Tahun Terbit :
Pertama, 2013
Jumlah Halaman : v + 279
ISBN :
978-602-02-1360-6
Peresensi : Gusti Trisno (Penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember)
Peresensi : Gusti Trisno (Penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember)
“Tak ada manusia
yang sempurna, meski Penciptaaan-Mu sempurna.”
Malik dan Yudho adalah dua pemuda
yang nyaris serupa fisik dan tinggal di Desa Randuasri. Wilayah Kecamatan
Kalinyamantan, Kabupaten Jepara. Meskipun fisiknya nyaris sama. Kedua pemuda
ini memiliki nasib yang berbeda. Malik adalah putra bungsu yang cukup memiliki
materi. Sedangkan Yudho adalah pemuda cemerlang yang tak bisa melanjutkan
sekolah karena kemiskinan keluarganya.
Jalinan nasib mempetemukan keduanya
dalam sebuah ikatan persahabatan yang condong kepada persaudaraan. Suatu
ketika, mereka memulai bisnis bersama. Di tengah membangun bisnis mabel Jepara.
Tiba-tiba, Malik berkeinginan menjadi seorang petinggi. Hal tersebut pun
disampaikan pada Yudho. Yudho segera menyetujui hal tersebut. Pun, sebagai
sahabat yang sering main ke rumah Malik. Yudho memberitahukan hal tersebut pada
orangtua sahabatnya.
Orangtua Malik pun langsung meminta
bantuan kepada para tokoh desa untuk mendukung anaknya. Dukungan segera teraih.
Namun, tiba-tiba sebuah permasalahan di masa lalu membuat Malik meninggal.
Orangtua Malik dan Yudho langsung
kehilangan semangat. Tapi, hidup harus terus berlanjut. Akhirnya, Yudho
melanjutkan mengurus bisnis yang ia bangun bersama sahabatnya. Juga, terus
membantu keluarga Malik semisal membantu pekerjaan Ibu Malik dipasar seperti
ketika Malik masih ada. Tak luput, Yudho dianggap sebagai pengganti Malik oleh
keluarga Malik.
Sebuah fitnah segera berhembus.
Kedekatan Malik dan keluarga Yudho membuat spekulasi miring para tetangga. Di
mana Yudho dianggap sebagai orang yang akan menguras habis harta dari keluarga
Malik. Tapi, Yudho segera membantah hal tersebut kepada kedua orangtuanya.
Masalah lain muncul, tatkala
pemilihan kepala desa tiba. Tak ada satu pun calon yang menandingi petinggi incumbent. Jika tak ada yang
menandingi, petinggi tersebut akan memasang istrinya sebagai lawan politik. Hal
tersebut, sama saja dengan kebohongan belaka. Pun, berdasarkan kesepatakan para
tokoh desa dan orangtua Malik. Akhirnya Yudho dicalon menjadi calon kepala
desa.
Di tengah pencalonannya menjadi
kepala desa. Yudho mengetahui rahasia kematian Malik? Apa yang menyebabkan Mali
meninggal? Apakah Yudho bisa menjadi kepala desa? Mampukah ia menahan gejolak
hati tatkala bertemu dengan perempuan yang dulunya dikagumi Malik?
Novel ini dikemas dengan manis dan
penuh intrik. Diawali dengan kisah masa lalu Malik yang membuat ia bertobat,
juga keinginan pemuda tersebut untuk mengaji di suatu pondok pesantren di Jawa
Timur membuat pembaca penasaran dengan isi bab-bab lainnya.
Di bab yang lain, kisah cinta antara
Malik dan Hesti juga merupakan suatu hal yang indah. Di mana penyajiannya yang
tanpa embel-embel pacaran. Seperti diketahui dalam Islam tak mengenal istilah
pacaran. Tapi taaruf. Taauruf pun tidak boleh terlalu lama dan bertahun-tahun. Sebab jika terlalu
lama, apa bedanya dengan kredit motor?
Sayangnya penggambaran tentang Hesti
dalam novel ini tak sebanyak dengan penggambaran Malik dan Yudho. Hal inilah
yang menjadi salah satu kekurangan dalam novel ini. Namun, titik point yang menguatkan novel ini adalah
penggambaran latar tempat di Desa Randuasri. Lokasi tersebut merupakan tempat
tinggal penulis. Hal inilah yang membuat penulis yang berasal dari Bumi Kartini
ini lebih mudah untuk menggambarkan secara detail isi cerita.
` Terlepas dari itu semua, novel ini
menyajikan beberapa pesan yang sangat menarik.
Pertama, seperti quote yang saya tulis di atas.
Tidak
ada manusia yang sempurna, meskipun Penciptaan-Mu sempurna.
Sosok Malik yang berubah menjadi
baik itu memiliki masa lalu yang cenderung dianggap masyarakat sebagai tindakan
tak baik. Mulai dari ugal-ugalan motor dan tawuran. Begitu pun tokoh Hesti, sekalipun
ia seorang hafidzah sebuah
panggilan penghafal Al-Quran untuk seorang muslimah nyatanya tak membuatnya memaknai arti
cinta yang sebenarnya. Awalnya, rasa cinta yang hadir dalam dirinya membuatnya
terlena akan hafalan yang diharus setorkan. Di mana setiap detik yang dipunya,
tak henti membayangkan sosok Malik yang diam-diam mengambil sebagian dari
hatinya. Hingga, akhirnya ada sebuah keputusan yang membuatnya harus berhenti
memikirkan pemuda itu demi hafalannya.
Kedua, pentingnya silaturahmi.
Meskipun dalam novel ini Yudho
memiliki karakter pemuda yang baik. Tapi nyatanya ia memiliki kesalahan.
“Tiba-tiba ia teringat saat dulu, setelah pamit mengundurkan diri dari kios
Solikin! Ia terlalu sibuk dengan kios barunya bersama Malik. Mungkin ada yang
tertinggal sejak kepergiannya dari kios itu. Ya, rasa kecewa yang tak segera
teratasi tertinggal hingga menjadi benih kebencian dan tumbuh menjadi pohon
dendam di hati Solikin. Seandainya setelah membuka kios baru bersama Malik ia
sempatkan diri untuk sekedar silaturahmi ke rmah atau kios Solikin, mungkin
kejadian ini tak perlu terjadi (hlm. 248).” Ya. Seperti diketahui banyak orang
silaturahmi adalah jalan pembuka rezeki juga membuat hubungan yang jauh menjadi
dekat kembali. Hal tersebutlah yang membuat banyak sekali hadist yang menukil
akan pentingnya siltaurahmi.
Ketiga, dunia politik yang kotor.
Sudah menjadi rahasia umum. Jika
dunia politik di negeri pertiwi ini tak suci. Begitu banyak kejadian money politic. Di mana setiap suara
masyarakat bisa dibeli dengan beberapa lembar rupiah. Hal tersebut, juga
tergambarkan jelas dalam novel ini. Padahal, pemilihan kepala desa adalah
pemerintah tingkat bawah. Namun, money
politic terlihat jelas. Lalu, bagaimana dengan pemilihan di tingkat atas
semisal bupati, gubernur, atau presiden? Anda sendiri bisa menjawabnya.
“Beginilah sistem yang berjalan di Indonesia . di kalagnan paling bawah saja,
money politics bukan hal yang memalukan! Justru jika tidak ikut budaya yang
sudah ada, malah akan terlibas, tak diangap, dan tidak akan muncul ke
permukaan!” (hlm. 169).
Bahkan banyak calon pemerintah yang
menghalalkan segala cara untuk memenangkan dirinya. Seperti yang tergambar
dalam novel ini. Di mana sang incumbent kepala
desa mengancam penduduk dengan kelompok abangan apabila tak memilihnya.
Keempat, kepercayaan akan dukun.
“Ini
fakta, Mas Yudho. Mereka main dukun! Orang saya dengar sendiri kalau dukun
mereka kuat, sakti!” (hlm. 176)
Kutipan dialog diatas adalah
percakapan antara sabetan Salim
dengan Yudho.
Pada zaman yang meskipun telah
modern ini. Kepercayaan akan dukun atau ada yang menyebutnya sebagai orang pintar
itu masih menjadi tren di kalangan masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari
banyaknya orang yang mengadu nasib berupa permintaan seperti turunannya hujan
dan lain-lain. Padahal, sejatinya semua dari Allah dan akan kembali pada-Nya.
Dalam novel ini dikisahkan jika Pak Petinggi Thamrin menggunakan dukun yang
sakti. Pun, ketika nanti diacara pemilihan Pak Thamrin akan memakai sebuah jas ontokusumo. Jas tersebut bukan
sembarang jas, tapi jas yang pemberian dukun yang katanya bisa membius
masyarakat untuk memilih Pak Thamrin di acara pemilihan kepala desa.
Terlepas dari keempat pesan di atas.
Masih ada banyak pesan-pesan lainnya yang bisa pembaca temukan di novel yang
memiliki kejutan luar biasa di ending-nya
ini. Pun, kecatatan buku ini tak terlampau banyak. Hanya, penggunaan tanda baca
“!” yang banyak ditemukan. Padahal,
tanda baca “!” hanya cocok untuk kalimat perintah atau ketika menggertak
seseorang. Seperti penggunaan tanda baca “!” yang salah sebagai berikut: Tak hanya
miskin, tapi banyak anak! (hlm. 12). Selamat membaca!
Selain diresensi, novel ini juga saya jadikan bahan tugas matakuliah kritik sastra dan psikologi sastra. Silakan dicek juga ya!
*Gambar novel diambil dari kutubuku.com
Intrik Nakal di Pemilihan Kepala Desa
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:19:00 PM
Rating:

No comments:
Post a Comment