Aku seperti mencium tanah Ibu dilahirkan dan dibesarkan.
Bukan penciumanku yang cukup tajam, tapi memang begitulah kenyataannya. Senin
(18/7) setelah mengantar keponakan tercinta bernama Isabella Dwi Hasbullah ke
sekolah. Saya langsung menyiapkan pakaian guna menyebrang ke pulau sebelah.
Letak
Situbondo yang berada di dekat Bali dan Madura, memang sangat strategis. Tapi,
tunggu dulu. Saya bukan hendak menyebrang ke Bali. Melainkan ke tanah Madura.
Pulau garam yang selalu dirindukan mata dan hati.
Rasanya
belum perjalanan saja. Hati ini sudah senang bukan kepalang. Tentu aku tak
sendiri menuju pulau yang khas akan tradisi kerapan sapi itu, melainkan bersama
Ayah dan Ibu.
Pilihan
transportasi kami adalah menaiki kapal ferry, bukan melalui perjalanan darat yang
kemungkinan lebih lama karena terjebak macet. Akibat pilihan tersebut, dari
Panarukan kami harus ke Jangkar terlebih dahulu. Padahal, sepeda motor yang
kami gunakan hanya satu. Alhasil, Ayah menaiki angkot terlebih dahulu. Sekitar
jam setengah dua belas. Sementara aku dan Ibu menancap gas sepeda motor jam dua
belas lebih. Walaupun begitu, rasanya aku, Ibu, dan Ayah memiliki ikatan wifi.
Pasalnya kami sampai di Jangkar hampir bersamaan.
Pelabuhan Jangkar ini merupakan salah satu
pelabuhan yang ada di Situbondo, selain Pelabuhan Panarukan yang terkenal di
zaman Belanda. Walaupun, sekarang Pelabuhan Panarukan hanya tinggal kenangan.
Kembali ke topik ya, soalnya kalau bahas Panarukan pasti tidak
ada habisnya. Saya langsung mengantri membayar tiket. Budaya antri begitu
tertanam di pelabuhan ini, walaupun yang mengantri bak semut yang mengeruti
makanan. Tapi, tak ada pertikaian atau
adu mulut. #ea
Tiket segera didapat sekitar tiga puluh menit
mengantri. Perjalanan
dari Pelabuhan Jangkar menuju Pelabuhan Kalianget cukup murah, yakni 48 ribu
dan 47 untuk tiap orang.
Kami pun segera menuju kapal. Pihak Pelabuhan
mengkonfimasi tiket yang kami miliki di altar dermaga. Setelah itu, barulah
kami bisa bergegas ke kapal. Ayah yang berjalan kaki, sementara Ibu saya bonceng
ke kapal. Beruntung, di kapal sepeda motor terparkir dekat dengan pintu kapal.
Jadi, nantinya saya bisa bernapas legah ketika mengeluarkan kendaraan roda dua
bermesin itu.
Mencari tempat duduk menjadi titik utama
selanjutnya. Oya, ini kali pertama saya menaiki kapal ferry jurusan Madura. Biasanya nyebrang ke Bali. *Eh, sombong ya?
Hiihhi*. Hampir sama dengan kapal ferry di tempat lainnya. Kapal ferry
menyediakan fasilitas yang bagus. Mulai dari tempat duduk yang sesuai
keinginan, ada kamar VIP, tempat duduk seperti bus, tempat rebahan (seperti
bilik kamar), dan tempat di luar kapal dengan memandang laut biru yang begitu
teduh. Pun, Selain itu, kita
bisa memilih tempat duduk yang sesuai dengan
keinginan. Soal fasilitas seperti karaoke dan dapur?
Tenang ada kok. Walaupun begitu, kami sudah mempersiapkan bekal dari rumah guna
mengefisensi pengeluaran.
Nah, karena pilihan berselonjor telah habis.
Maka, kami memilih tempat duduk seperi bus yang terletak di lantai 1. Kapal
yang kami tumpangi ini memiliki tiga lantai.
Kami tak langsung tidur, namun menikmati
makanan. Dan tentu saya memanfaatkan kesempatan jalan-jalan ini dengan memotret
beberapa bagian penting kapal dan yang paling pentu adalah ber-selfie. Seperti
foto-foto berikut.
Perjalanan yang kami lakukan semakin bertambah
nikmat ketika jelang Maghrib menimati sketsa sore yang indah. Sore di atas laut
dengan deburan ombak sebagai nyanyiannya, dan hiasan sore yang menggantung di
langit. Sungguh perpaduan yang indah. Hal yang tak kalah nikmat, ketika saya berhasil
menemukan sinyal ponsel di tengah laut. Tentu, kesempatan ini segera saya
gunakan dengna mengunggah beberapa foto di Instagram.
Perjalanan yang indah dan nikmat itu juga
membawa relasi baru bagi Ayah, yakni menemukan pedagang ikan. Ayah sempat membandingkan
harganya. Ternyata masih lebih mahal di Jawa. Lelaki yang menangis dari
keringatnya itu segera menukar nomor ponsel. Sementara saya sibuk memerharitkan
keindahan yang ada dan angin yang begitu menentramkan tubuh, hingga tak terasa
kami sampai juga di Madura. Tujuannya langsung menuju rumah Lek Yaya sekitar
lima kilometer dari Pelabuhan Kalianget. Soal Ayah? Duh, hampir lupa nggak
diceritain. Ayah dijemput kakak, sedang aku tetap bersama Ibu ke Marengan-rumah
Lek Yaya-. Di sana, aku segera mengantarkan petis, ikan, dan beberapa panganan
buatan ibu secara langsung. Yang pesan bisa inbox ya? Hiihhi. Lek Yaya tampak
senang dengan kehadiran kami, tapi kami hanya singgah sebentar. Setelah itu
menuju tujuan utama: Rumah Kak Awi di Saronggi.
Saya segera menggunakan kacamata. Bukan
apa-apa, sebab jika tidak menggunakan alat bantu ini, penghilangatan saya
kurang enak jika perjalanan malam. Apalagi situasi langit yang sedang galau.
Perjalanan serasa begitu tak mengenakkan. Bukan hanya keadaan mata yang kurang
awas dan situasi langit. Tapi, ada masalah lain yang kemudian datang. Hujan.
Hujan yang datang bergotong-royong membuat kami tetap menerobos. Barulah, di
tengah perjalanan kami memegang mantel. Walaupun, begitu tidak membuat kami
basah setibanya di rumah
Kami sampai di sana sekitar jam sembilan malam.
Satu jam perjalanan dari Marengan tampaknya. Dan, di sana Ibu memilih tidur
dengan cucu-cucunya: Gibran dan Putri. Aku dan Ayah tidur di kamar sebelah.
Sedari tadi saya cukup bercerita perjalanan ya?
Tidak dengan tujuan utama. Baiklah saya akan memberitahu sekarang. Kami ke
Madura karena suatu misi: melihat adik ipar kakak menikah yang sarat akan
tradisi. Mau tahu, cek kisah perjalanan selanjutnya ya?
Mencium Tanah Ibu
Reviewed by Dunia Trisno
on
2:59:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment