"Kapan Kakak mati?”
Pertanyaan
bernada kasar itu baru saja keluar dari lelaki yang menjadi tenaga honorer di
sekolah yang saya pimpin. Saya terkejut bukan kepalang mendengar pertanyaan
itu, bukan apa-apa selama ini lelaki yang saya anggap seperti anak sendiri itu
memiliki jiwa yang sedemikian bersih, tutur kata yang halus bahkan jauh lebih
halus dari ucapan saya sendiri.
Saya
menduga lelaki berusia hampir duapuluh empat itu memiliki sesuatu yang
disembunyikan.
“Kakak
harus mati hari ini!”
Ia
kembali mengingau, napasnya memburu sesuatu. Saya mendadak seperti ditikam
pisau. Oke lah, dia mengingau dan ingin kakaknya mati. Emangnya ada apa dengan
kakaknya itu?
Maka
saya berusaha membangunkan ia. Saya tepuk dan goyangkan bahunya, serta tak lupa
memangil namanya. Selang enam menit, setelah mengumpulkan raga ia terbangun.
“Ada
apa, Bunda?” ucapnya kebingungan.
Bunda.
Begitulah ia memangil saya, panggilan itu bukan tanpa sebab. Sejak menjadi
pimpinan di sekolah dasar yang dianggap pinggiran ini, murid-murid memanggil
dengan panggilan Bunda. Begitu pun dengan rekan-rekan pengajar. Dan, saya tak
pernah mempermasalahkan itu. Pun, kedengarannya kata ‘Bunda’ merupakan kata
tersejuk yang dilantunkan bibir manusia. Saya teramat merasakan hal itu.
Ah.
Saya jadi berpikir mengenai panggilan Bunda. Bukankah fokus utama dalam cerita
ini adalah lelaki itu.
“Bunda
ambil minum dulu ya!”
Saya
memperbaiki ekspresi terlebih dahulu, setelah itu mengambil dua gelas. Lelaki
itu pun memperbaiki tempat duduknya. Ia tak lagi tidur di kursi panjang yang
berada di ruang kepala sekolah. Posisinya telah berubah tegap.
“Nak...”
panggil saya setelah memberikan air minum.
“Ada
apa, Bunda?” ucapnya lagi, masih terlihat rona kebingungan.
Tiba-tiba
bibir saya keluh, bingung berkata apa. Dunia seakan berhenti untuk sekian
detik.
“Ada
yang kamu sembunyikan dari Bunda?”
Lelaki
itu tersenyum, kemudian menggeleng.
Napas
saya tiba-tiba sesak, melihat guru muda itu memperlihatkan ekspresi berbohong.
Bukan saya sok tahu, tapi selama menjadi guru puluhan tahun, plus ditempa
dengan ilmu psikologi pendidikan. Saya bisa merasakan aura kebohongan dalam
diri seseorang, baik sesama rekan mengajar atau murid.
“Cerita
saja sama Bunda. Katanya Bunda ini bukan orang lain bagimu!”
Saya
ingat benar, lelaki itu benar-benar menganggap saya seperti ibu sendiri. Ia
bercerita banyak tentang hidupnya, juga tentang perempuan yang diam-diam
mencuri mimpi indahnya, tak hanya itu persoalan hidup dengan teman-teman semasa
kuliah yang kotor tak luput diceritakan. Tapi, saya yakin untuk bagian
keluarga. Ia tak pernah mau bercerita.
Lelaki
itu tak menjawab lagi, tapi wajahnya menyembunyikan kepedihan yang teramat
dalam.
Saya
merasa cukup untuk intograsinya.
Saya
segera mengalihkan topik, “Kamu nggak mau pulkam, sebentar lagi liburan
semester?”
Tiba-tiba
mendung bergelanyut dalam wajahnya. Ada butir kristal yang siap muncrat. Saya
menahan napas, memperbaiki letak duduk supaya kian dekat dengan lelaki yang
usianya sama dengan anak pertama saya itu.
“Untuk
apa aku pulang, Bund?”
Untuk apa aku pulang, Bund? Jawaban yang
benar-benar menyentakkan jiwa. Pulang itu adalah bagian refreshing yang mutlak dibutuhkan manusia, dengan pulang kita bisa
berkumpul dengan orang-orang tercinta, dan itu bisa membuat tubuh bertambah
bahagia.
“Tidak
ada yang mengharapkan aku pulang!” tegasnya kemudian.
Saya
jadi teringat, jika lelaki itu semasa kuliah yang letaknya tak jauh dari
sekolah dasar yang saya pimpin itu, jarang sekali mengambil jatah liburan di
kampung. Ketua jurusannya pernah mengatakan pada saya ketika meminta
mahasiswanya untuk menjadi tenaga pengajar tambahan di sekolah yang saya pimpin
begini,
“Kalau
saya menawarkan Joe, Bu Krisna. Bu Krisna perlu tahu sebagai mahasiswa, Joe
cakap, energik, dan pintar. Kalau disuruh ini-itu pasti mau. Gampang mengerti
pula, selain itu IPK-nya lumayan.”
Pernyataan
ketua jurusan yang berusia di atas saya sepuluh tahun memang benar sekali.
Lelaki yang bernama Joe itu begitu piawai dalam mengajar, murid-murid juga
begitu betah. Begitu pun saya yang
menjadi pimpinan di sekolah.
“Oya,
Nak. Bunda pengen ke rumahmu boleh?”
Entah
mengapa pertanyaan itu keluar dari mulut saya. Padahal, pertanyaan sebelum
sudah memberikan efek kristal yang siap muncrat di wajahnya. Dan, pertanyaan
ini pula membuat pertahanannya roboh. Ia tersedu-sedu, menangis sedemikian
ritmis.
Saya
menyentuh pundaknya, berusaha memberikan kekuatan. Ia segera menghambur dalam
pelukan. Untungnya pelukan dari lelaki muda ini sudah dimengerti suami dan
anak-anak saya, makanya mereka tak cemburu. Begitu juga guru-guru yang lain.
Anak itu memang tak lahir dari rahim saya, tapi entah mengapa hati ini seperti
memiliki lelaki ini.
Ia
terus menangis dalam pelukan. Saya membiarkan saja sampai ia mau berbicara.
“Maafkan
aku, Bunda.” Tuturnya setelah melepaskan pelukan saya.
Ada apa? Tanya saya dalam batin.
Pertanyaan itu hanya dalam batin, saya tak lagi berani untuk bertanya. Biarkan
gemuruh di hatinya, ia ungkapkan sendiri.
“Aku
....”
Mendadak
hening. Diikuti lampu yang mendadak mati. Hujan di luar datang dengan
tergesa-gesa. Ah, rasanya suasana bumi terlalu mendramatisir keadaan ini.
Ia
berjalan memunggungi saya, kemudian mengambil napas panjang.
“Aku
tidak memiliki keluarga sudah, Bund. Lalu untuk apa aku pulang?”
“Duduklah,
Nak. Ceritakan semua sama, Bunda. Semuanya!”
Ia
segera mengambil foto keluarga yang berada di dompetnya yang lusuh. Dari sana
ada potret keluarga bahagia. Ia menunjuk ayah, ibu, dan kakaknya. Sekalipun
tanpa ditunjuk saya sudah mengerti.
“Mereka
keluarga yang mengambil dan kemudian membuangku secara perlahan, Bund!”
“Aku
juga selalu berharap, lelaki yang telah membuangku segera mati!” lanjutnya
dengan mata nyalang, menunjuk kakak satu-satunya.
Oh
... jadi, ingauannya itu adalah cita-cita terpendam. Pasti begitu banyak beban
yang dimiliki dada dan pundaknya.
Ia
melanjutkan kisah. Dulu ketika masih kecil, ayahnya yang seorang nelayan
berusaha melaut di tengah kondisi badai yang berkecamuk. Hanya karena si kakak
meminta sepeda motor dan mengancam tidak akan sekolah.
Sebenarnya
mereka sudah punya tabungan untuk beli sepeda motor, hanya tinggal sejuta
rupiah. Untuk melakukan kredit di dealer, pantang bagi keluarga kecil itu.
Sebab bukan apa, jika sudah membeli sesuatu dengan tanpa kredit, pasti lebih
enak dan nggak beban. Filosofi sederhana yang saya dapat siang ini dari lelaki
itu.
Makanya
berhari-hari, si Ayah melaut. Dan naas,
pada hari ketujuh. Lelaki itu dikabarkan hilang tersapu ombak di laut yang
ganas.
Tentu
selaku anak, ia begitu geram pada kakaknya. Sejak saat itu, timbul hasrat ingin
melenyapkan lelaki yang berjarak sembilan tahun darinya itu.
Beruntung
si Ibu benar-benar menguatkannya, untuk belajar melupakan. Ia pun berusaha
menjadi diri yang lebih baik dari kakaknya. Ia tak pernah menuntut apapun dalam
hidupnya. Hanya saja, semua berubah ketika menjelang SMA.
Ia
menuntut dengan jelas kepada Ibunya untuk melupakan kakak yang sedemikian
berubah menjadi berantakan.
Bukan
tanpa sebab, saban hari kakaknya itu hanya memberi bekas luka di hati Ibu. Saat
lelaki itu bersekolah, jika ibu tidak bisa memberikan barang yang diinginkan
kakak pasti lelaki itu memukul dan melakukan tindakan keras yang sebenarnya
bisa membuatnya di penjara.
“Sudah
sepatutnya kita lapor pada polisi, Ibu tidak bisa begini selamanya.” Ucap
lelaki itu menirukan kejadian beberapa tahun lalu.
“Tapi
apa yang terjadi, Bun?” tanyanya di sela-sela sesi menceritakan bagian kelam
dalam hidupnya.
Saya
segera menduga Ibu hanya menangis dan tak menjawab pertanyaan lelaki itu.
Dan,
perkiraan saya benar-benar tidak meleset.
“Saat
itu aku merasa punya Ibu yang bodoh, Bun. Mengapa lelaki itu bisa menjadi
kakakku? Seandainya aku bisa meminta pada Tuhan. Aku tak ingin memiliki kakak
seperti itu!”
Seandainya....
untuk pertama kali ia menggunakan kata seandainya. Ia memang sedang tak
berandai-andai. Tapi, ah sudahlah. Lebih baik aku mendengarkan ceritanya saja!
“Aku
menjadi kasar juga, Bun. Setiap kali aku melihat bekas pukulan di wajah Ibu.
Aku menunggu Kakak pulang. Setelah itu, kami berantem. Ibu melihat ini hanya
menjerit ketakutan. Tapi, aku tak pernah puas jika belum memberi bekas yang
sama pada tubuh kakak. Bunda tahu tubuhku jauh lebih tinggi dan besar dari
lelaki pengecut itu. Sudah tentu aku dengan mudah menghajar kakak. Tapi, Bund.
Aku sedemikian menyesal. Karena ketika aku tak ada di rumah, Ibu menjadi
bulan-bulanan lelaki sialan itu!”
Saya
menginggit bibir tidak percaya dengna ceritanya. Bagaimana mungkin seorang anak
tega membuat bekas luka yang teramat dalam bagi ibunya. Malin Kundang saja yang
terkenal sebagai anak durhaka, hanya tidak mengakui ibunya, tanpa pernah
memberikan bekas luka lewat pukulan. Dan, kakak dari lelaki yang berada di
dekatku ini. Kelakuannya lebih biadab dari Malin Kundang.
“Aku
sampai hilang akal, Bun. Hingga aku meracuni makanan yang ia beli. Aku memilih
makanan yang ia beli kuracuni, bukan makanan yang Ibu buat. Sebab aku tidak
ingin ada apa-ada dengan Ibu. Aku sedemikian sayang pada beliau, Bun.”
Saat
mengucap kalimat demi kalimat itu. Air mata lelaki ini sudah tak tertahankan.
Saya memegang tangannya, berusaha memberi kekuatan lebih.
Ia kembali melanjutkan kisah ....
Lewat
racun itu, kakaknya berhasil masuk rumah sakit. Dokter segera memberi
pertolongan. Hanya saja, penyesalan baru datang dalam pikirannya. Jika kakaknya
hanya sakit, bukannya itu membuat biaya yang tak sedikit. Pun, jika mati, biaya
yang keluar pasti banyak untuk tahlilan, pelayat, dan lain-lain. Sekalipun
nantinya akan ada banyak beras dan gula yang didapat.
Untungnya,
si Ibu segera mengurus keringanan kepada desa. Jadi, biaya rumah sakit tidak
terlalu dipikir. Kakaknya pun tertolong. Saat itu, lelaki yang saya anggap
seperti anak sendiri ini melihat bahwa sang kakak bertobat. Dan menyesali bahwa
kemungkinan keracunan ini adalah pengingat dari sang Kuasa untuk segera
berhenti menyiksa ibunya.
Ada
suka ... ada duka ... porsinya sama saja.
Kakak
masuk rumah sakit mengakibatkan bertobat! Ada
untungnya juga katanya bisa membuat kakak bertobat.
Hidupnya
pun langsung tentram, kakak segera mencari pekerjaan. Tak lama setelah itu,
menikah dengan gadis pujaan. Lalu, terjadilah badai kembali dalam rumah mereka.
Kakak menjadi kasar, memang tidak pernah memukul Ibu. Tapi, selalu
memperlakukan ibu seperti pembantu.
Ia
tentu tak terima dan protes.
“Tapi
protes yang kukeluarkan membuatku pergi selamanya dari rumah itu, Bund. Hingga
saat ini aku tak pernah menginjakkan kaki lagi.”
“Kenapa?”
akhirnya saya mengeluarkan kata tanya.
“Kakak
berkata, ia memiliki hak atas Ibu. Sementara aku tidak. Aku bukan anak kandung
Ibu. Aku hanya anak ....”
Ia
tak melanjutkan. Anak angkat? Duh, masalah hidupnya sedemikian rumit!
“Aku
langsung bertanya pada ibu. Ibu tak menjawab, hanya isakan air mata yang
keluar. Seolah-olah membenarkan perkataan kakak. Akhirnya aku keluar dari rumah
itu, sebab aku merasa selama ini tak berguna membela perempuan yang bukan
Ibuku.”
Saya
menyesali ucapan terakhirnya. Tidak ada yang sia-sia, Nak. Kamu patut membela
perempuan yang sudah berkorban banyak waktu mengasuhmu!
“Sampai
saat ini aku merasa ingin membunuh kakak, Bun. Tapi, untuk pulang. Rasanya aku
tak berani. Padahal, aku ingin sekali mencium tangan ibu.”
Ada
rindu, dendam, dan cinta yang bercampur menjadi satu dalam hatinya.
“Pulanglah,
Nak. Selesaikan masalahmu!”
Setelah
mengucap kata itu, saya memerhatikan lelaki itu sudah sedemikian tenang.
Mengurai permasalahan yang mungkin disembunyikan dari orang banyak.
“Bunda
juga mau pulang ke rumah orangtua!”
“Aku
ikut bunda libur semester ini?”
“Tidak
... tidak boleh. Kunjungi Ibumu, doakan kakakmu. Mereka pasti menerimamu, Nak.
Lupakan masalah yang ada.”
Hujan
di luar sudah reda. Suami saya segera menjemput. Kami pun bersama keluar dari
ruang kepala sekolah.
Malam
yang diam-diam mengundang purnama, mengawali perjalanan saya dan suami ke rumah
orangtua. Selain itu, ada senyum merekah ketika mendapat SMS dari anak itu.
kalau ia pulang ke rumah orangtuanya malam ini. Semoga ia tak lagi menghitung
luka yang bersarang di hatinya. Sebab, sebagai pimpinan di sekolah. saya merasa
khawatir jika ada guru yang menghitung luka. Lantas menerapkannya pada
muridnya.
(*)
Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017.
Menghitung Luka (Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017)
Reviewed by Dunia Trisno
on
4:46:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment