“Awas hati-hati, tangganya licin!” seru
Zen ketika melihat Farida pacarnya yang kurang hati-hati dalam melangkah.
Perhatian
Zen pada perempuan yang usianya dua tahun diatasnya itu bukan terkesan lebay.
Tapi memang jalan menuju lokasi wisata yang kami tuju benar-benar berbahaya.
Jika kami tidak hati-hati bisa saja nyawa menjadi taruhannya.
Sebenarnya
aku tak berkeinginan ke tempat ini. Hanya saja, pagi-pagi sekali Zen dan Qudsy
mengabariku jika kami akan refreshing.
Tanpa menyebut tempat. Aku mengangguk setuju saja. Pun, tidak seperti biasa aku
sebagai bungsu dari empat bersaudara
selalu mengabari orang rumah jika hendak bepergian. Kali ini aku tak
melaksanakan hal tersebut. Sebab, bukan apa-apa orangtua tentu pasti mengizinkan.
Apalagi setelah aku membawa oleh-oleh foto dan kisah yang patut didengar.
Namanya
Coban Sewu, itulah tempat yang kami kunjungi. Karcis menuju tempat tersebut
tidaklah terlalu mahal, cukup lima ribu rupiah ditambah parkir mobil sepuluh
ribu. Kami berlima memang memilih mobil untuk digunakan sepanjang perjalanan
Jember-Lumajang, sebab khawatir cuaca berubah menjadi hujan, sehingga
mengakibatkan kami harus menerobos hujan sekembalinya ke Jember. Apalagi Jember
memiliki itensitas hujan yang teramat sering.
Mengingat
hujan, aku jadi teringat Nenek.
Perempuan
yang telah memiliki lima belas cucu dari tujuh anaknya itu pernah berkisah
bahwa Coban Sewu adalah tempat pertemuan pertama dengan Kakek. Seolah-olah
Coban Sewu adalah saksi kisah cinta mereka berdua. Mengingat kisah mereka, aku
jadi senyam-senyum tidak jelas.
“Aku
takut kamu kesurupan!” seru Andi yang sekaligus menjadi sopir dalam perjalanan
ini.
Aku
tak menjawab, tapi hanya cengengesan.
Setelah
itu, kami kembali melangkah menyusuri anak tangga yang sedemikian banyak
itu. Tapi tak perlu khawatir langkah
meneruni anak tangga itu juga disambut dengan peamndangan yang eksotis, jadi
tak patut disesali.
Lepas
dari anak tangga, kami melewati jalan yang basah karena aliran derasnya tumpak
sewu. Pun, kami harus lebih hati. Beruntung ada bantuan tali tambang dan rotan
di sisi kanan-kiri. Tergelincir sedikit saja, kami akan bertemu dengan tebing
curam yang siap menyambut. Tentu jika selamat dari kecelakaan seperti itu,
pasti akan mengalami patah tulang yang luar biasa.
Diam-diam
aku kagum pada Nenek, usia mudanya dulu bisa saja sampai sini. Sementara aku
yang kebetulan lelaki masak kalah? Tentu, malu dong jika sampai pulang ke
rumah.
Kaki
terus melangkah.
Kini
kami disambut derasnya air sungai demi menyebrang menuju spot utama air terjun. Di sinilah tantangan yang lumayan menguras
energi.
Sebagai
kelinci percobaan Zen mencoba mengkur tingkat kekuatan tambang yang melilit di antara
dua batu besar yang menghubungkan antar ujung sungai. Maka lelaki asal Pasuruan
itu pertama kali menyebrangi sungai, lalu dilanjutkan pacaranya, aku, Qudsi,
dan kemudian Andi. Kami sampai dengan selamat.
Keindahan
lukisan alam benar-benar sudah terlihat. Bahkan, tetesan air terjun begitu
mengenai tubuh kami. Tapi, untuk spot
berfoto tentu tempat ini bukan hal yang tepat. Makanya, kami melanjutkan
kembali dengan menaiki tebing satu persatu, hingga tiba di atas. Untungnya di
tempat ini pula kami bertemu dengan banyak wisatawan.
Sama
seperti kami, mereka begitu kegirangan ketika sampai di spot utama. Sudah barang tentu, selfie mutlak dilakukan.
Beberapa
foto dengan berbagai pose dilatari air tejun Tumpak Sewu yang serasa membentuk shaf-shaf yang banyak jumlahnya.
Sehingga ketika airnya mengalir semua, aliran tersebut menimbulkan kesan
bertumpuk-tumpuk dan saling berumpang-tindih. Mungkin dari kata itulah diambil
nama tempat ini.
Tiba-tiba
pikiran tentang Nenek kembali bergelanyut dalam pikiranku.
Beberapa
hari sebelum berangkat ke tanah rantau, Nenek sempat jatuh sakit karena
penyakit tuanya kumat. Beruntung aku sempat
berada di dekatnya. Setelah cukup mendingan aku langsung tancap gas
kembali ke tanah rantau. Apalagi ada perempuan yang selalu kutunggu di setiap
waktu yang kupunya. Tak lain dan tak bukan adalah dosenku sendiri.
Dan,
barang tentu jika aku segera menyelesaikan semua urusan di kampus. Aku bisa
kembali ke kota asal. Lalu mengabdikan diri di sana, sambil menemani nenek di
hari tuanya.
Pikiran
tentang Nenek itu pula membuatku terpaksa mengeluarkan ponsel. Segera kucari
potret Nenek bersama Kakek yang diam-diam aku curi di galeri foto keluarga.
Dari foto itu, Nenek dan Kakek berfoto tepat di tempatku saat ini, yakni di
tebing dekat air terjun. Mereka berdua saling bersisihan, jarak antara mereka
berdua dibilang dekat tidak juga, dibilang jauh tidak juga. Jaraknya sekitar
dua orang dewasalah kira-kira. Tapi dari auranya, tampak bahwa ada rasa pada
jumpa pertama.
“Kamu
tahu Kakek pernah bilang, jika kita ketemu lagi. Sudah pasti kita akan jadi
jodoh!” ucap Nenek ketika aku minta menceritakan pertemuan dengan Kakek.
“Dan,
benar saja. kami kembali bertemu lagi. Tapi, di Coban lain yang ada di kota apel.”
Aku
tersenyum mengingat itu semua.
Sungguh
dalam hati, ingin merasakan apa yang kakek dan Nenek temukan di tempat ini.
Sebuah cinta sejati yang mereka bawa hingga mati.
“Mulai
deh senyam-senyum sendiri!” Qudsy mengingatkanku.
Keempat
temanku ini mungkin sedikit khawatir dengan kondisiku yang sedikit-sedikit
senyam-senyum nggak jelas.
“Aku
baik-baik saja! Tidak sedang kesurupan. Kalian tenang saja!?”
Mereka
akhirnya menerima apa yang kukatakan, selepas itu sekitar lima menitan kami buat video yang nantinya akan dipamerkan
di sosial media.
Aku
jelas-jelas mengikuti hal tersebut demi mencapai eksistensi yang gemilang.
Setelah berpuas dengan nafsu eksistensi itu, kami kembali menuruni tebing.
Langkah selanjutnya adalah menuju Gua Tetes. Dari sana, kami kembali melewati
sungai yang sedemikian arusnya deras itu.
Sepanjang
aku mau melangkah.
Aku
seperti mendengar rintihan penuh kesakitan.
Tanpa
ditahu darimana sumbernya, tiba-tiba rintihan penuh kesakitan itu menyesakkan
dadaku, lamat-lamat membuat aku menangis tidak jelas. Pacar Zen, satu-satunya
perempuan yang kami bawa merinding ketakutan.
“Woy!”
Andi menggertak.
Aku
segera menguasai diri, setelah itu berusaha menyebrangi sungai.
Dari
arah bersebrangan, tiba-tiba air meluap sedemikian hebat. Tali penyangga sungai
terbawa arus seketika. Aku yang kedapatan berusaha menyebrang terkena imbasnya
dengan dibawa arus.
Zen,
Qudsi, dan Farida yang telah berhasil menyebrangi berusaha menolongku, mengejar
ke arah sungai yang membawa tubuhku. Sementara Andi yang belum menyebrang
tampak begitu panik. Hanya itu yang bisa aku ingat, sebab setelah itu aku sudah
masuk dalam pusaran air sungai yang kian dalam.
Dan
sesadarnya Zen dan aku telah basah kuyup.
“Untung
kamu selamat, jika tidak nanti aku harus bicara apa sama orangtuamu!” seru
Qudsi.
Andi
menimpali, “Jangan bengong-bengong nggak jelas lah! Kita ke sini berlima, pulangnya
yang harus berlima lagi!”
Farida
tak berbicara apa-apa, begitu pun Zen yang masih syok dengan keadaanku.
Dan,
suara kesakitan itu kembali berdengung di telingaku.
Suara kesakitan itu
seperti memanggilku untuk datang menghampirinya, tapi aku tak tahu darimana
asalnya dan mengapa cuma aku yang mendengarnya.
“Jam sudah mau pukul
satu, khawatir sebentar lagi hujan. Kita segera naik ke atas!” titah Qudsi.
Maka kami kembali
berjalan ekstra hati-hati, perjalanan kali ini melewati spot wisata lain, yakni Gua Tetes. Gua tetes ini juga menunjukkan
keindahanya yang tak biasa. Di sana tampak
sumber mata air dari atas gua memancar ke segala arah hingga air tadi
jatuh di setiap sisi gua, sehingga seakan-akan ada tetesan yang memancar secara
perlahan.
Tapi mungkin itu berlaku
bagi teman-teman, tidak bagiku.
Sebab memandang gua tetes
aku jadi kembali mengingat Nenek yang pernah menangis lantaran aku pulang
sekolah kemaleman. Bahkan, Nenek mencariku ke rumah teman tempat biasa
nongkrong. Padahal, perempuan berusia lanjut itu tidak diperkenankan jalan
begitu jauh.
Perlakuan Nenek itu hanya
berlaku bagiku, tidak dengan kakak-kakak atau sepupuku yang lain.
Ah! Mengingat itu semua!
Tiba-tiba airmataku menetes, untungnya tetesan gua tetes membuatnya seolah-olah
tidak pernah ada hujan airmata di sana.
Mengingat air, aku
langsung memastikan ponselku tidak apa-apa, sebab di sana ada potret Nenek d n
Kakek yang ingin kubandingkan saat aku di sini. Hanya saja potret kenangan itu
hilang diterjang begitu banyaknya air yang masuk dalam andorid itu.
Ah.
Payah!
*
Akhirnya, kami sampai di Jember.
Teman-teman tak langsung membawaku pulan ke kost. Mereka terpaksa menginapkan
di kost-an Zen, Qudsi dan Andi juga terpaksa menginap. Kekahwatiran mereka
terlalu lebay bagi lelaki macam aku.
Hanya
karena aku senyam-senyum nggak jelas mereka takut aku ketempelan sewaktu di air
tejun.
Padahal,
perjalanan itu membuatku bernostalgia ke masa cinta kakek dan Nenek dulu.
Hal
itu terbukti di kost-an Zen tidak terjadi apa-apa.
Bahkan,
aku tidur dengan begitu lelapnya.
Sampai
aku merasa ada perempuan tua di dekatku, dan benar saja, ketika aku membuka
mata ada nenek di sana. Tatapannya sayu, wajahnya begitu pucat.
“Nggak
mau pulang kamu?” tanyanya dengan sabar.
“Tidak,
Nek. Kan aku baru di Jember.”
“Segera
pulang!”
Aku
membuka mata, ternyata cuma mimpi.
Kucek
ponsel yang telah dikeringkan, tapi tetap tak bisa nyala. Dan, berhubung
teman-teman sedang tidur. Aku segera meminjam tanpa izin ponsel Zen, menukar
dnegan nomor teleponku.
Selepas
itu, banyak sekali SMS yang masuk. Mengabarkan jika Nenek telah dimakamkan
sekitar jam satu siang, tepat ketika aku terbawa arus dan hampir meregang
nyawa.
Jember, 14 Februari 2017 20:59
Permintaan Nenek (Dimuat di Bangka Pos Edisi 6 Agustus 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
9:04:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment