Di
tengah waktu liburan dan menantikan kuliah perdana, saya diajak Rifki--- seorang
teman yang berasal dari lingkungan rumah yang sama --- untuk mengisi
waktu senggang dengan bekerja.
“Kerjanya
apa?” tanya saya sebelum kami berangkat kerja di pagi sekitar jam tujuh.
![]() |
Diolah dari http://4.bp.blogspot.com |
Ahh.
Jam tujuh. Rasanya seperti sekolah saja, jam segitu sudah kerja. Bukankah
banyak pekerjaan yang dimulai jam delapan atau sembilan, seperti toko-toko di
pinggir jalan misalnya.
“Bikin
keranjang sampah.” Jawab Rifki, mantap.
“Sulit
nggak?” Saya bertanya lagi guna memastikan, apakah saya bisa bekerja seperti
itu?
“Gampang.”
Akhirnya
keluar juga jawaban yang melegakan terlontar dari Rifki. Kami pun berjalan
menuju tempat kerja yang berjarak sekitar tujuh ratus meter. Sekitar lima belas
menit, kami telah sampai di tempat kerja.
Kami
pun disambut dengan banyaknya triplek yang akan disulap menjadi keranjang
sampah cantik. Beberapa pekerja yang lebih dahulu bekerja di sini, mencontohkan
proses pembuatan.
“Cukup
gampang.” Komentar saya dalam hati.
Dengan
penuh ketelitian saya berusaha merangkai keranjang sampah itu, mulai dari
merekatkannya dengan lem besi.
Kehati-hatiaan diperlukan agar lem tidak sampai mengenai tangan atau
kulit. Apalagi lem yang digunakan adalah lem besi, setelah mengelem, masih
di-tes apakah keranjang yang saya rakit telah kuat? Tidak, cukup sampai di
situ, masih ada berbagai proses lainnya yang ternyata membuat sakit badan.
Sore
hari sekitar jam empat pekerjaan ini selesai. Tentu, kami tidak bekerja
sehari full. Sejak jam tujuh sampai jam empat kami diberikan waktu
istirahat dari jam duabelas sampai jam satu siang, baru jam dua hingga jam
empat kembali bekerja. Efek bekerja seharian ini, tidak hanya membuat punggung
dan tubuh saya merasakan sensasi yang luar biasa. Tapi, juga berakibat pada
kotornya pakaian yang dikenakan.
Jelas
saja! Yang saya hadapi adalah triplek, ndempul,
lem, dan sederet hal lainnya yang bisa membuat pakaian mudah kotor. Jangan
tanya soal berapa uang yang saya terima setelah seharian kerja? Lima puluh
ribu? Atau seratus ribu? Terlalu jauh Anda menghitung. Uang yang saya terima
hanya dua puluh ribu, tapi dari uang itu saya belajar untuk lebih menghargai
pekerajaan. Dan betapa penuh perjuangannya para orangtua yang membanting tulang
dengan ototnya hanya demi sesuap nasi untuk keluarga di rumah.
Pekerjaan
ini memang berbeda dengan kondisi orangtua yang menjadi pedagang ikan kecil
yang hanya membutuhkan es guna mengawetkan ikan. Tapi, semua pekerjaan apapun
yang menggunakan otot itu pastilah rasa capeknya luar biasa.
Maka
sudah barang wajib, bagi para anak untuk tidak terlalu berfoyah-foyah dalam
menghabiskan uang dari orangtua. Apalagi untuk membeli barang-barang yang tidak
terlalu dibutuhkan.
Jember, 20 Maret 2015
Inikah Rasanya Memeras Keringat?
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:02:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment