Sebuah
Prolog Sebelum Membaca
Alhamdulillah, cerpenku yang
berjudul "Melati Kuning" dimuat di Nusantara News Edisi Minggu, 28
Mei 2017. Setelah saya mencari kata kunci cerpen Melati Kuning di Google.
Ternyata cerpen tersebut juga dimuat Buana Kata Edisi Minggu, 9 April 2017.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan.
1.
Cerpen Melati Kuning
itu pertama kali saya kirim ke Nusantara News pada tanggal 29 Juli 2016. Pihak
redaktur memberikan konfirmasi pemuatan pada tanggal 30 Juli 2016. Paling lambat 2 bulan setelah mendapatkan email tersebut.
2.
2. Selama menunggu 2 bulan tidak ada kabar pemuatan
hingga saya mengirimkan cerpen tersebut ke media lain. Dalam hal ini Buana Kata
dan dimuat pada 9 April 2017.
3.
Saya memiliki beberapa kesalahan: (a) tidak mengirimkan
email penarikan naskah dan (b) tidak mencari tahu lebih dulu jika cerpen Melati
Kuning telah dimuat di Buana Kata.
Oleh karena itu, saya memohon
maaf kepada semua pihak. Kasus ini akan menjadi pembelajaran bagi saya. Dan
semoga kasus ini akan menjadi pemuatan ganda terakhir saya. 🙏🙇
Berikut isi cerpennya:
Aku duduk di serambi masjid menunggu
lalu-lalang para jamaah yang tak pernah henti berkomunikasi dengan-Nya di
rumah-Nya yang begitu indah. Entah, mereka benar-benar sholat atau hanya
mengagumi keadaan struktur bangunan yang memiliki emas duapuluh empat karat.
Aku tak tahu dan tak ingin tahu.
Dari
lalu-lalang beberapa pengunjung (atau jamaah sholat) aku seperti melihat sosok
perempuan yang ada dalam masa laluku. Ah. Letih rasanya, jika membicarakan sosok
perempuan itu. Pasalnya sudah bertahun-tahun, kutulis surat pun kulakukan. Tak
sedikit pun ada balasan.
Dengan
rasa penasaran kudekati perempuan yang memakai kerudung tak terlalu panjang
itu. Ia pun langsung membalas dengan senyuman yang menggetarkan jiwa.
Ah.
Wajahnya begitu indah. Lebih indah dari perempuanku di masa lalu. Aku terpesona
sebentar, kemudian berusaha bertanya darimana asalnya.
“Aku
dari Jember, Mas. Baru saja tiba di Situbondo untuk melihat masjid indah yang
bagian pilar dan kubahnya itu terbuat dari 24 karat.” Jawabnya.
Sudah
kupikir sebelumnya, jika masjid ini ramai karena kemegahannya. Bukan karena hal
lainnya.
Ooo
Hanya itu yang terlontar dari mulutku.
Tak
sedikit pun ingin bertanya mengapa perempuan itu mirip dengan perempuanku di
masa lalu. Bukankah bisa saja mereka adalah kembar seperti dalam sebuah
sinetron picisan yang seolah menganut hukum, “Jika sepasang anak kembar terpisah,
pasti akan bertemu di masa depan dengan karakter bagai bumi dan langit.”
Ah.
Ya. Memang dari tata cara senyum dan ucapannya mereka jelas berbeda. Tapi dari
keanggunan tetaplah sama. Dan aku tak berani berkata jika mereka; kembar.
Ia
segera meminta diri padaku yang begitu kaku. Begitu pun dengan iring-iringan
orang di sebelahnya yang mungkin saja keluarga. Ah. Keluarga. Kapan rasanya aku
bertemu dengan keluarga? Sedang diri hanya terasing di sini. Tak ada sanak
kerabat sebagai tempat berbagi kisah.
“Maman...,”
sapa seorang lelaki memakai peci putih.
Aku
segera mendekatinya, lelaki itu kemudian memberiku beberapa lembar rupiah, lalu
menyuruh membelikan beberapa bungkus nasi untuk marbot di masjid ini. Dengan
sigap, aku langsung manut atas
perintahnya. Tak ada sedikit pun rasa menolak ataupun yang lainnya.
Jelas
saja. Penolakan berarti penghinaan yang berujung pada pemecatan. Kredebilitas
sebagai marbot haruslah dipertahankan.
***
Malam tiba, situasi di masjid masih sama
dengan siang. Malah pengunjung semakin bertambah. Dari wajah mereka terdapat
banyak topeng, mulai dari topeng keikhlasan, sampai topeng maling. Sudah berapa
kali masjid ini menjadi sasaran penjahat di balik songkok berwarna putih-hitam
yang ternyata seorang pencopet.
Mereka
pun bukan cuma sekali-dua kali beraksi. Tapi berkali-kali. Dan malam ini,
kuperhatikan ada seseorang yang berlagak mencurigakan, tampak bingung
memandangkan wajahnya ke kiri-kanan.
Tanpa
ba-bi-bu segera kumendekat.
Kuberjalan memutari tubuhnya. Ia bertambah bingung dengan gerak-gerikku.
“Sudah
dapat berapa mangsa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa
maksudmu?” ia balik bertanya.
“Ah.
Pencopet berpeci sepertimu tak usah berkelit. Ngaku saja!”
Keributan
segera terbentuk. Ia tak juga mengaku. Satpam masjid segera mengamankannya.
CCTV yang merekam kelakuan anehnya pun diputar. Tak ada rasa mengelak lagi. Ia
pasti pencuri.
“Tidak,
aku bukan pencuri.” Elaknya, tak ingin dituduh.
Beberapa
orang mendengar pernyataannya, bersiap memberi pukulan kepada lelaki itu.
“Aku
ke sini untuk mencari melati berwarna kuning untuk istriku yang sedang sakit
dan hanya bisa sembuh dengan melati itu. Aku sudah berkeliling masjid. Tapi,
tak juga kutemukan. Padahal, dulunya masjid ini adalah rumahnya.” Akunya,
kemudian.
“Hey, ini bukan zaman purba. Orang sakit
itu dibawa ke dokter! Bukan malah mencari melati berwarna kuning! Kamu ini
mengada-ada saja!” Kata satpam bertambah geram.
“Siapa
istrimu?” tanyaku.
Ia
segera menyebut sebuah nama, seperti yang
pembaca duga; perempuanku di masa lalu. Aku segera mengajak lelaki itu
menuju belakang masjid. Di sana hiduplah melati kuning kesukaan perempuanku
dulu yang kini menjadi istrinya. Ia pun langsung memetik beberapa bunga. Lalu
berucap terima kasih.
Lelaki
itu tersenyum senang. Sedang hatiku bertambah sakit akibat kabar yang baru saja
kuterima. Sudah bertahun-tahun tak tahu kabarnya. Kini, ia hidup dengan
laki-laki cengeng dalam novel picisan yang pernah kubaca.
Bak
film yang diputar di kepala. Aku menjadi ingat kembali tentang masa lalu. Dulu,
dulu sekali. Kami berdua sering main bersama, berkejaran mengejar layang-layang
walaupun akibatnya kami kena marah orangtua. Orangtuanya yang termasuk kalangan
priyayi di desa kemudian menjadi marah dan melarang kami untuk bermain bersama.
Tapi, tentu sebagai bocah ingusan. Kami tak hilang akal. Pun, ada saja
permainan-permainan yang bisa kami lakukan. Dan, yang paling tidak diketahui
banyak orang adalah eksprimen menanam melati kuning. Memang terdengar aneh,
tapi itu nyata.
Melati
kuning itu merupakan persilangan antara bunga kemuning yang memiliki aroma
bangkai dan bunga melati putih. Waktu itu, kami hanya menanam bijinya di dalam
tanah yang sama. Dan, entah setelah sekian lama. Tumbuh melati berwarna kuning
di belakang rumahku.
Berdasar
alasan itu, kami menjadi semakin sering bersama. Pun, aku memiliki kesukaan
baru, yakni: memberikan setangkai melati kuning pada telinganya yang berukuran
sedang. Sungguh waktu itu, ia merasakan senang yang berlebih.
Dan,
aku pun merasakan hal yang serupa. Kejadian tersebut kami ulang berhari-hari
tanpa rasa bosan. Hingga kemudian, sesuatu terjadi pada keluargaku. Orangtua
menjadi kolaps setelah ditinggal lari pelanggan tetapnya ke luar kota dengan
membawa banyak hutang. Jauh dari itu, Ibu tiba-tiba sakit keras, mungkin terlalu
banyak mikir. Ayah pontang-panting dengan keadaan yang seakan memuakkan itu. Hingga
akhirnya tanah kami menjadi anggunan ke bank untuk meminjam. Sayang, sengsara
tak dapat dihindari. Uang dari bank berhasil didapat. Tapi, tak bisa menjamin
nyawa Ibu untuk diperpanjang.
Ibu
meninggal. Tepat ketika Ayah membawa segepok uang. Dan, saat itu. Aku seperti
melihat kegagalan orangtua. Seharusnya Ayah langsung mengembalikan uang itu ke
bank atau setidaknya menggunakannya sedikit untuk biaya pemakaman. Tapi,
nyatanya Ayah melampiaskan kekesalan dengan menghambur-hamburkan.
Tak
terhitung. Sejak kematian Ibu. Ayah bergonta-ganti pasangan. Isak-isak
kenikmatan pun sering kudengar. Aku bukannya ikut menikmati, tapi merasa jijik
luar biasa. Seandainya waktu itu aku cukup umur. Barang tentu aku menentang
Ayah. Tapi, bukankah anak kecil tidak boleh menentang orangtua? Apalagi ada cap
anak durhaka yang begitu mudahnya diucapkan!
Keadaan
itu membuatku mengubah haluan. Aku tak boleh sama seperti Ibu juga Ayah.
Sayangnya, di tengah butuh dukungan moril. Perempuan di masa laluku itu pergi
dengan keluarganya. Dan, ternyata nasibnya hampir sama dengan keluarga kami;
kena hutang dan rumah sebagai jaminan.
Waktu
itu, aku sungguh tidak bisa menahan rasa haru. Entah mengapa, ingin rasanya aku
bertanya pada Tuhan. Apakah Dia telah pergi? Membiarkan segala sepi dan sedih
menghampiri hamba-Nya yang tak tahu diri!
Oh!
Sudahlah! Toh aku sudah move on!
Apalagi sejak kejadian itu, Ayah juga meninggal. Sekalipun batinnya sudah lama
meninggal akibat frustasi terhadap hutang yang tak bisa dibayar juga kematian
Ibu.
Dan,
aku yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa memelas kasih pada orang
sekeliling. Beruntung, tanahku dan tanah perempuan di masa lalu itu dijadikan
tanah wakaf. Masjid berkilau emas pun dibangun. Menjadi masjid yang paling
megah di Situbondo atau mungkin Jawa Timur.
Dari
bekas rumah itu, hanya satu yang bisa kuselamatkan; bunga melati kuning.
Sekalipun, kini suaminya meminta bunga tersebut!
Ah.
Mengapa perangai lelaki cengeng yang mendapatkan perempuan penyuka melati
kuning itu? Mengapa tidak aku saja? Itukah yang namanya jodoh? Entahlah!
***
Setelah membantu lelaki itu, aku kembali
disuruh ke luar masjid untuk membeli beberapa bungkus nasi. Jalanan lengang
menyambutku, tak ada sedikit pun kemacetan yang sering terjadi. Suara angin dan
jangkrik beradu kencang menambah rasa nyilu yang tiba-tiba datang.
Di
depanku ada seseorang yang baru saja mendapat peristiwa kecelakaan. Dan betapa
terkejutnya aku, jika yang kecelakaan itu adalah suami perempuanku itu.
“Mas,
tolong bawakan melati kuning itu pada istriku. Dia harus bisa disembuhkan.
Rasanya aku seperti bertemu kematian.” Ucapnya, lalu mengembuskan napas
terakhirnya.
Aku
pun segera melakukan perintahnya. Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli
nasi malah dibuat untuk pergi ke rumah yang alamatnya telah disodorkan padaku.
Dan sekitar satu jam kemudian, aku telah tiba di Desa Dadapan Bondowoso. Desa
yang jauh lebih tenang dari keramaian Kota Situbondo.
Rumah
bercat putih dan tembok tak terlalu tinggi, langsung menjadi sasaranku. Dan
perempuan itu telah menunggu dengan rasa lelah yang tiada tara di bilik kamar
sederhana.
“Suamiku,
tolong buatkan jus dari melati yang kaubawa itu.” Katanya, tanpa sedikit pun
melihat wajahku.
Aku
pun segera melakukan apa yang diperintahkannya. Dan beberapa menit kemudian,
jus aneh itu langsung diminumnya.
“Terima
kasih suamiku, aku sekarang sudah baikan. Aku sayang kamu. Tapi sungguh, pemuda
bernama Maman lebih kusayang.” Katanya, manja. Sambil mengecup keningku.[]
NB: Cerpen ini merupakan publikasi ulang dari
web Buanakata.top dan Nusantara News.
Melati Kuning (Dimuat di Buana Kata Edisi 14 April 2017 dan Nusantara News 28 Mei 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
9:11:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment