“Apa kamu yakin
takut sama hujan? Jika di matamu sering terjadi hujan airmata?”
Raisa diam seketika, ia menggengam
erat tangan lelaki di sampingnya itu. Lalu, keduanya berpandangan sekian lama.
Setelah itu, hujan airmata benar-benar menjebak keduanya.
Adalah cinta yang bersumber dari
kesucian menyatukan keduanya. Begitu pun Raisa dan lelaki yang bernama Imron
itu. Keduanya bahu-membahu membangun cinta dan mengejar sayang. Kisah romantis
sepasang pelajar itu tingkat kevalidannya tidak perlu diragukan. Berhari-hari
mereka bersama, berbagi kisah, canda, tawa, dan nestapa. Pun, di sekolahnya.
Mereka mendapatkan predikat Couple of The
Year setelah melewati serangkaian seleksi ketat di dunia maya.
Sayangnya, mereka terpisahkan untuk
sementara. Mengingat Imron itu harus pergi ke luar kota.
“Aku berharap kamu sabar menunggu.
Ini bukan cuma tentang cinta kita, tapi soal nama baik sekolah!” pinta Imron
pada Raisa di suatu senja di sungai Sampeyan.
Perempuan yang memiliki suara merdu
bak Raisa di layar kaca itu tak memberikan jawaban. Hanya senyum yang tergores
di bibirnya yang kecil. Imron yang memandangnya begitu senang bukan kepalang,
sebab dari senyum itu ia bisa memaknai bahwa perempuan itu setuju atas
permintaannya.
“Kamu minta apa sebagai gantinya?”
Raisa tak lagi menjawab. Ia malah
tersenyum lagi.
“Yakin tidak akan meminta apa-apa?”
tanya Imron lagi, setelah berusaha menafsirkan permintaan perempuan nomor dua
di hatinya itu.
“Aku cuma minta, kamu jangan genit
di sana!”
Selepas mengucap kata itu, Raisa
berlari menghindar dari Imron. Lalu keduanya berkejaran tak jauh dari bantaran
sungai, sambil tertawa penuh kesenangan. Hujan yang menjadi perlambang cinta
pun ikut mentakzimi kebahagiaan keduanya.
Ahh!
Auw!
Raisa meringis. Ia kembali mengingat
masa silam itu. Lelaki yang kini di sampingnya itu melingkarkan pelukan,
memberikan sedikit kekuatan!
“Hujan sudah reda, ayo kita pulang!”
ajak Raisa.
*
Tak ada yang
diharapkan dari seorang Ibu, selain kebahagiaan anaknya. Itulah yang tercermin
dari ibu yang Raisa miliki. Perempuan berusia hampir kepala lima itu telah
memberikan kekuatan yang sedemikian hebat padanya, sementara harapan ataupun
keinginan tak pernah Raisa terima.
Ibu begitu membebaskannya untuk
memilih seseorang yang sudah siap mencuri mimpi-mimpinya.
“Ada sendu di wajahmu, Nak?” tanya
Ibu setibanya Raisa di rumah.
Raisa tak menjawab, ia hanya
merapatkan tubuhnya dalam dekapan hangat si maha pemberi cinta itu. Mengetahui
itu, Ibu membalas dengan pelukan yang sedemikian sayang disertai mengelus
rambut anak perempuan satu-satunya itu.
Pelukan itu berhenti sejenak, sebab
Ibu meminta diri untuk mengecek sari atau sisa air pemindangan.
Akibat hal itu, Raisa pun berlari ke
kamar. Ia berganti pakaian demi membantu pekerjaan Ibu.
“Tidak usah, Nak. Pekerjaan ini akan
membuatmu terus mengingat kenangan.” Tolak Ibu halus sekali.
Meskipun mendapat penolakan seperti
itu, perempuan yang memiliki tahi lalat kecil di bawah bibirnya itu tetep keukeh membantu. Mula-mula ia menata
satu per satu ikan yang sebelumnya telah dicuci bersih oleh Ibu dalam sebuah
panci besar di atas kompor gas. Setelah itu, ia menambahkan garam dan air seperlunya.
Kompor dihidupkan. Raisa santai sejenak, sementara ibu memindahkan sari atau
air sisa rebusan ikan yang lain dalam sebuah wadah.
Ketika Raisa berhasil menunggu ikan
dipindang selama tiga puluh menit dengan tabahnya. Ia lalu mengabungkan dengan
air sisa rebusan yang ibu miliki.
“Ada banyak cara mengawetkan ikan,
Bu. Dengan cara memindang, mengasinkan, atau bahkan menggunakan formalin.
Bagaimana dengan cinta yang ada dalam keluarga?”
Ibu tak terkejut dengan pernyataan
Raisa itu. Selama ini, perempuan yang ditinggal suaminya selingkuh itu telah
berusaha melenyapkan kenangan. Tapi, anaknya-Raisa-tidak, malah gadis itu
berhasil merawat kenangan dengan baik.
“Kita memilih mengawetkan ikan
dengan memindang, Bu. Dengan cara itu, kita bisa makan ikan secara langsung,
dagingnya juga lembut dan rasanya khas. Sementara cinta yang dimiliki kita tak
tahu caranya untuk diawetkan.”
Ibu tak tahan lagi dengan ucapan Raisa
yang sedemikian ritmis itu. Bisa-bisa hujan airmata mengalir di antara
keduanya.
“Maafkan Ibu.”
Hanya kata itu yang dikeluarkan dari
mulut Ibu.
*
Raisa telah kehilangan orang yang disayanginya
berkali-kali.
Diawali dengan Ayah. Lelaki kekar
yang seharusnya mengalirkan airmata dari keringatnya itu tegah meninggalkan
Raisa dan ibunya. Hanya demi perempuan yang sanggup memberikannya kenikmatan.
Berhari-hari, lelaki itu memberikan
neraka di rumah.
Ibu diberikan pukulan luka, tangisan
airmata, dan longlongan tak bermakna. Semua pekerjaan Ibu selalu salah di mata
lelaki itu. Sementara, lelaki yang nyaris kepalanya ditutupi uban semua itu tak
melakukan apa-apa.
Ibu memindang ikan, kemudian menjadikan
sari air sisa rebusan ikan sebagai petis memang tak bisa mendompleng
perekonomnian keluarga yang kian labil. Ditambah dengan badai keluarga yang
hanya tinggal menunggu beberapa saat untuk mendapatkan gempa.
Kejadian petaka kemudian terjadi
secara tergesa-gesa.
Lelaki itu pulang dalam keadaan
mabuk. Saat itu, Ibu dan Raisa sedang membuat petis sebagai bumbu rujak. Proses
membuat petis butuh ketabahan yang sedemikian ekstra. Makanya Raisa dan Ibu
begitu konsterasi.
Mula-mula mereka merebus kembali
sari (sisa air) pemindangan di dalam panci untuk direbus, setelah agak
mengental, disaring kembali untuk membuang sisas-sia ikan yang tersisa. Proses
tidak berhenti di situ, jika air sisa pemindangan itu telah bersih direbus
kembali sambil diaduk hingga kental. Butuh waktu sekitar satu jam untuk
menyelesaikannya.
Kemudian di tengah menunggu itu,
lelaki itu menghampiri mereka. Entah sengaja atau tidak, petis yang dalam
keadaan panas itu tersenggol kaki lelaki itu. Sontak, lelaki yang setiap hari
dipanggil Ayah oleh Raisa itu mengeluh kepanasan.
Ibu langsung memberi pertolongan
dengan mengambil kotak P3K. Tapi, lelaki itu malah melempar kotak yang dianggap
tidak berguna. Setelah itu, Raisa melihat Ibunya dipukul lelaki itu karena
dianggap teledor mengerjakan petis.
Sebagai anak yang sedemikian dekat
dengan si pemilik rahim itu. Raisa jelas tak terima. Ia menggunakan
penggorengan untuk memukul lelaki yang membuatnya lahir di dunia. Setelah itu,
peperangan kata-kata yang penuh dengan umpatan nama-nama hewan keluar dari tiga
orang di rumah itu.
Lepas itu, hari-hari Raisa dan Ibu
tak lagi memiliki lelaki penopang hidup.
Kecuali, ketika Raisa menginjak masa
SMA. Raisa menemukan Imron. Lelaki yang pintar dalam berkata-kata gombal dan
penuh prestasi di bidang akademik serta nonakademik itu sanggup membuat Raisa
kehilangan kesadarannya.
Pun, ketika Raisa cerita pada Ibu
bahwa lelaki yang mengisi hatinya itu akan mengawakili sekolah dalam sebuah
pertandingan di propinsi. Ibu semakin yakin jika Imron adalah lelaki yang tepat
untuk gadisnya itu.
Sepeninggal Imron ke propinsi, Raisa
sering rujak-an bersama kawan-kawannya yang tak jauh dari kompleks tempat ia
tinggal. Tentu, petis yang digunakan adalah petis buatannya sendiri.
“Hati-hati mengupas mangga, sebab
setiap kupasannya adalah kenangan.”
Komentar salah satu teman Raisa.
“Bumbu rujak butuh petis, mangga,
dan air kerinduan.” Pleset yang lain.
Raisa hanya senyam-senyum tak jelas,
berkat Imron teman-teman Raisa benar-benar ketularan baper. Ada saja kata-kata
gombal, lebay, dan menarik yang keluar. Baik di sekolah, bahkan di situasi
rujak seperti sekarang ini.
Pun, guna membunuh waktu. Raisa
bukan hanya sekali-dua kali rujak-an bersama kawan-kawannya, tapi selama
berhari-hari di waktu liburan yang ia punya. Sebab bukan apa-apa, ia tak
sekolah selama waktu dua Minggu dan Imron-nya masih membela sekolah di
propinsi. Tentu, ini adalah waktu yang tepat buat teman-temannya.
Sayangnya, pada hari ketiga belas.
Raisa terkena serangan panas di sekujur tubuhnya. Rambutnya rontok sedemikian
banyak. Ia yang mengetahui itu langsung memeriksa ke dokter. Dan, benar saja
perempuan yang pantas jadi duta shampo itu terkena tifus.
Bertepatan dengan itu, Imron datang
dari propinsi dengan membawa piala kemenangan. Namun, hati lelaki itu hancur setelah
melihat kekasihnya kehilangan mahkotanya.
“Kita putus!” ucap lelaki itu dengan
mudahnya.
Pada saat itu, kehilangan Imron jauh
lebih sakit dibandingkan kehilangan Ayah itu yang Raisa rasakan.
*
“Mau rujak-an?”
tawar lelaki yang kemarin menggengam tangan Raisa.
“Siapa takut?” tanya balik Raisa.
“Sudah pandai merawat kenangan?”
Raisa tersenyum.
Sesat permpuan itu bersyukur. Sebab,
kehilangan Imron dan Ayah tak membuat dunianya kiamat. Ia malah bertemu dengan
lelaki yang sedemikian lembut. Tak pandai merangkai kata, tapi cintanya
dibuktikan dengan tindakan nyata.
Dimulai ketika Raisa kehilangan
rambut, lelaki itu mengajak Raisa ke dokter spesialis. Barulah ditemui bahwa
penyebab kerontokan bukan karena tipus, tapi demam tinggi yang terjadi pada
jangka waktu panjang saat perempuan itu terkena tipes.
Kemudian, lelaki itu pula yang
mengeluarkan uang demi menebus obat penumbuh rambut kembali. Tak sampai di situ,
ia pula yang membantu ibu berjualan petis dengan cara lebih elegan di seosial
media. Sekaligus memberikan nama petis tersebut dengan julukan Rujak Kenangan.
Sebab lewat tragedi rujak-an Raisa dengan kawan-kawan, keduanya bisa menyatu.
Adalah
sebuah pertanyaan yang membayang di benak pembaca yang budiman? Siapakah lelaki
yang beruntung dan sedemikian peduli itu?
Jember, 18 Februari 2017 Jam 14:12
Rujak Kenangan (Dimuat di Samarinda Pos Edisi 16 Juli 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:30:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment