Entah mengapa aku
ingin mati seperti ia. Bunuh diri. Tapi wajah Marini yang selama ini melekat di
benakku seakan melarangku, menarikku dari imajinasi kematian. Aku harus hidup.
Menajaganya sampai Tuhan yang menentukan.
Bukan karena jiwa ini
yang lemah. Tapi untuk sekarang. Aku harus melawan wajah Marini yang melarangku
melakukan hal bodoh. Aku tak pantas hidup. Aku tak berguna.
Lihatlah aku sudah
menggantungkan tali-tali di langit-langit kamar. Ya, tali-tali itu sudah
menarik leherku. Tinggal kutendang saja kursi yang kuinjak di kamar yang sepi
dan kukunci. Secarik kertas sudah aku tidurkan di atas lantai, dan juga sebuah
puisi terakhir untuknya. Agar ia tahu tentang semua alasanku.
Tulisan di atas merupakan blurb novel yang akan dibedah di Kelas Online Bimbingan Menulis
Novel. Berbeda dengan kelas bedah novel sebelumnya, novel ini ternyata ditulis
secara keroyokan (bersama-sama) dengan total 23 penulis. Tentu, jumlah tersebut
membuat sensasi tersendiri.
Seperti diungkap Mel Ara, ternyata ide pembuatan
novel ini berawal dari semangat para anggota KOBIMO yang ingin menghasilkan
karya. Lalu Pak Kepsek Hengki Kumayandi sebagai pencetus ide merangkul semua penulis di
KOBIMO yang mau bergabung. Ragiel Jepe sebagai pengampu kelas ini kemudian
mempertanyakan seputar pemilihan tema, apalagi jika membaca blurb-nya seperti ada unsur thiller. Namun, hal tersebut langsung
dibanta oleh Mel Ara disertai emotikon senyum, “Nggak thriller kok, itu cuma semacam konflik cerita aja, hehe. Memang
agak tragis ya konfliknya.”
Pancingan pertanya si Pengampu Kelas langsung
direspon oleh anggota KOBIMO lainnya. Seperti Baiq Cynthia yang mempertanyakan
bagaimana dengan cara koordinasi menulisnya dan menentukan alur yang dikeroyok
23 penulis? Ternyata, ke-23 penulis membuat grup tertutup untuk tempat
komunikasi. Hengki Kumayandi membuat pembagian per bab dan membuat outline,
lalu kami selesaikan per bab sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Satu bab
sekitar lima hari kalo nggak salah. Untuk soal bagian edit diserahkan ke Eva Sri Rahayu, ke-23 penulis menulis cerita sesuai outline
aja. Lebih simpel sebenarnya, kami menulis apa yang bisa kami tulis, dan
dipoles lagi oleh editor.
Penyatuan ide itu ternyata berasal dari satu
kepala, lalu dibahas bersama-sama. Setelah mendapat mufakat atas ide tersebut
lalu dibikinlah outline dan dikembangkan oleh masing-masing penulis sesuai
jatah babnya.
“Bagaimana
nyatuin karakter tulisan? Bagaimana solusinya kalo ada salah satu penulis ada
sedikit apa namanya 'macet' gitu?” tanya Shoma
Noor Fadlillah.
“Penggarapan novel ini pun sebenarnya nggak selalu
mulus. macet pasti ada, dan itu lumayan mengulur waktu. Solusi saling mengingatkan
aja sih ya.” Ungkap Fina Lanahdiana.
Kendala: susahnya koordinasi penulis yang begitu
vanyak, susah menyatukan kepala dalam satu karakter, penyatuan per bab yang
kadang berhenti, dan yang paling penting, menemukan penerbit itu juga nggal
mudah. Lanjut perempuan itu kemudian.
Menurut Riawani Elyta dalam blognya untuk sebuah novel yang ditulis
oleh puluhan penulis, novel ini tergolong rapi dan smooth. Kita seperti membaca novel yang ditulis oleh satu orang.
Gaya tutur di setiap bab nyaris sama. Perjalanan alurnya juga mengalir lancar.
Kalaupun masih terdapat beberapa lubang plot yang belum tertutup sempurna, hal
itu tidak sampai mengurangi keutuhan penyampaian kisah dalam novel ini.
Ternyata rahasia terbesar dalam menulis novel
ini adalah tetap pada patuh terhadap outline
yang dibuat bersama-sama. Sebab, khawatir jika melenceng dari outline.
Cerita akan melebar dan berkembang ke mana-mana. Padahal, jika melihat kendala tersulit adalah
saat kami (si penulis) saling
gontok-gontokan pada waktu ada gesekan beda pendapat. Hal tersebut juga menjadi
keseruan tersendiri.
Awalnya novel ini berjudul “Young Writer”, namun
atas kesepakatan penerbit akhirnya judul berubah menjadi “Sebanyak Tetesan Hujan
Kali Ini". Judul yang semacam filosofis ini tidak diungkap dalam bedah
tersebut. Malah, Ain Saga menjawab dengan gaya bercandaan yang khas, “Beli,
buka dan baca deh.. ntar ada hujan dari matamu hihi.”
Kekuatan utama dalam novel ini adalah masing-masing
penulis mendapat kuota untuk menjabarkan per-bab yang sudah dibagi sebelumnya
oleh pemilik outline, yaitu kepala
sekolah KOBIMO, Hengki Kumayandi. Saat masing-masing bab dipresentasikan untuk
dikritisi, semua penulis bebas memberi saran dan masukan pada masing-masing
hasil jabaran outline per-bab. Hasil
akhir, penulis wajib menulis kembali hasil revisian sebelum jatuh di meja
editor, dan dibantai sekali lagi. Setiap bab baru lahir, kami semua wajib hadir
untuk duduk bersama dan sharing tentang tulisan tersebut. Di situlah, kadang
berbenturan ide-ide dari sekian kepala dan keseruan tak terhindari pun,
terjadilah. Daya pikat novel ini dari pesan pada karakter tokoh utama yaitu:
Putra, yang sabar menjalani hidup dengan segala cinta, kerinduan pada sosok
ayah, kejujuran dalam profesi sebagai "Young writer", juga tentang
ketabahan dan ketangguhan.
Kelas ini ditutup dengan Sri Rahayu yang melontarkan
kesulitan dalam mengedit naskah ini mengingat ada perbedaan karakter beberapa
penulis. Meskipun kebanyakan secara alami sudah satu napas. Karena patuh pada
sinopsis dan outline. Juga para penulis cukup menjiwai tokoh-tokoh yang
ditulis. Semoga dengan hadirnya novel
ini, semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia. Keep spirit! Keep write! Do the best!
Catatan: Tulisan ini pertama kali dibuat pada 02 April
2016 dengan berpedoman pada dokumen dan komentar di kelas Bedah Novel
tertanggal 28 Maret 2016. Kini, karena suatu dan lain hal grup KOBIMO tak lagi
menyapa di Facebook. Walaupun begitu, ilmu yang diperoleh di grup itu tak akan
lekang oleh waktu.
Baca
Juga:
Bergotong-Royong dalam Menulis Novel
Reviewed by Dunia Trisno
on
10:48:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment