![]() |
Bersama Aulia Mika (Kiri) dan Eris (Kanan). Kami semua anak PBSI. |
Hal
tersebut terjawab dengan bertebrangannya selebaran lomba Pekan Seni Mahasiswa
Regional. Saya pun segera mendonwload syarat dan ketentuan lomba di web
universitas. Setelah, cukup memahami. Diri ini pun memutuskan berangkat seorang
diri ke kantor kemahasiswaan yang terletak tak jauh dari Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP). Sesampainya di sana, saya segera mengisi formulir
pendaftaran.
“Boleh
ikut dua tangkai seni, Pak?” tanya saya di tengah kebingungan mimilih tangkai
seni yang mana.
“Tidak
boleh. Pilih salah satu!” tegas Pak Budi.
Mendadak
dunia saya seakan runtuh. Bukan apa-apa, sebagai lelaki yang mirip Afghan
ketika mengenakan kacamata atau Vidi Aldiano ketika kacamata dilepas. Sungguh, saya
ingin mengikuti lomba membaca puisi. Eh, apa hubungannya ya nyanyi pop dengan
membaca puisi? Ya, ada lah. Masak nggak tahu? Hiihih.
Kembali
ke fokus ya! Akhirnya saya pun memutuskan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
bahwa harus mengikuti tangkai seni penulisan karya sastra. Kategori penulisan
cerpen. Setelah mengisi formulir sekaligus melengkapi persyaratan perlombaan.
Tubuh ini melangkah ke luar ruangan.
Tak
banyak persiapan yang dilsayakan. Jangankan latihan menulis, yang ada hanya
proses membaca yang semakin diperbanyak. Pun, ketika mengikuti TM yang membuat saya
tidak mengikuti satu mata kuliah.
Saya
pasti bisa menjadi perwakilan universitas! Saya optimis ketika keluar dari
ruangan TM.
Langkah
selanjutnya adalah meminta doa kepada keluarga besar, guru-guru terdekat, dan
teman-teman tentunya. Perlombaan pun dimulai. Pada penulisan karya sastra.
Dibagi menjadi dua, hari Kamis (28/4) untuk penulisan lakon dan puisi, dan Jumat
(29/4) untuk penulisan cerpen. Hal ini dikarenakan penulisan cerpen diikuti
oleh 49 peserta. Dan, saya berada di nomor urut tiga.
Ternyata,
saya tak sendiir dalam mengikuti lomba cerita pendek itu. Di PBSI sendiri
terdapat teman-teman seperjuangan, seperti Weti, Sheila, Atika, dan Imeylda.
Kami semua berjuang. Agar bisa memberikan yang terbaik untuk PBSI.
Di
tengah ruangan peperangan, hadir Bu Sunarti dan Bu Titik yang bertindak selaku juri
penulisan. Beliau berdua merupakan dosen Sastra Indonesia di Fsayaltas Ilmu dan
Budaya. Pun, tema segera diungkap. Sesuai dengan perkiraan: lokalitas.
Akibat
hal tersebut, saya tidak merasa kesulitan untuk memulai cerita. Naskah garapan
tentang baung pun selesai sebelum dua jam. Pun, diri ini bisa berleha-leha
sejenak. Sambil membaca. Menulis di kertas kosong, tentang kesalahan penulisan
yang terjadi. Setelah itu, tepat jam sebelas. Peserta lomba keluar untuk
istirahat sholat Jumat. Dan, diperkenankan kembali jam satu siang.
Usai
sholat Jumat. Saya pun melakukan tindakan self
editing. Membuang bagian-bagian yang mungkin tidak penting. Lepas, itu
berhenti sejenak. Memerhatikan peserta lain yang sibuk menulis. Beberapa
peserta yang sudah menulis duluan, segera keluar dari ruangan peperangan. Saya
tidak langsung mengikuti mereka. Bukan karena tidak yakin terhadap naskah yang
telah selesai ditulis itu. Tapi, rasanya tidak enak hati. Langsung keluar dari
ruangan itu, apalagi masih banyak peserta khususnya teman-teman PBSI yang belum
selesai.
Dan,
ketika Dik Imeylda keluar ruangan. Saya turut melakukan hal yang sama. Lepas
itu, memperkuat doa. Hari demi hari terus berganti. Ummi yang mengetahui lomba
tersebut tak henti menanyakan kapan pengumumannya, begitu pun Bu Hamidah (Guru
Bahasa Indonesia) ketika masih di SMAN 1 Panarukan. Namun, sayang, saya tidak
memiliki kekuatan untuk menanyakan kepada pihak Kemahasiswaan Pusat. Bukan
apa-apa, membaca naskah 10 halaman yang diikuti 49 peserta. Pasti membutuhkan
waktu yang banyak. Di tengah penantian tersebutlah, saya banyak melakukan
shalat hajat.
Dan....
Usai
sholat Isya pada tanggal 9 Mei, saya mendapatkan jawaban yang mampu membuat
saya ingin berteriak.
Yth.
Sutrisno Gustiraja Alfarizi (No. Peserta 03) selaku juara 1 penulisa cerpen
peksiminal, wajib hadir pada hari
Selasa, 10 Mei jam 2 siang di ruang sidang lantai 2 kantor pusat.
Pak
Budi Mawa.
Saya
bersyukur, dan langsung menelpon orang tua, Ummi, guru-guru agar mereka memberi
banyak doa. Dan, benar saja, lomba di Jawa Timur memberi saya banyak rezeki
selanjutnya. Senin (16/5) tepat jam 8 pagi saya
bersama Mas Ibnu, Dik Sukresmi, Pak Budi, dan supir universitas segera
berangkat ke Malang. Saya memilih duduk di belakang bersama Mas Ibnu. Lelaki
gondrong yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya. Sementara, Sukresmi duduk di
bangku tengah. Sedangkan, Pak Budi menemani supir sholeh itu.
Semangat berangkat ke Malang |
“Tidak
banyak penulis yang menulis cerita dengan tenang. Dan, aku menemukannya di
cerpenmu. Hanya saja, kamu masih belum bisa memasukkan pembaca dalam cerita
ini.” Komentar Mas Ibnu.
Memasukkan pembaca dalam cerita? Rasanya hal
itu memang kelemahan saya.
“Selain
itu?”
“Coba
baca cerpen berjudul Langit Senja karya Arum. Arum itu juara 2 pekan seni
mahasiswa nasional. Nah, mungkin juri menyukai cerpen seperti itu.” Ungkap
mahasiswa semester delapan itu, seraya memberi tabletnya untuk membuka web UKM
Kesenian Kampus.
Belum
selesai membaca, baterai tablet lelaki itu habis.
Ah!
Padahal, sebentar lagi mencapai klimaks.
Sementara
membaca dengan hape sendiri? Bukan suatu hal yang baik. Apalagi, hapenya masih
masuk dalam kategori studip phone.
Hiiihi.
“Nanti
di hotel ada jaringan wifi, Mas. Aku lanjut baca di sana.”
Sekarang
giliran Sukresmi yang memberi komentar, “Duh, alurnya kok datar ya! Sepertinya
semua konfliknya berat.” Ungkap perempuan asal Fakultas Hukum itu.
Saya
mangut-mangut bingung. Sejenak saya mengingat hasil diskusi dengan Bu Arju, Bu
Ida, Pak Taufiq, Bu Sunarti dan Bu Titik.
Kalau
Bu Arju dan Bu Ida begitu percaya bahwa saya bisa memberi yang terbaik pada
universitas. Sedangkan, bersama Pak Taufiq saya memprediksi tema yang akan
keluar. Nah, baru bersama Bu Sunarti dan Bu Titik saya mengetahui titik lemah
dan kekuatan cerpen itu.
“Saya
suka penceritaan cerpen yang seperti ini. Mas Gusti memulai dengan konflik yang
mendekati klimaks. Lalu flashback ke
10 tahun belakang. Dan, fokus tentang baung benar-benar dapat. Ada ya, Mas.
Peserta lain yang sebenarnya bahasanya dapat. Tapi, dia terlampau detail. Mirip
novel. Masak di awal paragraf bercerita, ‘pohon meliuk-liuk, mentari muncul,
dan lain-lain’. Menurut saya, hal tersebut tidak dibutuhkan dalam cerpen.
Cerpen itu terbatas dalam jumlah halaman. Jadi, harus pintar-pintar dalam
mengemasnya. Supaya memiliki daya pikat bagi pembaca.”
Saya
tersenyum mendengar penuturuan dosen yang telah melahirkan dosen saya di PBSI
seperti Pak Taufiq dan Bu Ida itu.
“Mas
Gusti bingung apa?”
“Saya
ke sini, ingin mengetahui titik lemah dalam penulisan cerpen. Dan, kok bisa
mendapat juara 1, Bu.”
Dosen
Sastra Indonesia itu mengungkapkan jika terdapat tiga juri dalam perlombaan
kemarin. Dua juri memberi nilai terbaik. Sedang, satu juri tidak. Akibat hal
tersebut, terjadi gonjang-ganjing dalam penentuan siapa yang juara. Sekalipun malaikat tahu, aku yang jadi
juaranya? *eh, maafkan Afghan menyanyi tidak pada tempatnya*.
Kembali
ke fokus.
“Tapi
ya, karena satu lawan dua. Akhirnya juri yang memberikan nilai kecil itu kalah
dengan kami. Mas Gusti tetap menjadi juara 1.”
“Menurut
Ibu, kira-kira tema apa yang akan keluar?”
“Kalau
menurut saya, temanya nasionalisme, solidaritas mahasiswa, isu-isu terbaru, dan
mungkin bisa persahabatan.”
Setelah
itu, kami pun berdiskusi seputar bahan bacaan. Mulai novel Lima Sentimeter
hingga Para Priyayi-nya Umar Kayam.
“Terima
kasih, Bu, atas waktunya.” Pamit saya, setelah jam menunjukkan hampir
matakuliah Penulisan Buku Ajar dimulai.
Dan,
sore harinya saya bertemu dengan Bu Sunarti.
“Mas
Gusti?” beliau memastikan pemuda unyu yang dihadapannya.
“Iya,
Bu.”
“Silakan duduk.
Sebelumnya, saya ingin mengetahui proses kreatif penulisanmu.”
Saya segera bercerita
pada dosen Sastra Indonesia bahwa dulu di masa kecil terdapat mitos baung yang
berkembang. Di mana, orang yang menjadi baung itu biasanya orang yang meninggal
tidak diterima bumi. Penyebabnya macam-macam, bisa karena kelakuan ia semasa
hidup tidak baik. Atau pekerjaannya yang tidak baik. Semisal pesugihan, menjadi
dept collector, dan lain-lain.
Setelah itu, saya pun bercerita seputar
pengalaman mengikuti perlombaan. Dulu, dulu sekali. Pas masih SMA kelas 12 saya
pernah menjadi pemenang ketiga sebuah event penerbit indie. Selain itu, saya
juga pernah menjadi pemenang ketiga dalam lomba menulis cerpen Islami tingkat
fakultas. Pun, beberapa tulisan saya seperti cerpen, liputan, essay, dan kisah
inspiratif telah dimuat di beberapa media massa.
“Dengan pengalaman
seperti itu, saya yakin mas Gusti bisa memberikan yang terbaik.”
Saya
menunduk. Perkataan tersebut seperti memberi banyak beban dalam pundak. Begitu
banyak orang yang percaya bahwa saya bisa memberikan yang terbaik bagi kampus
perjuangan. Tapi, mengapa rasa percaya diri langsung hilang.
Kami
pun berdiskusi seputar bahan bacaan.
“Menulis
itu butuh banyak membaca, Mas. Mumpung masih ada waktu sekitar dua hari. Mas
bisa membaca cerpen-cerpen terkenal. Agar kosakatanya semakin kaya.” Saran Bu
Sunarti. “Buku yang dibaca itu secara tidak langsung memengaruhi tulisan kita.
Makanya, lahaplah semua buku. Membaca buku berat itu penting, termasuk tentang
filsafat. Mas Gusti suka baca apa?”
Saya
segera menjawab, jika dulu SMA menyukai buku karangan Kang Abik, Asma Nadia,
dan Tere Liye, Pipiet Senja. Namun, baru kuliah semester lima saya berani
membaca buku-buku berat. Termasuk sastra feminisme dan seksualitas.
“Masih
belum telat.”
Kami
terus berdiskusi. Hingga tepat jam empat sore. Beliau harus memberi kuliah.
“Mas?”
Sukresmi memanggil, sekaligus menghentikan ingatan tentang diskusi bersama
dosen-dosen itu.
“Aku
baca lakonmu, Dik.”
“Duh,
nggak ada Mas yang diprint. Adanya di laptop.” Jawabnya.
Pembicaraan
kami tak terhenti. Namun, kami sibuk dengan dunia masing-masing. Sukresmi dan
Mas Ibnu yang mulai mengantuk. Sedang, bukan saya banget jika mengantuk dalam
perjalanan. Hhiiih. Akhrinya, saya membaca Antologi Cerpen Indonesia-Malaysia.
Sambil sesekali berhenti sejenak untuk membuka Facebook.
Dan,
tak terasa sekitar jam satu siang. Kami telah sampai di Malang. Dan, langsung
menikmati sensani tidur di hotel yang memiliki lantai 18. Sedikit norak. Tapi,
biarin.
Ada Beban Universitas di Pundakmu
Reviewed by Dunia Trisno
on
10:08:00 AM
Rating:

No comments:
Post a Comment