Darma kebingungan. Ia terus berusaha
berteori atas hal yang tak ia mengerti. Sebagai seorang kepala daerah yang
sebentar lagi masa periodenya akan habis. Ia masih ingin berkuasa di daerahnya.
Menjadi orang nomor satu yang paling disegani, dihormati, dan di-di lainnya.
Tapi
serangan dari orang dalam yang tak lain dari wakilnya sendiri menambah
kepenatan dalam tubuhnya.
Memang
selama ini orang-orang di kotanya mengetahui ketidakharmonisan kedua pasangan
pemimpin kota. Hal ini terlihat dari banyak aspek. Semisal, ketika ada acara
apapun dan harus memasang baliho. Pada gambar baliho tersebut hanya ada Darma
dan istri. Sedang Hartawan dan istrinya tidak ada.
Begitu
juga dalam acara-acara kota Darma selalu bersama istrinya. Entah di mana
Hartawan sebenarnya? Tapi ketidakbersamaannya dengan Darma sering membuat
rakyat resah.
“Aku
harus jadi pemimpin di kota ini lagi. Tak peduli akan ancaman Hartawan. Aku
pasti bisa!” sikap optimis Darma menyala-nyala.
Ia
pun segera menghubungi sekretaris daerahnya yang juga akan menjadi pendampingnya
kelak.
“Kita
jangan lakukan serangan fajar, serangan subuh atau apapun itu. Saatnya kita
main cerdas.” Ucap Darma mengawali pembicaraan di telepon.
“Bagaimana
caranya?” tanya sekretaris daerahnya.
“Itu
menjadi urusanmu. Oleh karena itu, kutunggu kau di pendopo. Nggak enak bicara
di telepon!”
Maka
sekretaris daerah yang bernama Rupawan itu segera mendatangi rumah dinas Darma.
Mereka pun memiliki agenda untuk mendatangkan tokoh-tokoh berpengaruh di kota
seperti ulama, cendikiawan, juga para anak muda yang tergabung dalam komunitas
penulis. Dari sana, sepasang bupati dan sekretaris daerah yang akan maju dalam
bursa pemilihan bupati dan wakil bupati beberapa bulan lagi ini akan memberi
penjelasan tentang kota yang berarak maju lebih baik. Dari segi apapun.
Tak
lupa akan ada pemutaran pariwisata yang sekarang didatangi banyak wisatawan
luar negeri, juga rancangan tata ruang kota lima tahun ke depan. Sungguh,
dengan pemutaran tersebut akan membuat sensasi luar biasa. Dan pasti hadirin
yang datang akan mengatakan ‘wah’,
para ulama yang memiliki banyak santri juga akan menyumbang suara. Para
cendikiawan akan memberi respon baik yang turut membuat promosi gencar dikalangan
muridnya. Juga penulis muda yang akan membuat tulisan-tulisan indah seputar
pekerjaan Darma selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah dan juga
program kerja lima tahun ke depan.
“O,
jadi seperti kampenye terselubung ya, Pak?” Rupawan segera bertanya.
“Yup. Benar. Kita akan segera memulainya!”
Darma semakin optimis akan menang di periode mendatang.
“Lalu
bagaimana dengan wakil Bapak. Apa ia tidak diundang?”
“Ia
tidak terlalu penting kan. Bukankah ia hanya akan menjadi hama jika terus
berada di sekitar kita.”
*
Di tempat yang berbeda, Hartawan dilanda
kecemasan. Perangainya yang santun jika dilihat banyak orang tak membuat
hatinya sama dengan rupanya.
Entah
kekuatan darimana. Ia seperti merasa jika dirinya telah tersesat di kota ini.
Memang awalnya, lelaki yang berusia empat puluh tahun ini tak ingin menjadi
wakil bupati. Tapi, suratan takdir berkata lain.
Dan
dengan setengah hati, ia pun berusaha ber-drama di depan banyak masyarakat.
Tapi, itu tak lama. Setahun setelah menjabat sebagai orang nomor dua. Partner kerjanya mulai congak dan merasa
paling berpengaruh memimpin kotanya.
Maka,
Hartawan kehilangan arah. Ia tak pernah sedikit pun diajak untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan sebagai layaknya pemimpin daerah. Pun, ketika ada agenda yang
harus memasang baliho di pinggir-pinggir jalan raya. Tak ada satu pun potret
dirinya.
Satu
hal yang ia ancamkan pada sang pemimpinnya. Jika sampai ia terlihat tak bekerja
oleh masyarakat. Dunia akan berguncang mengetahui perangai buruk sang bupati.
Yang memiliki sikap suka nilep uang
kota, juga gemar bersama wanita-wanita.
“Ayah,
nggak capek.” Tiba-tiba suara anak Hartawan yang telah mencapai usia gadis menghentikan
lamunan Hartawan sejenak.
“O,
tidak sayang. Ada apa?”
“Besok
bisa ambil raportku.”
Hartawan
mengangguk.
Keesokan
harinya di sekolah gadisnya. Sekolah dibuat heboh akan kedatangan wakil kepala
daerah yang mengambil raport. Bak selebritis ibu kota, para wali murid meminta
berfoto dengannya.
“Maju
terus, Pak. Kalau Bapak jadi bupati periode depan. Saya pasti milih.” Suara wali
murid lainnya yang diikuti kata ‘setuju’
wali murid lainnya.
Hartawan
senang.
Di
ujung perjalanan menuju rumah dinasnya. Tiba-tiba ia mendapat SMS dari anak
buahnya yang berisi bahwa Hartawan sedang ditunggu sang bupati di Gedung
Pemberdayaan Masyarakat.
Hartawan
pun langsung menyuruh supirnya memutar arah.
*
“Bagaimana kabarmu wakilku?” tanya Darmawan
ketika melihat Hartawan. Di samping Darmawan ada Rupawan yang hanya
senyum-senyum sinis tak jelas.
“Ayo
masuk ke ruanganku!” ajak Hartawan.
Darmawan
dan Rupawan segera menerima ajakan Hartawan. Di dalam ruangan sekitar empat
kali lima meter itu mereka berbincang-bincang tentang kota yang berada di ujung
jurang.
“Kuminta
kau mundur sebagai calon bupati periode ini.” Kata Darmawan langsung to the point. “Rasanya publik di kota
ini sudah tahu, kalau kau tak pernah bekerja. Selain itu, kau juga memiliki dua
jabatan penting di kota ini. Bukankah selain sebagai wakil bupati. Kau juga
menjadi Ketua Pemberdayaan Masyarakat. Itu artinya dalam sebulan masyarakat mengetahui
jika kau mendapat dua gaji sekaligus. Jadi, sebelum opini publik menggiringkau ke
ranah yang lebih memalukan! Lebih baik mundur bukan?” tambah Darmawan.
“O,
masalahnya begitu. Kalau kau berani mengancamku. Aku juga tinggal memberi tahu
kepada masyarakat luas atas kelakuankau menilep uang rakyat, juga kegemaranmu
bersama perempuan-perempuan. Aku masih punya banyak foto dan bukti-bukti fisik.
Tentu, setelah masyarakat tahu, mereka akan menyuruh kau turun tahta sebelum
waktunya.”
“Yakin
kau punya bukti? Bukankah laptopmu telah rusak?” tanya Darmawan merasa di atas
angin.
“Darimana
kau tahu jika laptopku rusak? Apa ini kelakuankau untuk menghilangkan
bukti-bukti kelakuan bejatkau?”
“Hahah.
Kau pintar sekali wakilku.” Sekali lagi
Darmawan senang bukan kepalang atas perilaku anak buahnya yang menyabotase
laptop wakilnya itu.
“Tapi
kau jangan merasa menang dulu. Aku menyimpan bukti-bukti itu tidak hanya di
satu tempat. Jadi, siap-siap saja kau akan turun tahta sebelum waktunya.” Hartawan
angkat suara, diliriknya sekretaris daerahnya yang tak sedikit pun berbicara.
“Bagaimana Pak Sekda masih setia dengan pemimpin licik macam dia?”
Hartawan
melepas napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Bukankah dalam dunia politik tak
ada yang abadi. Kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan. Bukan tidak
mungkin, setelah aku didepak oleh dia. Kau juga bernasib sama? Apakah kita
lebih baik bekerja sama saja?”
Rupawan
membenarkan pernyataan Hartawan meski hanya dalam hati.
*
Acara yang digagas untuk pertemuan
penulis, cendikiawan, dan ulama se-kota sebentar lagi dimulai. Darmawan sebagai
bupati cukup puas akan kinerja orang-orangnya untuk menyukseskan acara ini.
Tapi, jauh dari itu beban pikirannya semakin bertambah berat tatkala bertemu
dengan wakilnya beberapa hari lalu.
“Selamat
pagi.” Ucap Darmawan memberi sambutan. Ia mencoba menenangkan dirinya agar
suaranya tidak terlalu bergetar.
Sekilas
ia melempar senyum kepada semua undangan.
“Masyakat
Kota Abal-Abal yang saya cintai. Maksud undangan kalian ke sini adalah sebagai
perwakilan dari masyarakat. Selain itu, saya juga akan mempresentasikan hasil
kerja sebagai bupati selama lima tahun. Juga, program kerja yang belum selesai
yang mungkin akan diteruskan oleh siapa saja yang bisa menjadi pemimpin di daerah
ini.”
Sesaat
Darmawan memberi kode agar video panorama wisata di kotanya diputar. Dan ketika
kembali menghadap ke audiens. Ia
terkejut bukan kepalang. Wakilnya ada di depan mata.
Video
diputar. Semua audiens tampak geram.
Bagaimana tidak dalam video tersebut ditampilkan bupati yang sedang
mabuk-mabukan dengan beberapa perempuan. Istri bupati yang hanya duduk dibangku
undangan tampak semakin sedih.
Wakil
bupati tersenyum menang, dalam hatinya ia bernyanyi, “Malaikat juga tahu, aku
yang jadi juaranya!”
Sontak.
Darmawan kaget bukan kepalang melihat video itu. Ia segera mendekatkan
tangannya pada jantung. Tiba-tiba serangan jantung mendadak menimpanya.
Dari
arah penonton tak ada satupun yang sudi membantunya. Mereka terus asyik menonton
kelakuan bejat pemimpinya. Dan itu berlaku sampai video-video itu habis.
Ke-esokan
harinya publik Kota Abal-Abal langsung berunjuk rasa meminta bupati mundur dari
singgasananya. Tak ada jalan lain. Dengan berat hati bupati langsung turun tahta
digantikan oleh wakilnya.
*
Sekalipun kini kuasa ada di tangan
Hartawan, ia merasa banyak mata-mata mengintainya untuk turun dari jabatannya
itu. Dengan taktik yang tak dimengerti banyak orang. Segera ia memecat
orang-orang yang dianggap masih tak terima dengan lengsernya Darmawan.
Hal
ini pun mencuatkan publik merasa jika kelakuan Hartawan hanya memperburuk
suasana. Apalagi pemilihan kota hanya tinggal sebentar lagi. Bagaimana mungkin
pengganti pejabat itu bisa bekerja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kekacauan
semakin bertambah. Apalagi media kota mengabarkan Hartawan yang memiliki
perangai tak indah. Bahkan, selama menjabat wakil bupati dan ketua badan
pemberdayaan masyarakat. Ia dapat gaji dobel.
Dan
masyarakat kian geram. Meminta Hartawan mundur dari jabatannya.
Kejadian
ini berdampak luar biasa pada Kota Abal-Abal. Rasa percaya langsung sirna.
Pemilihan kepala daerah dipercepat dari waktunya. Namun, tak satu pun
masyakarat menentukan nama yang pantas menjadi pemimpinnya.
Entah
bagaimana lanjutan cerita masyarakat Kota Abal-Abal yang berada di ujung jurang
itu? Mungkin saja mereka menanti datangnya Satria Paningit yang membuat suasana
berubah. Mari kita nantikan bersama-sama!
Kota di Tepi Jurang (Dimuat di Pikiran Rakyat Edisi Minggu 21 Mei 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
11:13:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment