Suara muadzin berkumandang menandakan
Sholat Isyak datang menjelang. Tiba-tiba, aku mendapat sebuah telepon dari Mas
Urwan.
“Gus,
aku sudah sampai di double way.” Katanya.
“Tunggu
di situ, Mas. Bentar lagi aku ke sana.”
Aku
pun segera bergegas menjumpai Mas Urwan. Dilihat-lah sosok lelaki berusia
duapuluhan dengan sedikit berewok.
Takjub
bukan kepalang.
Apalagi penampakan Mas
Urwan berbeda sekali dengan yang ada di Facebook. Memang, selama ini kami
sering berkomunikasi di Facebook. Tapi, aku tak menyangka jika wajahnya sekeren
itu. :D
Sekitar
tiga puluh menitan. Kami banyak berbagai cerita. Sampai akhirnya ada sebuah
telepon yang mengusik keseruan.
“Urwan
sudah bareng Gusti?” Tanya seorang perempuan di ujung sana.
Lalu,
perempuan itu pun meminta kami menuju Stasiun Kereta Api Jember. Kami pun
menurut. Jelas saja, tujuan kami sama dengan perempuan tersebut. Dan meskipun
telah lama di Jember. Aku tak mengetahui letak Komunitas Sanggar Bermain yang terletak
di Kecamatan Mumbulsari itu.
Sayang
seribu sayang. Setibanya di stasiun. Perempuan yang menaiki kereta jurusan
Yogyakarta-Jember itu tidak ada dalam pandangan. Ternyata, eh, ternyata. Dia
sudah dijemput oleh panitia.
Dengan
perjuangan berdarah-darah disertai hujan nanah pun kami segera menyusul menuju
Mumbulsari. Malam semakin pekat. Kami beberapa kali melakukan tindakan muter
jalan. Tanya orang sana-sini agar tidak kesasar.
Satu
yang dalam pikiran banyak orang yang kami tanyai. “Untuk apa ke Mumbulsari
malam hari?”
Meskipun
takut akan terjadi sesuatu di tengah jalan yang gelap dan sepi, apalagi jika
melihat kekhawatiran orang yang kami tanyai. Kami tetap melanjutkan perjalanan.
Beruntung, penjelasan dari orang yang kami tanyai memudahkan untuk menemukan
Komunitas Sanggar Bermain. Ternyata, benar kata pepatah lebih baik bertanya
dibanding tersesat di jalan. Iya kan?
Dan
sesampainya di tempat acara. Kami bertemu dengan banyak perempuan-perempuan
perkasa. Ada Bunda Icha atau Elisa Koraag, Mbak Maya, Mbak Rini, dan Mbak
Latief.
Peristiwa
aneh langsung terjadi.
“Kupikir
Gusti itu dewasa. Ternyata masih anak kecil.” Ungkap Bunda Icha, dilanjutkan
pernyataan yang sama oleh Mbak Latief.
Aku
hanya tertunduk malu. Panggilan anak kecil itu sudah banyak menempel pada tubuh
yang tak begitu tinggi ini. Bahkan, waktu itu ketika ada tamu di rumah Ummi.
Aku dianggap sebagai anak SMP kelas 9. Padahal, aslinya sudah kuliah semester
5.
Huaah.
Di situ saya merasa sedih. #eh J
Kembali
ke topik.
Kami
pun berbagi banyak cerita berisi canda tawa. Diselingi makan malam yang begitu
enak nan sederhana.
Ketika
berpindah ke ruang depan. Kami banyak bertemu dengan beberapa penyair yang
berdatangan.
Mas
Lefand pun bergabung bersama kami, ia bercerita jika tadi bertemu dengan Charly
Setia Band. Bahkan, penulis buku Jangan
Panggil Aku Penyair! itu memberikan bukti berfoto dengan Charly.
Entah
mengapa, sekalipun tidak mengidolakan pelantun lagu Jangan Pernah Berubah itu. Aku ingin berfoto dengan Charly.
Mengingat aku memiliki teman kampus bernama Destia yang nge-fans banget dengan
Charly. Itung-itung bisa dipamerin.
Sebuah
ide muncul. Bagaimana jika aku hubungi Destia sekarang? Bukan tidak mungkin ia
bisa ke Mumbulsari dan bertemu idolanya. Sayang seribu sayang, Kawan. Si doi
tidak bisa ikutan dengan beberapa alasan.
Bunda
Icha dan para teman-teman lainnya pergi ke penginapan yang terletak di dalam
Komunitas Sanggar Bermain. Sementara aku dan Mas Urwan masih berbagi cerita
dengan penyair-penyair lelaki yang semakin banyak. Malam perlahan merangkak.
Kantuk tak dapat dihindarkan. Aku pun tidur lebih dahulu.
***
Pagi datang. Acara baru akan dimulai jam
satu siang. Mengingat waktu yang masih lama. Kami aku dan teman-teman
PEDAS diajak jalan-jalan oleh Mas Lefand. Dipilihlah sebuah
perkebunan tembakau.
Di
sana kami bertanya ini-itu seputar tembakau. Tak lupa, kami juga berfoto ria.
Meskipun di luar sana, cuaca begitu gerah. Tapi keseruan tak berkurang sedikit
pun.
Begitu
banyak waktu yang kami habiskan di sana. Mengingat aroma tembakau seperti
memberi sugesti untuk bertanya lebih lanjut tentang bahan baku rokok itu. Dan
hal yang begitu mengherankan saya adalah tembakau tersebut akan diekspor ke
Jerman. Wiiih, tambah deh kebanggaan saya. Heheh.
***
Acara peluncuran antologi Puisi Menolak
Korupsi segera diluncurkan. Aku merasa begitu senang berada di antara mereka.
Sebab begitu banyak ilmu yang bisa diperoleh. Juga, menambah relasi pertemanan.
Bahkan,
para penyair yang datang pun tidak hanya kaum muda. Ada beberapa orangtua yang
datang dan memiliki energi begitu energik ketika membaca puisi.
Sumpah.
Membuat saya begitu malu. Ingin rasanya se-keren mereka. Hehe.
Dan,
ketakjuban atas acara ini bertambah. Ternyata Charly datang di acara ini. Aku
pun tak ingin kehilangan kesempatan berfoto dengannya. Meskipun kata Mbak Rini.
Aku norak habis. Tapi ya, sungguh aku tidak nge-fans. Hanya ingin pamer foto ke
temen-temen khususnya Si Destia. Heheh J
Oya,
acara ini juga dihadiri oleh Bu Faidah lho. calon Bupati Jember. Bahkan, Bu
Faidah dibait untuk menjadi calon bupati menolak korupsi. Hore!! J
#ApaanSihMaksudnya :D
Dan
keseruan semakin bertambah tatkala menyaksikan pertunjukan teatrikal dari Pak
Bambang dan Abah Arsyad. Melihat mereka timbul rasa iri. Iri dalam hal baik
lho? bagaimana tidak ekspresi mereka itu begitu ciamik.
Nah,
setelah menyaksikan pertunjukan tersebut. Aku pun berfoto dengan Bu Ardi. Salah
satu penyair yang ternyata adalah guru bahasa Inggris di sebuah SMA. Wah,
tambah keren kan? Yang datang di acara ini begitu banyak dan keren-keren.
Malam
menjelang. Usai sholat Maghrib kami makan malam. Tentu, makan dan penginapan
semuanya gratis. Dan hal tersebut sungguh mengguntungkan saya sebagai anak kost
lantaran bisa menghemat uang makan selama dua hari. Hehehe. J
Di
acara makan malam, gerombolan PEDAS begitu heboh. Diawali dengan gaya Mbak Maya
yang katanya bisa memprediksi nasib seseorang melalui garis tangan kiri. Kami aku, mas Urwan, Mbak Latief—segera mengantri untuk diprediksi. Sedangkan
Bunda Icha bertugas sebagai jin yang membisiki sebuah kejadian di masa depan
pada Mbak Maya. Sungguh, menahan tawa di acara prediksi-prediksian ini.
Tiba-tiba Mas Lefand
dan Mbak Rini datang menghampiri kami. Mbak Rini memilih posisi duduk dengan
aku. Aku pun langsung bersuara.
“Tuh,
Bunda. Semua perempuan di sini pengen dekat aku. Apa karena aku PENYU ya?
Perjaka unyu.” Ucapku, dengan polosnya menatap wajah Bunda Icha.
Semua
orang tertawa terbahak-bahak.
Isyak
datang menjelang. Waktu makan usai selesai. Kami diajak ke gedung tempat acara
peluncuran buku. Di sana ada persembahan dari Dewan Kesenian Jakarta, Anak Asuh
Ayah Oong, dan tak ketinggalan kami PEDAS ikut membaca
puisi.
Meskipun
rasanya belum puas. Tapi, pengalaman ini sungguh luar biasa.
Malam
berganti pagi dengan cepatnya. Perpisahan segera teraih usai sarapan pagi. Sungguh,
berat rasanya berpisah dengan teman-teman PEDAS. Aku pun segera memeluk Bunda
Icha. Juga bersalaman dengan para Mbak-Mbak yang lain.
Huaah.
Semoga lain waktu. Teman-teman PEDAS bisa ketemu lagi dengan Si Penyu ini ya. J
Semoga lain waktu juga bisa bergabung di acara-acara Penyair Nusantara dan
mendapat ilmu keren lagi. J semoga. Semoga. J
Salam
rindu tiada tara.
Peluk
cium untuk kalian semua. PEDAS dan PENYAIR NUSANTARA.
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno dan G+ (+Gusti
Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu. Bisa juga follow
FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J
Perjalanan Si Penyu di Acara Temu Penyair Nusantara
Reviewed by Dunia Trisno
on
7:49:00 PM
Rating:
2 comments:
Reng Sibond... :D Moga nanti ketemu lagi, ya, Gus.
Aamiin YRA. :) Mudah-mudahan ada waktu ketika aku ke Yogyakarta November depan ya, Mbak. :D
Post a Comment