta diri. Di hatinya, ia merasa seperti lahir kembali.
Dan
ketika ramadhan datang, Musala Nurul Iman kembali dipenuhi sesak orang yang mau
terawih. Pada hari pertama itu, Ustaz Hari menjadi imam salat, sedangkan Mail
memilih menjadi muadzin.
Begitu mereka akan
menunaikan salat terawih. Suara orang-orang bersahutan di luar musala membuat
jamaah berhamburan keluar.
“Kita harus mengamankan
diri!” seru seorang Bapak yang tak kuat lagi akan panas api yang menjalar di
balik tembok musala.
Ajakan tersebut membuat
bapak-bapak yang lain untuk menerobos ke barisan jamaah perempuan. Mereka tak
hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri, tapi juga anak-istrinya.
Sementara itu, api
semakin melahap semua yang ada dalam musala.
“Mas...!”
“Bapak...!”
Sahut-menyahut kedua
istri ustaz itu memanggil nama suaminya masing-masing. Tapi, suara itu tak
segera ada jawaban. Hanya kobaran si jago merah yang menambah menyala-nyala.
Sejak itu, jamaah musala
yang baru hidup kembali itu tersadar bahwa kedua ustaz mereka masih ada dalam
musala.
Mereka pun segera
berusaha memadamkan api, tak peduli keselamatan diri. Mengingat mencari ustaz
tak mudah bagi lingkungan yang begitu siap terkobar api permusuhan.
Situbondo, 10 Juni 2017
Mencari Ustaz ((Dimuat di Republika Edisi 16 Juli 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
11:04:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment