Pagi datang
tanpa tergesa-gesa. Subuh masih belum purna menghilang. Tapi, kaum Ibu sudah
sibuk dengan urusan dapur. Mereka tampak mempersiapkan nasi karak, kopi, dan
teh bagi kaum lelaki yang mengurusi pemasangan atribut pernikahan.
Aku tak terlampau banyak ikut campur
masang-masang terpal ataupun yang lainnya. Aku hanya menemani kakak yang
bercengkrama dengan para tamunya. Mereka juga welcome padaku.
“Sudah kelas berapa?” tanya seorang
bapak yang dipanggil Obek oleh Kakak.
“Deriya
lah kuliah.” Jawab Kakak mengatakan jika aku sudah kuliah.
Aku kembali menuangkan kopi ke
cangkir Obek. Pembicaraanmu berkutat pernikahan dan tetek-bengeknya.
Sekali-kali aku mendengarkan, sekali-kali tidak. sebab sungguh aku tidak begitu
paham. Apalagi katanya bakal ada ruwatan. Ruwatan atau slametan. Fokusku yang
paling utama adalah menikmati nasi karak. Jika nasi karak di rumah itu nasi
dengan aroma pandan diatasnya ditaburi parutan kelapa dan ikan atau tahu. Di
tempat ini, nasi karak itu tanpa lauk. Kontan aku tak mau. Enak aja, makan nasi
tanpa lauk. Ada yang kurang tahu. Hiihi. Beruntung Ibu Mertua dari Kakak paham
apa yang ada dalam hatiku. Beliau segera membawa ikan tongkol. Aku memutuskan
ambil dua. Mumpung kesempatan kan? Kalau pas aku di Jember, jarang sekali makan
ikan. Paling ayam, sate ayam, telur goreng, lele, wader, dan jamur. Si Ibu mertua juga tidak keberatan, malah
menyuruh nambah, “Nanti ambil sendiri kalau kurang ikannya.”
Seusai makan, usai pula pemasangan
tatarop. Aku segera menemani Gibran untuk melihat sapi. Entah apa alasan
terkuat keponakan termuda di keluargaku ini menyaksikan sapi? Terlepas dari itu
semua, saya sebagai Om Penyu menemani dengan senang hati. Pun, anak kecil di
bawah dua tahun itu tampak senang berada dalam gendongan saya. Kami sempat
selfie. Meski hasilnya tidak memuaskan. Tapi, tak apa-apa lah sebagai
kenang-kenangan.
Acara pernikahan dan slametan akan
dilaksanakan keesokan harinya. Hal ini membuat saya bisa berleha-leha. Apalagi
setelah Gibran bisa ditransfer ke Ibu. Saya pun kembali menuju kamar untuk
mengupdate informasi terbaru. Sambil berselancar di dunia maya.
Dan, keesokan harinya. Hari selasa
dimulailah ruwatan. Ruwatan itu merupakan bagian adat yang harus dipertahankan.
Di sini terdapat beberapa bahan yang harus ada, seperti air tujuh sumber,
kembang tujuh rupa, dan lain-lain. Ada
tiga orang yang mendengungkan mantra. Mantranya berasal dari bahasa Jawa yang
kemudian diterjemahkan ke bahasa Madura. Cerita yang diangkat dalam matra itu
sngguh ciamik. Beberapa kali orang yang ikut slametan tertawa. Saya tak
terkecuali. Setelah pembacaan mantra (kidung), selanjutnya penyiraman calon
mempelai dari air sumber pitu dan bunga tujuh sumber. Orang-orang banyak yang
mengantri. Tak sekadar mengantri untuk memandikan calon mempelai perempuan,
mereka juga memberi uang koin di tempat yang disediakan. Setelah calon mempelai
itu, dua kakaknya dimandikan juga (salah satunya kakak ipar saya). Kesegaran
air seolah membayang didepan mata. Tapi, itu bukan air biasa melainkan air
tradisi yang bercirikan budaya.
Hal yang mengelitik terjadi. Ketika
ketiga calon mempelai perempuan itu berlari bersama kakaknya setelah dipecut
oleh Dalang. Acara ruwatan berakhir. Saya pun mendekati dalang untuk wawancara.
“Pak, ruwatan itu wajib ya?
Mengapa?”
“Hukumnya bukan fardhu ain, Nak. Tapi, ini tradisi. Apalagi mempelai di sini anak
bungsu tiga bersaudara perempuan semua. Pihak mempelai laki-laki anak bungsu
dari lima bersaudara dan semuanya laki-laki.”
Aku manggut-manggut.
Sebelum mengeluarkan pertanyaan
selanjutnya. Dalang utama dan dalang lainnya dikerubuti ibu-ibu. Saya mundur
dengan perlahan dan memilih mandi untuk menyegarkan tubuh.
Malam harinya saya bercengkrama
dengan Ibu Mertua kakak. Beliau menawari banyak nasi.
“Duh, Lek. Aku mau makan. Kalau Lek
makan juga.”
“Lek sudah makan tadi, Nak.”
Mendengar itu aku langsung makan.
Perkataanku yang mungkin kelihatan manja sebenarnya ingin mengkonfirmasi apakah
ibu mertua kakak itu sudah makan atau belum. Sebab biasanya orang yang punya
hajat, terkadang tidak memilih makan karena terlampau banyak pikrian. Jika itu
terjadi tubuh bisa ambruk! Tidak kuat!
Hari Ketiga
Merupakan puncak dari acara berada
di sini, sedari pagi kesibukan mulai bertambah. Dan saya sebagai tamu tidak
terlampau lelah. Hanya saja jam 9 sudah siap dengan sarung menyambut kaum bapak
yang mendoakan atau dikenal dengan istilah onjengan
(walima-an). Tugasku sebagai penyambut tamu adalah menyalami satu-satu.
Meski tangan ini capeknya setengah mati. Tapi,
ya, tidak apa-apa. Hitung-hitung belajar jika nanti duduk di kursi mempelai dan
menyalami buuanyak orang. *eh, lupakan. Sungguh ini nggak penting ya*
Tak sekadar menyalami, jika saya
merasa bosan. Saya segera berganti haluan dengan memberikan nasi berkat (nasi
kotak yang berisi beberapa jajan) kepada kaum bapak, satu batang rokok, dan
satu air mineral ukuran sedang. Onjengan
ini dihadiri oleh tetangga. Kakak dan sekeluarga hanya mengundang warga sekitar
tanpa meminta sumbangan. Jadi, sekadar onjengan.
Pertemuan besan. Sudah. Tidak ada resepsi-resepsi.
Resepsi dilakukan di rumah mempelai
pria.
Aku pun mengikuti prosesnya. Sementara Ayah dan Ibu tidak ikut dan menjaga
rumah. Dari rumah mempelai putri ke mempelai pria berjarak sekitar tiga
kilometer. Makanya dicarterlah sebuah Elf. Berhubung aku telat masuk Elf, akhrinya
aku kebagian tempat duduk di belakang bersama Putri dan Lek (Ibu Mertua Kakak).
Sungguh, saat itu aku menahan
kantuk. Pun, sesampai di rumah mempelai pria. Aku hanya turun sebentar,
kemudian memilih tidur di dalam ELF. Kondisi tubuh yang sedemikian lelah (meski
tidak banyak berbuat apa-apa) membuat tidur begitu nyenyak. Apalagi di hari
keempat ada agenda ber-silaturahmi ke saudara-saudara di Sumenep sana.
Kami berangkat ke Sumenep pada hari
Kamis sekitar jam 9. Tujuan transit pertama di rumahnya Lek Yaya. Setelah cukup
lama, kami ke rumah tiga sepupu ibu yang semuanya perempuan. Tangis haru pecah.
Ibu dipeluk-dicium oleh tiga adik sepupunya, hal yang sama juga dilakukan oleh
Mbah Putri yang begitu mirip dengan almarhum Mbah Putra. Tak lupa aku diperkenalkan
oleh Ibu.
Dan, tiba-tiba ada satu pertanyaan
yang menyenttakan jiwa.
“Trisno harus di Madura. Biar
nyambung silaturahminya.”
Tiba-tiba pembicaraan masuk ke dalam
perjodohan aku dengan salah satu putri dari Lek. Sebenarnya putrinya ada dua,
satu sepantaran, satunya lagi dibawah satu atau dua tahun. Nah, disuruh milih
salah satu. Sungguh aku ingin menahan tawa. Tapi, ya, jalanku masih panjang.
Kuliah belum kelar. Udah mikir ke sana. Hiihhi.
Selain pada tiga sepupu Ibu,
malamnya kami ke rumah Mbah Amam. Tangis pecah kembali terjadi. Pasalnya Ibu
sudah dua puluh tahun tidak ketemu dengan adik Mbah Putra itu. hampir sama
dengan umurku. Mbah Amam itu termasuk orang berada. Maklum beliau itu pensiunan
PNS, mungkin karena beliau kaya orang tua jadi minder ke sana. Atau karena
alasan lain. Seperti misal silaturahmi yang tak semudah sekarang.
“Sudah kelas berapa?” tanya Mbah
Amam padaku.
“Semester tujuh, Mbah.”
“Kuliah?” anak Mbah Amam ikut
nimbrung.
“Ya, Lek. Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Univ. Jember.”
“Sama dengna Lek-nya.” Ujar Mbah
Amam.
Aku tersenyum senang.
Usai bercerita ngalor-ngidul. Kami
pun makan malam, setelah itu bercerita lagi, dan pulang. Tak lupa Mbah Anam
memberi uang padaku. Sebenarnya kami disuruh menunggu Lek yang sedang sholat.
Mungkin jika menunggu, uang yang ada di kantong celana akan bertambah. *Eh, tapi apalah daya. Sepeda sudah
keluar dari pekarangan rumah dan mulai membelah Kota Sumenep yang tak terlampau
padat.
Di rumah Lek Yaya. Kami ditawari
makan, dan sontak kami tolak dengan halus karena sudah makan di Mbah Amam.
Setelah itu, kami istirahat. Dan, besok pagi sebelum jam tujuh kami berangkat
menuju Pelabuhan Kalianget. Di sana ngantrinya tidak sebagus di Jangkar,
walauapun, begitu Madura menyiyakan rindu. Berharap suatu saat bisa berkunjung
kembali dan mencium aroma tanah tempat Ibu lahir dan dibesarkan.
Mengenal Silsilah Keluarga dan Tradisi Pernikahan di Tanah Ibu
Reviewed by Dunia Trisno
on
3:14:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment